[15] Jealous?

5.8K 640 8
                                    

Seperti biasa, rutinitas mereka, Aulia dan Prilly.  Iya, ketika salah satu dari mereka sedang badmood, pasti hal yang mereka lakukan adalah ngemall.
Tanpa peduli apakah mereka memiliki uang atau tidak, sedang sibuk atau tidak yaa pokoknya jalan aja. Entahlah, mereka harap kesedihan mereka akan luruh bersamaan dengan setiap pijakan langkah mereka.

Kodratnya sih, namanya juga cewek. Wajar kan ya, kaya gitu.

4 jam sudah mereka berada disini, mengelilingi kawasan mall sambil sesekali keduanya memasuki beberapa butik yang mereka harap menyediakan sesuatu menarik yang dapat mereka beli. Sampai pada akhirnya, langkah mereka terhenti ketika keduanya sudah merasa sama sama lelah dan cukup. 

Aulia menaruh belanjaannya diatas salah satu meja di foodcourt kemudian tangan kanannya Ia gunakan untuk merapikan poninya yang Ia yakini sudah tidak karuan adanya. "Nggak kerasa ya, udah jam segini. Cepet banget."

Prilly melihat arlojinya kemudian mengangguk setuju dengan pernyataan Aulia. Memang waktu bergulir dengan cepat, hingga tanpa sadar kini petang sudah datang. 

"Iyaa. Btw, thanks yaa, Aul!  Makasih udah ngembalikin mood Gue seperti semula."

Aulia tersenyum melihat keadaan Prilly yang sudah tidak semurung tadi. Meskipun sebenarnya Ia tahu bahwa sisa kekecewaan itu masih ada dalam hati Prilly,  namun setidaknya saat ini Gadis itu sudah mampu kembali terlihat riang. Aulia senang.

"Iyaa. Lo jangan sedih sedih lagi dong,  Gue kan juga ikutan sedih. Lagian gue yakin kok, Ali pasti suka juga sama Lo. Santai." Ujar Aulia dengan raut wajah penuh percaya diri. Bukan asal-asalan Aulia berbicara seperti itu, menurutnya tidak ada laki laki yang akan menolak untuk mencintai Prilly. Prilly sempurna, dan Aulia yakin tidak akan ada yang menyangkal fakta itu. 

"Ralat kata kata Lo, suka juga? Brati Lo nganggep kalo Gue suka Ali dong? Dih enggak ya,  enggak. Pokoknya enggak."

Prilly memang begitu, keras kepala nya emang udah diluar akal. Masih aja nyangkal, Aulia bukan gadis bodoh yang tidak bisa membaca bahasa tubuh Prilly.  Aulia, terlalu mahir untuk memahami Prilly. "Nggak usah ngebego-begoin gue gitu deh, pake bohong segala. Lo suka sama dia, dan itu semua keliatan jelas dimata gue."

"Enggak, Aul. Gue nggak suka,  gue cuma mau bales budi aja sama dia yang udah berbaik hati nampung Gue dirumahnya. Makanya,  tadi Gue masakin." Prilly masih kekeuh menjelaskan perihal dirinya dengan Ali. Bagaimanapun, Gadis itu begitu meyakini bahwa semua ini hanya sebatas perasaan balas budi. Tidak kurang, dan juga lebih.

"Gue malah seneng kok kalo Lo sama Ali. Gue rasa,  dia tipe cowok idaman semua cewek.  Baik, populer, tajir melintir pula.  Udah gitu, ganteng anjing.  Lo bakal bahagia sama dia, selamanya."

"Aaa.. So sweet!!" Lanjut Aulia lagi, kali ini lengkap dengan raut wajah imut yang dibuat buat olehnya sendiri. Sukses membuat Prilly bergidik ngeri melihat sahabatnya.

"Ngaco aja terus, gila ya Lo lama lama. Udah ah Gue mau makan, capek ngomong sama Lo yang otaknya kurang satu takar."

Kalimat itu usai lolos dari bibir Prilly,  entah bagaimana respon kesal Aulia,  Prilly tidak peduli. Gadis itu lapar,  dan ingin segera makan.  Tanpa pikir panjang, tangan kanannya segera Ia angkat kearah pelayan yang berdiri tak jauh dari kasir dan melambaikannya, seolah itu isyarat agar pelayan itu datang. 

Sialnya, belum sampai pelayan itu tiba,  kedua bola mata Prilly justru menangkap pemandangan yang cukup membuat dadanya merasakan ngilu yang begitu dahsyat. Lengkap dengan lidahnya kelu, juga kakinya terasa kaku.

Tidak jauh dari meja tempat dimana Aulia dan Prilly duduk.  Disana, terdapat pula sepasang sejoli yang terlihat begitu bahagia melepas canda tawa. Prilly memang tidak mengenal siapa gadis itu, namun Ia dapat menjamin bahwa lelaki yang menemani gadis itu adalah Ali.  Iya,  Ali.  Lelaki yang Prilly yakini sebagai alasan utama gadis itu tersenyum dan tertawa lepas. 

Dan entah sejak kapan, Prilly merasa penglihatannya sedikit mengabur sebelum pada akhirnya Ia merasa bahwa cairan bening itu lolos dari kelopak mata Prilly bertepatan dengan saat dimana gadis itu jatuh dipelukan Ali. Tentu saja, Ali membalas pelukan itu dengan begitu erat. 

Bagi Prilly, itu cukup menyayat.

"Aul, gue mau pulang, sekarang."

*****

Ali menatap layar ponselnya dengan binar senyum tiada henti.  Disana, Ali menjadikan foto dirinya bersama Kiara sebagai wallpaper, foto itu baru saja Ia ambil tadi, ketika mereka menghabiskan waktu bersama dikawasan mall ternama milik ibukota.

"Gue bahagia, bahagia banget. Gue bahagia, bisa ngehabisin waktu Gue Sama Lo."

"Makasih udah hadir dihidup Gue. Makasih."

"Gue percaya,  Lo tercipta buat Gue.  Sekalipun, Lo tercipta sebagai adek Gue."

Detik berikutnya setelah semua kalimat itu lolos dari bibirnya, Ali mengecup singkat wajah Kiara dari balik ponselnya kemudian mendekapnya erat.  Seolah, Kiaralah yang saat ini Ali peluk. 

Drttt...

Pelukan Ali terhadap ponselnya terlepas ketika Ali menyadari bahwa ponsel miliknya itu bergetar, artinya terdapat sebuah pesan yang masuk kedalam ponselnya. 

From: Keano
Anak anak lagi ngumpul ditempat biasa, buruan sini gabung.

Membaca pesan singkat yang berasal dari Keano, cepat cepat Ali segera bangkit dan bersiap sebelum pada akhirnya,  Ia membalas pesan singkat tersebut pada Keano yang menyatakan bahwa dirinya sudah on the way.

Mengingat bahwa saat ini malam sudah begitu larut, Ali memilih untuk menutup pintu kamarnya dan melangkah dengan perlahan. Alasannya cukup sederhana, Ia hanya tidak ingin mengganggu penghuni appartemen ini yang Ia yakini pasti sudah terlelap dalam tidur mereka.

Sayangnya, keyakinan Ali kini mulai terkikis ketika Ia menyadari bahwa pintu kamar Prilly sedikit terbuka.  Selama ini, yang Ali tahu ketika gadis menyebalkan itu tidur,  Ia tak akan lupa untuk mengunci pintu kamarnya. Setidaknya, ya menutuplah.

Perlahan tapi pasti, Ali memberanikan diri untuk membuka pintu itu lebih lebar lagi, hanya untuk memastikan keadaan gadis menyebalkan itu.  Bagaimapun juga, saat ini gadis itu jadi tanggung jawabnya kan?

Kosong. 

Begitu Ali tiba didalam kamar Prilly,  Ia tidak menemukan siapapun. Gadis itu tidak ada, bahkan kondisi tempat tidurnya pun rapi. Tidak terlihat ada tanda tanda bahwa itu sudah ditiduri.

Lalu,  kemana Prilly? Menyusahkan.

"Non Prilly belum pulang dari kampus sejak tadi pagi, Den." Suara Bibi membuat Ali pada akhirnya menengok kearah wanita itu, wanita yang selama ini sudah Ia anggap sebagai Ibu kedua bagi Ali.  Mengingat bahwa selama ini, Ali lebih banyak menghabiskan waktunya bersama wanita itu daripada Ibu kandungnya sendiri. 

"Tapi tenang kok, Den. Non Prilly nya tadi udah nelfon bibi,  katanya malem ini Dia menginap dirumah teman kampusnya. Kalau tidak salah, namanya Aulia,  Den." Penjelasan Bibi, setidaknya mampu untuk menghilangkan beberapa pertanyaan yang ada dikepala Ali saat ini.  Dan juga, penjelasan itu cukup mampu membuat Ali tidak berpikir aneh aneh mengenaik Prilly yang mungkin akan diculik, dibunuh, dijambret atau gimana gitu.

Alhamdullilah,  enggak.

Harusnya, Ali senang karena Prilly tidak ada.  Harusnya, Ia senang karena Prilly tidak lagi merepotkannya. Namun faktanya,  saat ini Ia justru begitu khawatir. Seakan pemuda itu tidak bisa untuk tenang sebelum pada akhirnya, Ia dapat membawa kembali Prilly kemari.

"Yaudah, Ali pergi dulu ya, Bi. Ali mau ngejemput Prilly buat pulang kesini."

PERFECT SCANDALWhere stories live. Discover now