[17] Flashback

5.4K 580 9
                                    

Kelas pagi sudah berlangsung hampir setengah jam. Dan selama itu pula, tidak banyak yang Prilly lakukan selain membiarkan buku tulisnya terbuka begitu saja tanpa disentuh.  Penjelasan yang sedari tadi keluar dari bibir Bu Gretha, seolah Ia anggap angin lalu yang Ia biarkan masuk kedalam telinga kanan dan keluar melalui telinga kirinya. Begitu seterusnya. 

Hari ini, Prilly benar-benar enggan untuk menjadi anak yang rajin. Bahkan, belum ada setengah dari catatan dipapan tulis yang Ia selesaikan.  Entahlah, Prilly hanya merasa malas dan lebih memilih untuk menopangkan dagunya pada permukaan meja sambil memutar tanpa arah bolpoin yang saat ini tengah Ia pegang. 

Tanpa sadar, sebuah simpul senyum manis tersungging dari sudut bibir Prilly ketika memori ingatannya menarik dirinya untuk kembali pada kejadian semalam saat Ali membujuknya untuk pulang bersamanya. 

Selepas Prilly terisak dalam pelukan Ali, keadaan kembali hening. Baik Prilly maupun Ali tidak ada yang membuka percakapan, Prilly yang merasa canggung akibat tindakan yang barusaja Ia lakukan dan Ali yang memberikan waktu bagi Prilly untuk menenangkan diri. 

"Nggakpapa, kalo Lo masih mau nangis. Gue nggak akan ngelarang. Sini, nangis lagi di pelukan Gue." Ali membuka suara, akhirnya. Suara yang lembut dan mampu menggetarkan hati Prilly meskipun tak gadis itu ungkapkan. Namun Prilly hanya menggeleng pelan, Ia memperbaiki posisi duduknya untuk bersandar pada kepala ranjang yang membuatnya sedikit menjauh dari Ali.

Posisi Prilly itu membuat Ali bergerak mendekat, dengan senyum menawannya pemuda tampan itu menggerakkan tangan kanannya untuk merapikan rambut bagian depan Prilly yang terlihat berantakan. "Kalo gitu, hapus air mata, Lo. Nangis nggak bikin Lo keliatan cantik, Lo jauh lebih cantik kalo senyum."

Prilly tersenyum tipis mendengar penuturan manis Ali. Namun detik berikutnya, Prilly memilih untuk menyingkirkan paksa tangan Ali yang menyentuh wajahnya. "Basi ah, males gue. Pulang sanah." Bukan maksud Prilly untuk mengusir Ali, hanya saja, Prilly tidak ingin Ali mendengar pacuan jantung miliknya yang berdetak hebat saat Ali tadi menyentuhnya.

Malu kan, ya. 

"Yaudah, yuk. Kita pulang." Ali menyambut antusias ucapan Prilly tadi, dengan raut kebahagiaan. Tanpa sadar, saat ini tangan Ali bahkan sudah menggenggam erat tangan Prilly, bersiap untuk mengajak gadis itu pulang bersamanya.

Prilly menatapnya jengah dan menggeleng kuat, "Nggak ah, nggak. Lo aja pulang sendiri, Gue disini." Tolak Prilly yang seketika mampu mengubah ekspresi wajah Ali menjadi masam. 

"Gue kesini tuh mau ngejemput Lo. Kalo endingnya Gue pulang sendiri kaya gini mah, sama aja boong." Tukas Ali dengan raut wajah kesal yang terlihat jelas dari iris mata Prilly.

Melihat itu, membuat Prilly mendengus kesal, "Ya itu sih urusan Lo, Gue nggak peduli." Kali ini, Prilly menghentak keras tangan kanannya yang digenggam Ali, sehingga pegangan itu terlepas.

Prilly kira, Ali akan marah dan pergi dari hadapan Prilly. Namun spekulasi itu, melesat jauh. Ali justru semakin mendekat kearah Prilly, dan terus memohon agar gadis itu mau ikut dengannya. 

"Ayo ah Pril, pulang sama Gue."

"Enggak."

"Ntar Gue traktir ice cream, deh."

"Lo kira Gue bocah SD."

"Gue beliin balon, oke?"

"Didepan kompleks rumah Aul juga kalo sore banyak abang abang tukang jualan balon."

PERFECT SCANDALWhere stories live. Discover now