[16] Suka?

5.2K 639 6
                                    

Benar saja, setelah Ali mengetahui bahwa Prilly tidak ada dalam appartementnya, pemuda itu lantas menancapkan gasnya dengan segera untuk melaju menuju rumah Aulia. Kata Bibi, disinilah sekarang Prilly berada.

"Masuk, Engga, Masuk, Ah!" Ali merapalkan dua kata yang kini terus berputar dipikirannya, antara masuk atau tidak.

Awalnya, Ali memang bersikekeuh ingin membawa Prilly pulang ke appartementnya, namun ketika kini langkah kakinya telah berhenti tepat didepan pintu rumah Aulia ada sesuatu yang terasa menahannya, yaitu..

gensi.

Selama ini, Ali selalu menganggap bahwa Prilly adalah beban. Gadis itu tidak pernah lebih dari sekedar kesialan di mata Ali. Lantas, ketika sekarang Prilly benar benar beranjak pergi darinya mengapa ada rasa tak rela?

"Ntar pake alesan apa biar Prilly mau Lo ajak balik, coba. Mikir, Li. Mikir."

*****

"Udah, Pril. Lo jangan nangis terus, dong." Entah sudah kali keberapa, Aulia menenangkan Prilly yang kini sibuk terisak tanpa alasan yang tidak Aulia ketahui pasti. Sejak Prilly mengajaknya pulang, hingga kini saat malam sudah benar benar larut gadis itu tak henti hentinya menangis.

Bila Aulia bertanya apa sebabnya, tangis Prilly justru semakin keras. Hingga pada akhirnya, Aulia pasrah dan memilih untuk terus menenangkan tanpa bertanya mengenai alasan mengapa Prilly menangis seperti itu. Biar saja ketika Prilly tenang, Ia sendiri yang akan menceritakannya.

"Gue ambilin Lo makanan dulu ya, gue bawa kesini. Lo jangan nangis terus, Gue nggak akan lama kok." Prilly mendengarnya, namun tidak merespon lebih. Ia membiarkan saja Aulia berjalan menjauh darinya, Prilly tahu ini tidak masuk akal. Ia menangis sememprihatinkan ini, hanya karena Ali. Tapi faktanya, hatinya begitu sakit. Sakit, hingga Ia kesulitan bernafas.

Aulia yang sudah siap dengan nampan berisi makan malam untuk Prilly, tiba tiba saja merasa bahwa bahunya ditepuk seseorang. Dengan terpaksa, Ia harus mengalihkan pandangannya kearah tepukan tersebut dan menemukan sosok Ali.

"Ngagetin, Anjir. gimana bisa Lo disini? Serem tau, nggak"

"Bisalah, kan dirumah Lo ada pintu." Dengan santainya, Ali menunjuk pintu utama dari rumah Aulia yang kebetulan dapat begitu jelas terlihat dari sisi ruang makan.

"Oiya! Gue lupa belum ngunci pintu, soalnya sibuk ngurusin Prilly yang nangis mulu."

Ali yang semula menyapu pandangannya untuk memperhatikan rumah Aulia dan tidak terlalu fokus pada jawaban gadis itu, tiba tiba saja membulatkan matanya kaget setelah mendengar bahwa Prilly menangis.

"Tuh anak kenapa lagi emang?" Ceplos Ali begitu saja, namun sayangnya Aulia hanya mampu membalas dengan gelengan kepala. Pasalnya, Auliapun juga tidak mengerti mengapa sahabatnya itu menangis.

"Gimanasih Lo, nggak guna dong gue nanya Lo. Terus itu nampan buat apa,coba?"

"Buat Prilly, dia tuh belum makan dari pagi. Niatnya sih, Dia tadi pagi mau makan bareng Lo. Dia udah bawain Lo bekal karena kata Bibi Lo belum sempet sarapan. Eh ternyata Lo nya absen, yaudah dia juga nggak makan. Siangnya kita jalan sampe hampir malem gitu, dan tiba-tiba aja Dia ngajakin pulang sambil nangis. Jadinya, Dia belum makan sama sekali sampe sekarang."

"Minggir ah, makanya. Gue buru-buru mau ngasih ini ke Prilly, takutnya Dia sakit." Lanjut Aulia yang kemudian menerobos tubuh Ali didepannya, Gadis itu segera melangkahkan kakinya menuju Prilly dan meninggalkan Ali yang masih termenung ditempat semula.

Ali sedikit tertegun selepas mendengar penuturan Aulia barusan. Lebih tepatnya, Ia seperti tidak percaya atas apa yang Ia dengar sepersekian detik lalu.

PERFECT SCANDALWhere stories live. Discover now