1 • Buku Paket

1.4K 243 137
                                    

"Buku gue?!" Ingga memekik heran ketika buku yang seharusnya di dalam tasnya, tiba-tiba hilang entah kemana. Ia terus merogoh tasnya. Memastikan untuk kesekian kalinya bahwa bukunya ternyata benar-benar hilang. Ia panik. Pasalnya buku yang hilang itu akan dikumpulkan kepada Pak Anto, guru fisika ter-killer.

"Kenapa, Ing?" tanya Reina yang duduk di samping Ingga. Wajahnya penuh kebingungan melihat teman sebangkunya yang sedari tadi merogoh-rogoh tasnya tanpa tujuan yang ia tak paham.

Ingga menatap wajah Reina dengan cemas. Menggumam kecil ke arah Reina. "Paket fisika gue nggak ada." Kemudian, kembali lagi Ingga mencari-cari bukunya. Kali ini ia mencari di kolong mejanya. Namun, usahanya hanya menghasilkan kecemasan yang lebih.

"Emang lo taruh mana?"

"Gue lupa," ujar Ingga menggaruk-garuk kepalanya.

"Tadi lo bawa-bawa nggak bukunya, kemana gitu?"

Ingga mencoba mengingatnya. Beberapa saat kemudian, ia mengingat sesuatu. "Oh, iya. Tadi gue bawa-bawa ke lapangan basket."

"Yaudah yuk, kita ke sana, cepat!" Reina menarik tangan Ingga dengan semangat. Tiba-tiba, Ingga menahan tangan Reina yang sudah menyatu dipergelangan tangannya. "Gue aja sendiri. Sebentar lagi Pak Anto masuk kelas."

"Biarin aja, gue temani lo!"

"Nggak usah Rein, gue aja sendiri."

Tiba-tiba aroma parfum khas laki-laki berusia 35 tahun itu terhirup diseisi kelas. Langkahnya pun terdengar dengan ketukan pantovel hitamnya yang menyentuh marmer putih.

"Assalamualaikum..." paparnya menduduki kursi di depan kelas.

"Waalaikumsallam..." seisi kelas menyahut bersamaan.

"Tuh kan, udah datang dia. Lo di kelas aja," ujar Ingga, kemudian menghadap ke Pak Anto yang baru saja menaruh bokongnya dikursi.

"Pak, saya ijin ke toilet."

"Silakan, jangan lama-lama!" ujarnya dingin diselingi tatapan matanya yang membuat semua murid merasa tersindir.

Ingga pun berlari ke luar kelas. Kakinya ia pijakan di marmer putih dengan ditekan. Ia berlari menuju lapangan basket, tempat ia meninggalkan bukunya. Matanya mengerling ke segela sudut lapangan yang berada di dalam gedung sekolah. Hampir disetiap bawah kursi penonton ia tengok untuk sekedar memastikan, mungkin terjatuh di bawah kursi. Ingga terlihat begitu panik, bukunya juga tak kunjung terlihat.

"Aduh... Bukunya kemana sih?!"

Tiba-tiba terdengar suara berat seseorang dari balik tubuh Ingga. "Lo nyari ini?" Ingga pun membalikkan tubuhnya ke sumber suara tersebut. Terdapat seorang cowok bertubuh tinggi dengan rambut gondrong melewati kerah bajunya. Dua kancing atas seragamnya juga di lepas dan bajunya tidak di masukan ke dalam celana. Celananya juga terlihat ramping lurus ke bawah. Tipikal murid yang sering melanggar peraturan sekolah.

"I-iya..." Ingga menjawab dengan berhati-hati.

"Ini..." ujar cowok tersebut seraya memberikan buku tebal berwarna putih tersebut.

"M-makasih..." Ingga pun segera beranjak berlari meninggalkan cowok tersebut. Jika ia tetap di sana bersamanya. Akan ada hal yang akan terjadi secara tiba-tiba, dan pastinya tak mengenakan. Karna ia tahu, bahwa cowok tersebut salah satu brandalan sekolah yang sering menyakiti murid-murid di SMA Garuda Bangsa. Tak peduli, mau itu cewek atau cowok, yang jelas ia akan menjaili orang tak punya salah kepadanya.

Ingga sampai di depan pintu kelasnya. Terdiam sejenak. Mengatur napasnya karna berlari hingga terengah-engah. Ia mengetuk pintu kelasnya.

"Permisi Pak..."

"Iya, masuk..."

Ingga pun segera bergegas menuju kursinya yang berada di barisan ke-3. Ia dudukan bokongnya dengan tergesa-gesa dan meletakan buku tebalnya di atas meja.

"Itu bukunya, ada di mana?"

"Nanti gue ceritain," Ingga masih dengan napasnya yang terengah-engah.

Reina menatap bingung Ingga yang terlihat ngos-ngosan. Reina pun memberikan botol minum ke Ingga. "Nih, minum dulu."

***

Di kantin. Ingga pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi selama ia mencari bukunya yang hilang.

"Hah?!" Reina terkejut mendengar perkataan Ingga, "buku lo sama Adit?" tanyanya tak percaya.

Ingga menganggukkan kepalanya seraya meminum minumannya. "Terus, lo nggak diapa-apain kan sama dia?" tanya Reina dengan wajah was-wasnya.

"Nggak. Pas dia kasih bukunya ke gue, langsung gue lari."

"Bagus!"

Tak lama, gerombolan brandalan sekolah itu menginjakan kakinya di kantin. Mengusir salah satu kelompok murid yang sedang menghabiskan waktu dengan memakan makanannya.

"Minggir-minggir!" ujar Randy, salah satu bagian dari brandalan tersebut.

Mereka pun menempati tempat tersebut. Sekarang, kantin mulai di penuhi asap rokok brandalan tersebut. Tak hanya itu, jailan demi jailan di lontarkan oleh Doni kepada murid-murid cewek yang sedang berlalu lalang di hadapan mereka.

"Ayo ah, balik ke kelas," ujar Ingga mengajak Reina yang sedari tadi mengerling sinis ke arah Randy yang tebar pesona pada Reina.

"Ayo!"

Mereka pun berjalan meninggalkan kantin yang sudah tercemar oleh kelakuan tercela murid-murid brandal tersebut.

"Rein, lo duluan ke kelas deh. Gue mau ke toilet dulu."

"Yaudah, gue duluan ya."

Ingga dan Reina pun berpisah di salah satu koridor sekolah. Ingga segera beranjak ke toilet wanita yang tak jauh dari koridor tersebut. Sampai di toilet, terlihat di dalam sana begitu lengang. Tak ada orang yang menggunakan toilet tersebut selain dirinya. Ia berdiri di depan cermin sekolahnya. Membasuh tangannya dengan air yang keluar jernih dari keran toilet. Sejenak, ia menatap sendu dirinya. Akan ada sesuatu yang akan ia hadapi ke depannya. Dan hal itu akan membuat semuanya seolah berbeda.

"Apa ini masih berlanjut?" gumam Ingga kepada dirinya sendiri seraya menyentuh rambut panjang hitam pekatnya itu.
.
.
.
Gue buat cerita baru lagi nih. Hehehe. Semoga ini bisa lebih baik lagi dari penulisan cerita-cerita sebelumnya, ya. Juga bisa menarik kalian, para readers untuk setia membaca karya-karya gue.
.
Jangan lupa vote, kritik dan sarannya ya untuk cerita ini. Thank you so much.

A dan I [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang