7 - Bakso Penentu Masa Depan

28 4 0
                                    

Dion tersenyum aneh, kejadian yang terjadi beberapa detik yang lalu membuatnya tidak bisa berhenti memikirkannya. Rasanya Dion baru saja mendapat sesuatu yang menurutnya sangat menarik. Hatinya dari tadi tidak mau berhenti berdesir. Entah dia sedang kesal atau yang lainnya.

Dion melangkahkan kakinya memasuki rumah yang tak begitu besar, namun terlihat elegan dengan gaya Eropanya. Sampai di dalam rumah, kardus ada dimana-mana. Rumah ini memang baru dia tempati bersama kakaknya, sehingga bagian dalam rumah masih agak berantakan. Yap, Dion cuma tinggal berdua di rumah ini dengan kakaknya. Belajar mandiri kata ayahnya. Lagi pula rumah yang ditempati Dion dan kakaknya berada tidak jauh dari rumah pamannya. Jadi kalau ada apa-apa bisa ngomong sama paman dan bibinya.

Dulu rumah ini sempat dipakai oleh keluarganya selama satu tahun. Namun karena suatu hal, keluarga mereka kembali ke Jakarta. Meski begitu, Dion baru pertama kalinya tinggal di rumah ini. Dulu Dion memang tidak tinggal bersama ayah, ibu, dan kakaknya. Sejak kecil, dia tinggal bersama neneknya di Jakarta.

Setiap langkahnya, Dion tak henti-hentinya memikirkan cewek yang baru saja dijumpainya. Sampai di ambang pintu kamarpun pikirannya masih melayang kemana-mana.

"Sial! Dia berputar-putar di kepalaku!" seru Dion sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.

"Lagi apa kamu?" ucap seseorang yang baru keluar dari kamar di sebelah kamar Dion.

Dion berhenti memukul-mukul kepalanya dan segera memasang wajah sok cuek andalannya. Biar kelihatan cool.

"Nggak ada," ucap Dion sembari meraih gagang pintu kamarnya.

Dion bisa malu tujuh turunan kalo sampe ketahuan lagi senyum-senyum gaje sendiri. Topeng cool yang telah ia jaga selama bertahun-tahun bisa saja hancur dalam sekejap.

Dion memasuki kamarnya tanpa menoleh lagi ke belakang. "Ck... dasar bocah," ucap Juna, kakaknya Dion.

.
.
.

Sekolah tinggal beberapa meter lagi, Tia melangkahkan kakinya dengan malas-malasan. Di sampingnya ada Ardan yang setia mengikuti Tia sampai ke sekolah. Ardan menatap Tia dengan penuh tanda tanya. Sedari tadi Ardan ingin menanyakan perihal kenapa hari ini Tia nampak sangat tidak semangat. Sarapan nggak habis, muka ditekuk, dan jalannya udah kayak orang nggak makan sebulan, gimana Ardan nggak khawatir. Ya walaupun dia tahu diri, ia sering membuat Tia kesal, sampai harus perang dulu baru masalah bisa kelar. Tapi sungguh, yang kali ini Ardan nggak tahu apa masalahnya.

"Mas, berhenti menatapku dengan wajah jelek gitu! Ganggu banget," protes Tia sambil mendorong wajah Ardan ke sisi lain agar wajah Ardan menjauh darinya.

Ardan menangkap tangan Tia, "Jelek?" tanya Ardan.

Tia dengan sekuat tenaganya berusaha melepaskan genggaman tangan Ardan. Namun sia-sia usaha Tia, kekuatan Tia tidak bisa mengalahkan kekuatan Ardan.

"Iya, jelek! Jadi berhentilah menatapku dengan tatapan itu!" seru Tia.

Akhirnya Ardan melepaskan genggaman tangannya pada Tia, dan menopang dagu dengan tangannya. "Iyakah?" tanyanya tidak percaya.

Tia dan Ardan melewati segerombolan cewek-cewek yang sedang asyik bergosip. "Mereka punya malu atau gimana sih," komentar Tia melihat segerombolan cewek yang sedang bergosip. Tiba-tiba Ardan menahan Tia dengan menarik lengan atas Tia. Tia ingin memprotes namun dipotong oleh suara Ardan.

"Hoi, cewek-cewek! Lihat kemari!" teriak Ardan kepada segerombolan cewek di sana. Merasa dipanggil, mulut mereka berhenti bicara dan mulai mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.

"Gue mau tanya! Gue jelek kah?" tanya Ardan dengan nada yang tinggi sambil melempar senyuman andalannya. Tia nggak habis pikir, apa sih yang ada di kepala Ardan? Memalukan!

The Past or The FutureDonde viven las historias. Descúbrelo ahora