[Chapter 7]

90 6 0
                                    

Abdulmanap pergi menyusul Magomed dan Khabib yang baru selesai mengikat tali sepatu. Rumah sepupunya, Abdulnasir, tidak begitu jauh. Hanya empat blok tikungan kecil-kecil yang biasa dimiliki di perkampungan Dagestan. Abdulnasir terpaut jauh dengan Abdulmanap dari segi umur. Namun Abdulmanap memiliki kesukaan yang sama dengan sepupunya itu, sehingga mereka akrab sejak dulu. Mereka kerap berlatih bersama, dan saling tolong. Abdulmanap banyak menolong ketika kali pertama keluarga kecil Abdulmanap pindah. Membantu membersihkan rumah usang, yang mereka beli dari seorang tuan tanah yang sudah tua. Abdulnasir juga yang mempererat pergaulan Abdulmanap dengan orang di sekitar distrik. Abdulnasir terkenal sebagai orang yang humoris, pintar membuat orang tertawa. Warga menyukai wataknya itu. Pastinnya, membaurkan Abdulmanap bukan perkara berat.

"Kau masih ingat jalan ke rumah pamanmu?", Abdulmanap menegur si sulung Mag, yang bersidekap di belakang langkahnya.

"Ya, ayah. Aku sering kesana kok" Muhammad pun mendahului ayahnya dengan langkah panjang, setengah berlari.

"Hei, tunggu aku!" jerit Khabib. Wajahnya yang putih memerah ditimpa cahaya matahari. Khabib anak pintar dan cekatan. Dia tidak begitu suka kompetisi dengan teman sepermainan. Barangkali, bagi anak sekecil itu, kompetisi yang sebenarnya tidak pernah ada. Semua hanya permainan. Semua menunggu giliran.

Rumah berwarna kuning pudar tampak rindang. Istri Abdulnasir gemar berkebun dan menanam aneka tanaman di depan rumah. Memasuki musim dingin, bunga-bunga itu enggan bermekaran. Istri Abdulnasir, Alya yang berketurunan campuran Rusia, tersenyum kepada mereka dari kejauhan. Dia, seperti juga suaminya, adalah seorang yang ramah. Tangannya bersarung hitam dan kasar. Tampaknya dia belum selesai menyiangi tanaman yang banyak itu.

"Masuklah...." Dia berkata dengan suara agak kencang, sementara dia sendiri masuk ke dalam, memanggil Abdulnasir. Tak berapa lama, berhamburan dari dalam rumah itu para anak dan ayahnya. Abdulnasir memiliki dua orang anak perempuan dan seorang laki-laki yang baru saja berulang tahun yang pertama beberapa minggu lalu. Anak perempuannya itu, lebih banyak diajari ibunya urusan perempuan. Memasak, menamam, menyulam alas meja, dan sejenisnya. Abdulnasir tampak sekali, tidak sabar menunggu anak laki-lakinya itu cepat besar untuk diajari bela diri. Dan sebelum masa itu tiba, Mag dan Khabib sudah dianggap seperti anak sendiri.

Abdulnasir memang menikah di usia muda, jauh mendahului Abdulmanap Sehingga, kepada anak-anak Abdulmanap, Abdulnasir malah seperti kakak tertua bagi mereka. Mag dan Khabib duduk di emperan depan rumah. Indah menyaksikan daun-daun tua yang menguning di taman.

"Paman, aku ingin membaca bukumu lagi" Muhammad tiba-tiba berkata.

"Oh, ya... Aku ingat. Yang itu kan, sebentar", sambut Abdul menunjuk dahi dengan jarinya. Abdulnasir masuk sebentar ke dalam, diikuti anak-anak perempuan yang hendak kembali dalam permainan ala perempuan. Dia pun keluar, membawa buku yang tebal-tebal. Dari judulnya, kita jadi tahu alasan kenapa buku seteba itu. Buku-buku sejarah, biografi, yang bobotnya cukup membuat lelah pergelangan.

"Hei, aku pikir kau akan tertarik pada yang ini!" katanya menunjuk satu buku yang paling tebal bergambar pria tegap di atas kuda. Pria ini menatap tegas dan keras. Kumisnya lebat, begitu pula dengan jenggot. Tampak jelas dia bukan orang sembarangan. Barangkali ada gelar ningrat atau kepahlawanan yang disandangnya.

"Buku bercerita Para Khan. Pahlawan-pahlawan negeri kita hingga dataran Uzbekistan. Kau perlu membaca yang seperti ini, Nak" Anak-anak mengangguk. Mag dan Khabib saling lihat bergantian. Hampir buku itu jatuh ke tanah. Hap, Khabib menangkapnya. Wah, berat juga.

"Masih banyak, kau perlu mengenal juga yang lainnya," ucap Abdulnasir meletakkan sisa buku lainnya di atas meja. Abdulmanap membuka-bukanya dengan enggan. Mencoba mencari sisi, dimana menariknya buku seperti itu.

"Selain memiliki otot, kau pun harus memiliki kekuatan dari dalam hatimu. Figur-figur itu seolah membangunkan kekuatan yang tidak terlihat di dalam pribadi kita masing-masing." Abdullah menatap pandangan lurus depan. Serta merta, mereka larut dalam pikiran masing-masing.

"Hei, kawan. Aku sudah membeli sebidang bangunan yang aku ceritakan kemarin," Abdulmanap yang jenuh membuka obrolan.

"Woo wohhh... Kau serius soal itu?"

"Apa aku kelihatan main-main, hah?" Tiba-tiba saja Abdulmanap tidak enak hati.

"Maksudku, darimana kau mendapatkan kemampuan untuk itu. Kau tahu kan....", kalimat Abdullah menggantung.

"Kau tidak usah pikirkan. Tuhan turun tangan, selesai seluruh persoalan. Kau mau ikut aku melihatnya besok?"

"Tentu mau.... Sekarang pun aku siap" Abdulnasir serta merta bersemangat. Dia baru sadar, di depannya ini bukanlah anak desa sembarangan. Dia tidak sembarang bercita-cita. Kesulitan hidup tidak mampu menghentikan impiannya.

"Tidak, kawan! Besok sajalah. Sekarang aku lapar. Fathima sudah kusuruh masak yang enak-enak. haha", Abdulmanap tertawa menampakkan gigi putih yang biasa terkulum ditutupi hidungnya yang turun. Mereka akhirnya beranjak, mencari angin di tengah matahari yang malu-malu merangkak naik.

Mag dan Khabib berebut buku pinjaman. Tak butuh waktu lama, kedua anak itu terlibat baku hantam. Khabib yang pintar, gerakannya cepat. Mag berbadan lebih besar, meremukkan lawan. Mag dibuat kepayahan, dipelintir Khabib dari belakang. Terlihat sudah mulai terjadi tindakan keterlaluan, Abdulmanap melerai keduanya.

"Hei... ayo kuajak kalian ke rumah Tuan Saidovich. Dia punya mainan baru." Abdulnasir meminum teh lekas-lekas. Bergegas menggiring mereka menuju jalan setapak, yang terhubung ke rumah-rumah penduduk. Di belakang sebuah sumur peternakan, terdapat pintu penghubung di balik belukar yang belum disiangi. Pintu reot itu seolah portal penyihir yang menghubungkan mereka dengan padang rumput dari kejauhan. Beberapa rumah berdiri, terpisah jarang-jarang.

"Luar biasa, kawan. Kau punya tempat seperti ini." Abdulmanap tak bisa menyembunyikan euforia.

"Paman, kita akan kemana?" tanya Khabib kali ini.

"Itu dia!" Abdulnasir menunjuk sebuah rumah yang tersusun memanjang. Tampak kontras dengan sekelilingnya yang lembab dan hijau. Dari belakang, berdiri jajaran kandang sapi, dan pakan hewan tertata rapi. Pertanda sang pemilik pastilah tipe orang telaten dan menyenangkan. Dari salah satu pintu yang menjorok ke arah timur, seorang lelaki besar keluar mengenakan topi lebar dan sekop berwarna cerah.

"Hei Tuan Saidovich, apa kabarmu?" tegur Abdulnasir dan dia pun berlari-lari kecil menggapai tubuh besar sang tuan tanah. Mereka berpelukan erat, cukup lama.

"Alhamdulillah, kabarku baik. Hei, ayo lihat teman baruku. Seperti yang aku bilang tempo hari. " Tanpa buang waktu, Tuan Saidovich mengajak mereka ke kandang besar yang letaknya dibedakan dengan tempat lain. Sebuah sel besar dan kokoh, terikatlah seekor binatang yang mencengangkan penglihatan.

Binatang bergigi tajam. Yang kelak menggelegakkan nafsu bertarung si elang muda. Yang dengannya, ia akan dikenang banyak orang. []




The Title [Dwilogy Of Nurmagomedov]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang