Chapter 33. Patah Hati

40 5 0
                                    


"Kau tidak berniat ikut. Apa kau yakin, Khabib?"

Fatima membaca gerak gerik anaknya. Khabib mengurung diri sejak kepulangan dari Moscow. Kemenangannya terasa garing. Kesan kebanggaan yang menguap di hari belakangan ini.

"Badanku masih kaku. Aku butuh istirahat lebih banyak," katanya menyahut, tanpa melihat Fatima. Khabib menyeruput teh sisa kemarin malam. Tidak terganggu dengan rasa. Seolah sekadar menginginkan kerongkongannya basah. Di ujung kamar, lemari kayu berlapis kaca tipis transparan dihiasi dua medali. Pankration Atrium Cup adalah medali keduanya, setelah dulu ia pernah menjuarai turnamen amatiran. Di atas rak itu, tergantung kertas-kertas penting yang dimasukkan ke dalam dokumen plastik berwarna biru laut. Belum lama ini, Khabib mendapat tawaran sponsor yang entah darimana, mereka mengetahui nomor ponselnya. Produk baju olahraga, klub dan gym, hingga vitamin penguat menawarinya harga sponsor yang menggiurkan. Magomed, orang yang pertama membaca kontrak-kontrak itu. Super antusias. Ilmu di tahun pertamanya universitas terlihat berguna. Dia menyerahkan urusan itu pada sang kakak secara sukarela.

"Hai, Brat!" Magomed menyerobot masuk ke kamar. Ia membawa dokumen hitam berkilat. Wajahnya ceria. Dia memainkan urat pelipisnya naik turun. Ini yang biasa dia lakukan kalau mengendus aroma uang.

"Kontrak lagi?" Khabib bertanya malas. Untuk kedua kali, ia menyeruput teh basi itu. Masih dengan tatap datar.

"Tenanglah, semua sudah kuurus. Kau hanya perlu menyapa penggemar di luar sana"

Senyum Magomed merekah. Ia terbahak pelan, menampilkan gigi-giginya yang kecoklatan pudar. Biji kopi yang pekat termasuk minuman favoritnya. Ia tak terlalu memikirkan berat badan atau diet khusus. Ini yang paling disyukurinya dengan tidak menjadi atlet.

"Baguslah!" Khabib menyalakan televisi, membuat keberisikan seisi ruangan.

"Brat, hari ini pernikahan Eldar. Kau tahu dengan siapa."

"Kau sudah cerita. Sudahlah"

"Katakanlah sesuatu...."

"Apa? Aku tak harus berkata apa pun"

"Ibu bertanya, kenapa kau berubah sejak pulang dari Moscow. Ini bukan soal "Moscow", kan? Kau berubah sejak aku beritahu soal pernikahan mereka"

"Ya kah? Kau pikir aku begitu"

Detik yang lambat. Magomed mengeyahkan kepura-puraan. Ia berjalan lambat menemukan sepasang mata Khabib yang menolak. Dia terus memaksa bersitatap.

"Jujurlah, Brat", katanya. Khabib memainkan ibu jari di depan bibir. Kedua mata kakak beradik itu belum lepas.

"Oh Mag, kau tahu aku payah soal perempuan"

"Aku dan kau tak jauh beda kan"

"Tapi aku lebih parah"

"Ya, leeeebih parah. Kau lebih memalukan, Brat. Ingat, pas kau beku di depan dia?"

Hahaha. Ini tawa pertamanya.

"Santailah. Kau bisa cari yang lain"

Khabib tidak terlalu gembira dengan kata-kata itu. Tiba-tiba saja, Magomed terbodoh dengan kalimat yang seharusnya tidak dia ucapkan pada petarung patah hati.

"Bukan soal mencari ganti, sebenarnya"

"Ya, tapi dia menikah. Bukan pacaran. Pernikahan itu final bagi seorang perempuan"

Dua kali anggukan. Khabib mencerna kata itu dengan bijak.

"Kau benar. Mungkin aku hanya butuh waktu"

"Yes, Brat! Aku rasa kau butuh ini. Bacalah, kali ini. Oke?" Magomed menyerahkan dokumen sponsor yang tampak istimewa di tangannya.

"Rusia, Amerika, Asia, kau akan merajai semuanya". Lambang elang perkasa dengan sepasang kepak terbentang. The eagle, martial arts academy. Pupil bergerak melebar. Dokumen itu mencuri hatinya, yang tergeletak di atas meja. Magomed meninggalkan Khabib sendirian. Dia bergegas mencerna isi, apa gerangan yang akan terjadi. Sementara tangan kanan meraih teh basi yang tinggal seteguk lagi.

"Howeekkk! Ahh!"

Inilah rasa teh terjelek sedunia. Urusan patah hati sedikit mereda. Indera pengecap normal seperti sedia kala. Martial arts, kian menanti anak muda itu. []

 []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Title [Dwilogy Of Nurmagomedov]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang