20. Masalah

4.8K 337 0
                                    

Revan sempat mampir sebentar menyapa Naura, karena Farhan belum pulang kerja, laki-laki itu hanya menitipkan salam nya. Ia langsung pulang dengan alasan besok masih ulangan, padahal Revan juga tidak akan belajar saat sampai di rumah.

"Belajar kamu!" Semprot Naura ketika melihat anak nya asik duduk di sofa tengah, sambil memakan camilan yang ada. "Enggah ah males, besok MTK."

"Loh justru itu makanya belajar."

"Gamau, aku ga bisa mtk, otak aku juga udah mentok." Jawab Sarah santai, lalu melempar pilus rasa pedas itu ke tubuh Naura yang ada di samping nya. "Papa mana?"

"Kalo Papa ada di rumah ya dari tadi udah keluar," ujar Naura--jengkel. Sarah kemudian tertawa melihat nya. "Ya iya atuh jangan marah-marah, kan cuma nanya."

Saat menyaksikan Mama nya diam menonton tivi, Sarah baru ingat kalau Ardian belum memberi tahu nya apa-apa tentang keadaan Tante Rana. "Ma, kasian banget ya Tante Rana."

"Iya, ihhhh kalo Papa kamu kayak gitu udah Mama pites kayak kutuk! Jangan sampai Ya Allah, amit-amit." Naura jadi heboh sendiri, tubuh nya langsung putar balik menghadap ke Sarah.

"Mama udah jenguk Tante Rana?" Naura mengangguk, ia memang dekat dengan Ibu nya Ardian itu. "Mama kasian banget, dulu badan Rana masih gemuk, sekarang tinggal tulang."

"Ma---" Sarah menggantungkan kalimat nya. "Kok hidup kita kayak ga punya masalah ya?"

"Dih? Kamu pengen banget punya masalah gitu?"

"Ya engga gitu--kan setiap orang pasti punya masalah--"

"Entah itu kecil atau besar," potong Naura sambil tersenyum. "Masalah itu pasti dateng, gausah di tunggu. Kamu pikir hidup Mama itu adem-adem aja pas masih remaja kayak kamu? Engga Sar. Semua itu tergantung cara individu itu mau nanggepin nya kayak gimana, ngungkapin atau memendam."

Sarah lantas tersenyum, ia belum merasa ada masalah yang berarti terjadi pada diri nya. Lalu kapan masalah itu datang?

-----

"Belajar goblok!" Revan menoleh sekilas, lalu kembali fokus kepada video game di ponsel nya. "Mau jadi apa lo entar gede?!"

"Pengen nya sih jadi astronot, biar bisa buang lo ke Pluto." Jawaban itu langsung mendapat hadian jitakan keras di kepala Revan, sampai-sampai laki-laki itu mem-pause game nya.

"Rio gue amnesia!! Nama gue siapa?! Nama gue Fedi Nuril bukan?" Ujar Revan dramatis, Rio memukul lengan adik nya, lagi.

"Fedi Nuril mah lelaki idaman, beda banget tuh sama model kayak lo, Van."

"Ngaca. Kaca kamar lo pecah? Tuh ke kamar gue aja, kalo gamau yaudah ke kamar nya Rozan." Revan lantas terkekeh, kemudian kembali memainkan game nya.

"Besok gue kan pindah Van," Rio mengingatkan, raut wajah Revan sempat berubah beberapa detik, lalu kembali seperti biasa. "Ya bagus deh, keadaan lo di rumah ini juga cuma jadi parasit."

"Kalo ngomong!" Rio hampir saja menonjok wajah Revan kalau saja ia tidak sadar bahwa adik nya itu memang doyan bercanda. "Kalo si Rozan asik sama buku, lo ke rumah gue aja."

"Iya."

"Terus, kalo lo males makan sendiri ke rumah gue aja sama Rozan."

"Iya."

"Jangan lupa tutup jendela kamar lo kalo mau tidur, nanti ada kelelawar masuk kayak dulu."

"Iya."

"Jangan lupa nafas."

"Ya."

"WOI GUE KETERIMA UNDANGAN DI UNBRAW!" Suara teriakan dari pintu masuk membuat suasana haru yang sedang di buat Rio hancur seketika. Disana, berdiri laki-laki yang tinggi nya lebih pendek dari mereka berdua, sedang membawa beberapa tumpukan buku dan senyum yang tidak hilang bahkan sampai ia duduk di depan Rio dan Revan. "Seneng dong lo berdua!"

"Haha iya gue seneng," timpal Revan di buat-buat, "berarti abis ini lo ga bakal sibuk kan sama buku lo itu? Kan udah keterima di Unbraw."

"Ya ga janji deh, kayak nya gue harus nge-kost disana. Oiya buat lo Rio, nanti uang jajan gue pas disana jangan dikit ya."

"Sudah terlalu lama sendiri... sudah terlalu lama aku asik sendiri..."

Rio menatap adik nya nanar, tahu betul bahwa sebenarnya ia bukan hanya sekedar bercanda. Tapi apa yang harus ia lakukan? Pernikahan nya sudah berlangsung tiga hari yang lalu dan ia harus tinggal di rumah yang sudah ia beli, tentu saja bersama Geby.

Hidup tanpa orangtua memang menyiksa--Rio tahu betul, apalagi adik nya yang satu ini bahkan tidak pernah melihat Ayah atau Mama nya secara langsung. Berbeda dengan Rio yang lima belas tahun tinggal bersama orangtua nya, Omah nya juga sudah tidak ada sejak dua tahun yang lalu. Di saat keluarga nya retak, Omah selalu ada di rumah anak laki-laki nya itu--Ayah mereka. Tapi apa boleh buat, kanker hati merenggut nyawa Omah kesayangan mereka bertiga.

"Van."

"Kok gue jadi ragu ya ninggalin lo."

"Yaelah lebay lo, yang penting uang bulanan gue masih lo kasih juga gue bersyukur." Sebagai anak sulung, Rio tahu tugas nya. Sejak ia bekerja di salah satu kantor, gaji nya memang ia peruntukan untuk uang jajan kedua adik nya tersebut, biaya sekolah, dan semua nya.

"Revan, cari pacar gih."

"Santai, muka gue ga akan buat cewek pada nolak kok, ini aja gue nya yang lagi males."

"Tai."

****

Maaf kalo part ini terlalu maksain banget wkwk

EvanescetNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ