14 . IF YOU

6.7K 1.1K 130
                                    

Astaga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Astaga ... did we make an eye contact, makanya jantungku sontak berdegup lebih cepat?

Aku berdiam cukup lama dalam lengan Top yang mencegahku jatuh. Wajah kami begitu dekat satu sama lain. Berani sumpah, tatapan matanya meredup saat menyelam ke dalam mataku.

Wow ... jadi gini rasanya paused from falling down with a hold on a hip oleh seorang pria?

Daebak!

Rasanya mendebarkan. Selain mata kami, ada sensasi lain saat dua kakiku tidak menopang seluruh tubuh. Aku seakan melayang. Oh iya ... mungkin itulah alasan jantungku berdebar kencang. Benar, benar. Aku yakin itu bukan perasaan lainku terhadap Top, melainkan sensasi takut jatuh, tapi tahu tak akan jatuh. Kayak waktu kita naik roller coaster, ngerasa ngeri dan khawatir, tapi juga tahu bakal aman-aman aja. Tangannya merengkuh erat tepat di lekuk tubuhku, aku melengkung seperti busur panah dengan satu kaki melayang di udara.

"Keke ...." Top menyebut namaku.

Kelopak mataku mengedip.

"Are you okay?" tanyanya.

"I am okay," jawabku.

"Lo nggak akan jatuh dan bisa berdiri sekarang," katanya, tersenyum.

Ya ampun, kirain dia bakal mendorong tubuhku supaya bisa kembali berdiri, ternyata dia sengaja membiarkan karena posisiku sudah cukup aman. Nggak akan terjatuh kalau aku bertolak untuk berdiri tegak.

Karena malu dan gugup, dengan gegas aku bertolak sekaligus melompat menjauh.

"Sorry!" ucapku.

"Sudah nggak sabar ya pengin tahu di mana Raksa kerja?"-kayaknya Top berusaha menggodaku-"Ati-ati, kalau lo jatuh dan koma juga kan nggak lucu."

"Emang nggak lucu!" gerutuku, pura-pura sebal biar maluku tersamar. Aku menambahi, "Jangan menggunakan musibah orang lain buat bahan bercandaan."

Top nggak mengacuhkanku, dia malah mengulurkan tangan.

"Apa?" tanyaku setengah menghardik.

"Pegangan tangan," katanya santai. "Biar nggak jatuh."

Aku menepis tangannya sambil berjalan mendahului, "Enak aja, emangnya gue nenek-nenek!"

"Mau ke mana?" cegah Top sebelum jauh.

"Masuk," jawabku penuh percaya diri.

"Bukan itu tempatnya." Top mengekeh. "Di belakang."

Anjay! Kenapa dia nggak bilang dari tadi, sih? Aku udah naik tiga tangga menuju teras rumah yang halamanya kami pakai buat parkir sepeda. Seudah ngomong gitu, dia masih menahan senyum seraya berjalan melewatiku. Kepalang malu, aku biarin dia jalan agak jauh, baru kuikuti.

Di balik rumah tadi, ada bangunan kecil yang seluruh dindingnya terbuat dari jajaran kayu berpelitur. Dari jalan, kabin kayu sederhana itu sama sekali tak terlihat. Aku berhenti tak berapa jauh dari pagar pendek yang mengelilinginya, mengagumi penampakan kabin mungil yang meski tak jauh dari rumah lain, tapi memberi kesan terisolasi.

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang