9. BANG BANG BANG

8.1K 1.4K 136
                                    

Aku nggak dapat kesempatan menanyakan maksud Top karena Bang Edo keburu datang.

Meski begitu, aku mengerti. Barusan dia menuduhku materialistis. Tentu saja itu nggak sepenuhnya benar. Kalau aku disuruh meninggalkan Raksa demi uang dan aku mau, itu baru namanya mata duitan. Ini, kan, kasusnya lain, ya nggak? Ya, kan? Maksudnya, coba kamu di posisiku. Kamu pasti akan menyelamatkan harga dirimu di depan seseorang yang udah bikin kamu kecewa setengah mampus, salah satunya dengan bersikap tegar, merampas (kalau bisa) semua uangnya, lalu membuatnya berpikir kalau bagiku dia juga nggak berharga-berharga amat. You're worth sum of money, you don't even worth my dignity.

Aku yakin Raksa lebih kecewa saat aku menerima uang yang dia tawarkan daripada nggak. Itu pasti melukai harga dirinya.

"Top, ya?" Bang Edo mengulurkan tangan.

"Ya. Edo?"

"Ya. Well... kita baru akan berangkat besok pagi. Jadi, gue harap lo nggak keberatan dengan keadaan apartemen gue."

Kita? Berangkat? Ke mana?

"Oh, nggak masalah," kata Top. "Gue tidur di sini aja. Nyantai, kok. Barang gue udah dibawa sama suruhan Tante ke vila."

Aku cuma bisa bengong. Kita? Berangkat? Vila?

Kita itu berarti yang ngomong termasuk, kan? Berarti Bang Edo juga bakal ikut ke vila entah di mana itu, kan? Kita itu termasuk aku nggak?

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, "Ke vila mana, Bang? Bang Edo mau ke mana?"

Dua cowok itu menoleh.

"Dia nggak tahu?" tanya Top duluan.

"Belum," jawab Bang Edo, tapi mukanya masih menatapku terus. "Kita akan ke vila keluarga Raksa. Raksa juga akan dipindah ke sana."

What???

"What??? No!"

"Yes!"

"No! Aku nggak mau! Ngapain coba aku ke sana segala?"

"Buat Raksa, buat lo juga," kata Bang Edo. "Gue udah bilang Mama dan Mama bilang emang lo harus ke sana. Siapa tahu ada hal besar yang bisa diluruskan antara lo dan Raksa."

"Buat aku? Buat aku apanya? Dan kenapa Bang Edo ngomong ke Mama duluan, bukannya ke aku? Ini hidup aku, Bang. Aku yang mutusin, masih ada yang bisa dilurusin antara aku dan Raksa atau nggak!"

"Keke... gue tahu lo masih kesal dan kecewa sama Raksa, tapi sekarang ini dia bener-bener sedang berjuang antara hidup dan mati. Emang hati lo nggak tersentuh? Hati lo udah mati? Dia bisa aja melakukan semua itu buat lo, Ke. Kalau sampai terjadi apa-apa sama Raksa, lo yakin lo nggak akan nyesel?"

Rahangku mengeras.

"Waktu dia memperlakukan aku kayak gitu, nggak ada orang yang peduli sama aku. Aku juga bisa aja berjuang antara hidup dan mati waktu itu saking malu dan kecewanya, kenapa sekarang semua orang mendadak mendesak aku untuk melibatkan diri seolah apa yang dilakukannya nggak berarti?"

"Ke... masalahnya, Raksa udah beneran melakukannya...."

"Dan aku belum, gitu? Jadi, aku juga mesti minum obat tidur sampe overdosis biar semua orang peduli sama aku?"

"Keke, lo ngomong apa, sih?"

"Pokoknya aku nggak mau. Titik! Aku juga punya kehidupan. Hidupku yang hancur juga nunggu buat aku perbaiki—"

"Oh, come on, Ke," potong Bang Edo tanpa perasaan. "You have all the time in the world. And beside, gue tahu lo nggak pernah punya keinginan untuk melakukan apa-apa, lo dapat semua yang lo mau dari Raksa, kan? Lo bisa melakukan banyak hal yang membahagiakan dengan semua itu, sedangkan Raksa—"

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang