10. A Good Man

8.4K 1.4K 143
                                    

Kuakui aku yang sekarang jauh banyak berubah.

Dulu, baru saja diam sedikit, sudah banyak sekali yang bertebaran di kepalaku-dan kebanyakan adalah khayalan-khayalan tingkat tinggi. Kalau nggak berkhayal, ya, mikirin hal-hal nggak penting yang pada ujung lamunan sudah terseret ke hal lain, seperti bola salju yang menggelinding. Misalnya, seperti waktu aku kehilangan ponselku di sebuah toilet pom bensin, aku sudah bolak-balik kembali dan berharap ada yang berbaik hati mengembalikannya, tapi nggak ada. Bahkan, setelah memutuskan untuk membeli ponsel baru, aku masih membayangkan ponselku itu kembali, kujual dan kubelanjakan, lalu di salah satu kemasan makanan yang kubeli aku dapat undian sepuluh juta rupiah. Karena sepuluh juta terlalu kecil, aku menaikkannya menjadi seratus juta, sampai akhirnya jadi satu miliar, dan entah gimana ceritanya, aku sudah ada di Paris, jalan-jalan nemenin Sehun menghadiri Louis Vuitton Fashion Week.

Setelah kejadian yang menghantam mentalku beberapa bulan lalu, aku sudah sangat jarang mengambang di dunia impian. Bukan dalam artian yang positif, justru sebaliknya. Kepalaku lebih sering kosong melompong. Bukan cuma sekali aku duduk diam menghadap jendela, nggak tidur, tapi juga nggak mikir apa-apa. Sadar-sadar, aku sudah kayak gitu berjam-jam.

Belum lagi, kadar alkohol dalam darahku pasti naik nggak keruan gara-gara stok anggur dan sampanye yang nggak bisa diuangkan kembali. Aku juga bukan jenis pemabuk yang banyak mengoceh demi melampiaskan kekesalan. Kalau mabuk aku diam, terpuruk dalam kesedihan tak bertepi, yang membuat keadaanku semakin mengenaskan.

Sudah lama juga aku nggak ngobrol dengan makhluk hidup selain Reza dan Mama, kalau sama benda mati malah sering. Kayak botol minuman, boneka, remote yang hilang, atau pantulan diriku sendiri di cermin.

Mungkin, Top dan Bang Edo ada benarnya. Aku memang butuh ketemu Raksa untuk menjernihkan semua hal yang terjadi di antara kami kalau ingin mengentaskan diri dari hari-hari penuh kekosongan. Sebagian diriku sepertinya masih tertambat oleh trauma dan aku nggak mau menjalani hidup seperti ini ke depannya.

Aku dan Top sampai di kawasan Puncak bersama Bang Edo dan entah siapa. Pagi-pagi sekali kami berangkat untuk menghindari macet dan wartawan. Mobil yang membawa Raksa dan keluarganya akan tiba nanti sore. Jadi, sampai detik ini aku belum melihat keadaan Raksa kecuali dari video di ponsel Bang Edo.

Kalau dari video itu, sih, dia memang kayak orang koma di film-film gitu. Merem, mukanya pucat, di lengannya terpasang infus, di hidungnya ada selang oksigen. Instalasi medis juga tampak aktif di sekitar tempatnya berbaring. Meski demikian, dokter bilang keadaan Raksa sudah mulai stabil. Dia nggak akan melewati masa kritis apa pun lagi dan kami tinggal menunggunya bangun dalam waktu dekat. Keluarga besarnya lagi-lagi memutuskan membawanya kemari secara rahasia supaya media nggak terus memberitakan skandal ini.

Mereka menghendakiku bergabung karena yakin Raksa ingin melihatku saat bangun nanti, tetapi belum seorang pun perwakilan dari mereka yang mengatakannya langsung. Bang Edo bilang, Tante Yoona ingin bertemu sesampainya di Bogor.

"Lo pernah diajak Raksa ke sini?" Top bertanya.

Aku menggeleng, menyaksikan hamparan kebun teh yang hijau dan menyejukkan mata.

"Ada curug di bawah sana. Mau ke sana sebelum rombongan sampai?"

"Licin, nggak? Gue cuma pakai flat shoes biasa."

"Licin, tapi ntar gue bantuin."

Daripada nggak ngapa-ngapain, Bang Edo juga sibuk sama temannya entah ke mana, aku ikut saja dibawa Top jalan-jalan. By the way, pagi ini dia cuma pake short selutut dan kaus (yang lagi-lagi) tanpa lengan. Kalau kemarin warnanya putih, kali ini hitam. Celananya agak melorot, kadang karet boxer-nya ngintip kalau dia meraih-raih ranting untuk mainan sepanjang perjalanan. Rambut pink-nya dibiarkan jatuh tanpa tatanan hair gel.

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang