6. Stupid Liar

9.4K 1.6K 238
                                    

"Sebenarnya kabar nggak sedap tentang Raksa udah beredar sejak beberapa hari belakangan," kata Bang Edo sambil memasang sabuk pengaman. Aku mau tidak mau duduk di jok belakang, koper berisi baju-bajuku entah yang mana disimpan di bagasi. Reza melajukan mobil meninggalkan rumahku.

"Kenapa, sih, emang ama dia, Bang?" tanya Reza .

"Ya... banyak yang bilang dia agak aneh."

Aku yang duduk merapat di jendela menyeringai tanpa suara. Agak aneh, katanya?

Daripada mendengarkan Reza dan Bang Edo ngomongin Raksa, aku memilih merenungi hari-hari bersama anggur yang akan sirna dalam sekejap mata. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi aku setengah berharap kalau itu cuma usaha murahan untuk menaikkan pamor Raksa. Aku lebih tertarik meratapi nasibku beberapa hari ke depan di apartemen Bang Edo.

Apartemen Bang Edo, tuh, kayak open house setiap hari. Selain itu, aku kurang suka dengan gaya hidupnya yang kelewat hedon. Berapa, sih, pendapatannya dari pemotretan dan jalan di catwalk sampai bisa punya apartemen dan mobil seharga ratusan juta? Apa nggak berat dia nyicil tiap bulannya? Belum lagi kebiasaannya menyelenggarakan pesta. Kalau aku tinggal di sana saat dia bikin party, malas banget menghadapi orang sebanyak itu yang kebanyakan kenal Raksa dan tahu aku. Mungkin aku lebih baik mengungsi ke tempat Mama.

"Bang," panggilku, memotong cerocosan Bang Edo yang sama sekali kuabaikan. "Apa aku ke rumah Mama aja, ya?"

"Kenapa memangnya?"

"Mama udah lama nyuruh-nyuruh aku balik ke rumah," bualku. Bukan menyuruh pulangnya yang membual, tetapi menggunakannya sebagai alasan itu yang ngibul banget.

"Nggak. Kejauhan," tolak Bang Edo singkat dan padat. "Lagian gue nggak mau Mama khawatir kalau wartawan nyerbu ke rumah."

"Kalau wartawan ke sana pas kita nggak ada, bukan malah kasihan?"

"Lo kayak nggak tahu Mama aja. Kalau dia sendirian, malah seneng dia bisa tampil di teve. Kalau ada lo, dia bakal kebingungan."

"Iya, Ke. Mending lo nurut dulu, deh, apa kata Bang Edo. Terus yang soal Raksa tadi gimana, Bang?" sahut Reza sebelum aku mulai melancarkan bujukan.

Aku sengaja mendengus keras-keras supaya mereka tahu kalau aku dongkol. Aku berbalik dan mulai melamun sambil diam-diam pasang kuping, berharap ada berita seru yang bisa kutertawakan soal Raksa.

Bang Edo menyambut tanggapan Reza, "Raksa itu, kalau menurut orang-orang, kayak dipaksa banget buat menuhin standar keluarganya. Dia tertekan."

"Tertekan?" tanya Reza. Dari spion tengah, aku bisa melihat kedua alisnya tertaut.

"Nggak terlalu jelas juga kenapa berembus kabar kayak gitu. Tapi kalau lihat tindakannya kali ini, gue yakin dia punya alasan kuat kenapa sampai memutuskan membatalkan pernikahan"-Bang Edo melirikku lewat kaca spion tengah-"Mungkin aja ini ada hubungannya dengan misteri itu."

Aku buang muka.

"Nggak ada misteri-misterian," tandasku. "Dia pengecut. Bagus, deh, kalau dia mati sekalian. Bang Edo ini kakak aku bukan, sih? Apa Abang nggak ada kesel-keselnya gitu sama dia?"

"Nggak kesel gimana? Kalau bukan karena dia merasa bersalah, gue udah masuk penjara kali dulu itu!" bentak Bang Edo sambil memelotot. "Udah, mending lo simpen kebencian lo dulu sampai lo lihat keadaannya nanti. Jangan sampai lo nyesel."

Aku pura-pura meludah.

Ngapain nyesel? Nggak sudi. Aku bukannya nggak khawatir sama keadaan Raksa. Aku cuma nggak mau terlihat khawatir aja. Tapi menyesal? Jelas aku nggak punya hati lagi untuk itu.

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang