8. Ego

8.4K 1.4K 164
                                    

"Jadi, lo siapanya Raksa?"

"Temen."

Aku mengembalikan uang Top, termasuk yang kupakai untuk membeli minuman dan makanan ringan dalam perjalanan kembali ke lantai 14. Cowok itu melepas jaket dan menyampirkannya di sandaran kursi. Aku sempat melongo. Jarang-jarang ada cowok dewasa buka-bukaan di depanku. Mana di dalam jaketnya dia cuman pake sleeveless sport shirt yang memaparkan seluruh lengannya. Duh. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan dari bahu lebarnya yang menyita perhatian.

Kalau soal wajah, kataku sih dia nggak setampan Raksa.

Bukan berarti jelek, cuma nggak sesuai standar ganteng yang bisa langsung kelihatan gitu. Malahan sekilas ada kesan bengis di raut mukanya yang serba runcing. Matanya juga menyorot tajam, jauh dari kesan ramah. Bukan jenis mata yang berbinar dan bikin orang tersipu manja. Padahal, dia cukup bersahabat, terbukti dari keluwesannya menawarkan bantuan kepadaku. Selain itu, caranya meneliti ruangan dari sudut ke sudut juga membuatku merasa kurang nyaman. Belum lagi kalau dia udah mengambil jeda sebelum menjawab atau melempar pertanyaan, kayak apa ya... terencana, nggak spontan diucapkan.

Misterius.

Setelah beberapa saat saling diam dan kelihatannya sama-sama nggak punya niat untuk membuka pembicaraan, aku beranjak dari kursi sambil bertanya, "Mau minum?"

Nah kan, dia nggak langsung jawab. Malah kayak terkesiap gitu sekilas. Sepersekian detik setelah kalimatku berakhir, baru dia bilang, "Gue, kan, habis minum."

Oh iya, dia habis minum kopi ukuran gede dan sebotol air mineral di kafe.

"So..."—Top bersandar—"abang lo mana?"

"Nggak ngerti gue," jawabku, urung beranjak. "Siapa yang nyuruh lo ke sini, by the way?"

"Nyokapnya Raksa. Daripada di rumah sakit, mending gue di sini dulu katanya."

Keningku mengernyit sendiri. Kok Bang Edo jadi terlibat sejauh ini sama keluarga Raksa, sih? Aku nggak ngerti apa hubungannya. Kalau dia jemput aku karena mendengarkan saran mamanya Raksa, sih, aku masih bisa ngerti, tapi kalau sampai membiarkan apartemennya dijadikan tempat berlindung orang nggak dikenal demi Raksa, kok berlebihan, ya?

"Apa, sih, yang terjadi sama Raksa?"

Alis Top mengerut samar. Dia mengalihkan pandangannya dari akuarium penyekat ruang tamu ke wajahku, "Dia koma."

What the hell... aku memutar bola mata sambil mendengus. Aku paling kesal sama kelakuan kayak gini. Khas seleb banget kayak gini, tuh. Pura-pura bego buat menghindari topik pembicaraan selanjutnya. Aku mungkin baru lima bulanan kenal Raksa dan sebagian kecil keluarga nyentriknya, tapi hal kayak gini nggak sulit buat kuanalisis.

Top sepertinya mengerti betapa muaknya aku sama attitude kayak gitu. Dia tersenyum miring,

Aku masih nggak paham. Bukannya obat tidur harusnya cuma bikin orang ngantuk, terus bangun lagi kalau tidurnya udah cukup? Kupikir dia ditabrak mobil waktu sok-sokan touring pakai moge konyolnya itu, atau jatuh waktu wall climbing. Meski dia nggak pernah bisa tinggi banget manjatnya, kayaknya cukup kalau cuma bikin dia koma aja.

Baru saja mau kutanya, Top akhirnya bicara, "Banyak obat tidur."

Seberapa banyak?

"Cukup banyak."

"Mereka yakin dia nggak cuma tidur?"

Top membelalak, tapi kemudian menahan semburan tawa kecil sambil menggeleng-geleng, seakan dia takjub dengan apa yang kukatakan.

Second LeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang