Bonus Chapter: After

Start from the beginning
                                    

Namun kini mataku terpusat ke selembar foto James yang kutempel di samping fotoku bersama Liam. Aku diam-diam memotretnya saat di basecamp.

Sudah sebulan lebih sejak James menjengukku di rumah sakit. Sejak itu kami memang masih berkomunikasi melalui pesan singkat dan video call. Tetapi rasanya semua itu tidak cukup karena aku ingin melihat dan mengobrol dengannya secara langsung.

"Kau merindukan James?"

"Tidak," aku menjawabnya dengan cepat sambil berjalan menuju kasur.

"Oh, kau mau berbohong lagi padaku?" Ayah bertanya dengan nada meledek. Tidak perlu malu-malu begitu, Nak."

Bagaimana tidak malu? Aku bisa saja menjawabnya dengan jujur namun aku merasa agak aneh jika mengobrol mengenai hubunganku dengan James bersama Ayah. Ia selalu protektif jika saja aku berhubungan dengan lelaki. Tempo hari, setelah James pulang dan Ibuku sedang menemaniku di rumah sakit, Ibu bercerita kalau saat James datang ke rumah hari itu, Ayah tampak tidak senang. Ia mencengkeram tangan James. Ibu bilang James tidak terlalu menunjukkan ekspresi kesakitan namun Ibu dapat melihat urat tangan dan leher Ayah selama menjabat tangan James.

"Selamat malam, Ayah," aku segera berbaring memunggungi Ayahku.

"Hei, Ayah masih mau berbicara denganmu, tahu?" tanya Ayah. Aku merasakan tangannya yang lebar mengusap rambutku.

Maka aku pun merubah posisiku menjadi terlentang. Ayah duduk di sampingku dan berbicara dengan lembut. "Berjanjilah kalau kau tidak akan menyembunyikan hal apapun dariku dan Ibumu, Nak."

Aku tidak langsung menjawab. Aku memandangi ekspresi Ayah. Ekspresinya biasa saja namun sorot matanya sedih dan gelisah. Ini membuatku menyesali perbuatanku yang ternyata membuat Ayah dan Ibu menderita.

Seharusnya aku tidak melakukan hal itu; menabrakkan diriku ke mobil. Aku sungguh bodoh. Aku tidak tahu apa yang kufikirkan saat itu. Kurasa aku terlalu marah dan sedih karena segala ucapan Winny. Terutama setelah apa saja yang kualami selama di London.

"Maafkan aku," suaraku begitu pelan dan lirih, nyaris seperti bisikan. "Maafkan aku, Ayah."

Ayah tersenyum. Ia mengusap pelipisku, kemudian membungkuk dan menanamkan ciuman panjang di kening. Ia pun keluar dari kamarku tanpa mengatakan apapun lagi.

Sekejap saja rasa kantukku hilang.

Aku memikirkan segala tindakanku hingga sekarang, yang tanpa kusadari membuat kedua orang tuaku sedih dan menderita.

Kenapa aku tidak menyadarinya sejak awal?

Walaupun aku kehilangan banyak sahabat, setidaknya aku masih memiliki Ayah dan Ibu disini. Juga Greyson, James dan the lads. Walaupun mereka berenam jauh dariku, aku tahu suatu saat nanti kami akan bertemu lagi.

Aku merubah posisi tidurku lagi menjadi miring. Mataku terpaku ke ponsel yang kuletakkan di atas meja kecil di samping ranjangku. Layarnya menyala. Begitu aku tahu tertera nama 'James' di layarnya, aku langsung menyambar benda tersebut dan menggeser lockscreen. Wajahnya langsung memenuhi layar ponselku.

"Kau mau tidur?" ia langsung bertanya sebelum aku menyapanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Oh, okay. Dia sedang bertelanjang dada. "Kurasa aku akan meneleponmu besok—"

"Tidak! Tidak apa-apa," tanpa sadar aku berseru, mencegahnya memutuskan sambungan telepon. "Aku senang kau meneleponku."

James diam selama beberapa detik sebelum menunjukkan cengirannya yang lucu. "Dimana Beth yang gengsi dan selalu menutupi perasaannya dariku?"

OBSESSIONWhere stories live. Discover now