Part Nine : Blade of Love

40 2 0
                                    

Obiet terjebak oleh sebuah rasa yang dikarenakan kesalahannya sendiri. Rasa yang dulu untuknya mungkin telah hilang, entah akankah kembali atau bahkan pergi untuk selamanya. Rasa itu benar-benar menyiksanya dalam sebuah imajinasi kecil yang belakangan ini menghantui pikirannya.
"Apa rasa itu masih ada?" Tanya Alvin setelah mendengarkan kisah masa lalu Obiet yang dulu sempat menyiksanya, namun tak separah yang dialaminya saat ini.
"Entahlah," jawab Obiet tanpa menatap mata si penanya. Obiet menyandarkan tubuhnya pada tumpukan bantal yang tersusun rapi diatas kasur Alvin, lalu mulai menyibukkan diri dengan buku shinigami yang tergeletak di sampingnya. Sedangkan Alvin masih sibuk mengetik, entah mengetik tugas kampus atau mungkin mengetik sesuatu yang bisa menjadi clue untuk Obiet dalam memecahkan masa lalu Alvin yang masih berhubungan dengan Mario, Saufyka, dan deretan kematian.

"Lo ngasih perhatian sama Vya layaknya seorang kekasih. Nyiksa tahu gak?" Alvin membuka bahasan.
"Gue tahu kok," jawab Obiet singkat.
"Ngasih perhatian tapi gak jelas akhirnya rasa itu buat dia apa bukan," lanjut Alvin. "Vya dilema sama sikap loe yang kayak gitu. Sekarang dia butuh laki-laki yang bener-bener bisa melindunginya," jelas Alvin.

"Hmm." Obiet lebih memilih untuk tak terlalu merespon. Sudah jelas, kalau pembahasannya diperpanjang pasti ia akan jadi pihak yang tersudutkan.

"Vya atau Oik?" Tanya Alvin memastikan.
"Entahlah," jawab Obiet untuk kedua kalinya. Sebelumnya ia sempat menghela nafas. Lelah? Ya mungkin Obiet lelah, lelah bermain dalam dua hati wanita.
"Lo gak bisa kaya gini dong. Cuma karena satu hati yang gak pasti malah nyiksa banyak perasaan yang ada." Alvin terlihat kesal, kemudian ia menutup laptopnya .
"Lo gak ngerti, Vin." Obiet menolehkan pandangannya pada Alvin. Kedua bola mata itu saling bertautan. Bola mata Obiet nampak memerah, mata nya pun seolah ingin menumpahkan butiran kristal.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Oik atau Vya?" Tegas Alvin mengulangi pertanyaan itu lagi. "Gue mohon jangan siksa perasaan Vya dengan segala perhatian itu, kalau lu belum pasti mau milih dia."

Lagi-lagi Obiet membisu. Ia kembali melanjutkan aktifitas membacanya yang sempat terhenti. Saat ini Obiet benar-benar diambang rasa bimbang. Tak tahu harus memilih siapa. Tak tahu harus mengorbankan perasaannya siapa.
"Lo tuh sayang sama Oik, tapi gak mau ngelepas Vya kan?" Nampaknya Alvin benar-benar keras kepala. Entahlah, mungkin ada maksud tertentu dibalik pertanyaannya itu.
"Oik," gumam Obiet. Kemudian ia menaruh buku bacaannya secara sembarang. Matanya kembali bertautan dengan Alvin, tapi tatapannya kosong. Senyum itu kembali tergambar dalam ingatannya, sorot mata yang mewakili kekecewaan, serta isakan tangis kecemburuan itu. Aishhh. Ingatannya pun bahkan ikut membuatnya merasa tersudutkan atas segala perbuatannya pada Oik.
"TEGAS DONG SAMA PERASAAN LO!" Alvin menaikan nada bicaranya.
"LO GAK PAHAM SAMA APA YANG DIRASAIN HATI GUE!" Tukas Obiet, sejenak ia menghela nafas. Huh.
"YA GUE TAHU. Tapi hati bukan boneka bro yang bisa dimainin sesuka lo. Kalo rasa itu ada, ya kejar. Tapi kalo rasa itu udah mati, lepas! Biar ia nyari pelabuhan terakhirnya," lanjut Alvin. "Hft. Sorry, gue suka sama Vya." Pengakuan Alvin berhasil mencuri pandangan pemuda yang kini raut wajahnya sudah tak beraturan seperti biasanya.
"Sure?" Obiet seakan tak percaya.
"I'm serious. Awalnya hanya rasa bersalah dan iba saja, tapi ternyata detik waktu tak bisa berkompromi dengan detak jantung," jelas Alvin mengungkapkan perasaannya.

"Lu udah nembak Vya?"
"Belum. Karena gue tahu kalau masih ada perasaan yang terpenjara dalam hatinya. Dan ternyata perasaan itu punya lo hmmm." Alvin tersenyum miris.

***

Cafee Gemini

Kedua insan itu bertatapan, saling mengukir senyuman. Alunan merdu suara piano yang dimainkan oleh salahsatunya seakan menuntun para pengunjung untuk terhanyut kedalam keheningan malam. Apalagi ditambah cahaya ruangan berwarna jingga yang memberi kesan hangat pada tempat ini. Gadis itu kembali fokus. Jemarinya bak seorang balerina yang sedang pentas diantara hitam putih tuts piano. Si pemuda mulai mengalunkan kata-kata yang tersusun menjadi bait puisi yang indah. Alunan puisi cinta yang diringi tarian sang balerina tuts itu memberikan kedamaian untuk para pengunjung.

Blade Of Brother (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now