Part Six : Demi Jiwa yang Lelah

106 6 0
                                    

Mama Oik membisu melihat sekilas berita yang disampaikan oleh salah satu program  TV swasta. Remote yang ada pada genggamannya terjatuh, bibirnya gemetaran, dan semua bagian tubuhnya terasa kaku. Bahkan untuk bangkit dari tempat duduk pun rasanya sangat sulit.

"Innalillahi wa'inna ilaihi rozi'un" Mama Oik benar-benar tak percaya dengan berita yang disampaikan oleh seorang wanita dari balik televisi yang mengabarkan bahwa sebuah kereta Bubertabrakan dengan mobil pengangkut minyak dan telah merenggut banyak korban jiwa, termasuk orang yang paling ia sayang.

—o00o—

"Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa" terdengar suara jeritan anak kecil yang bersumber dari teras rumah. Mama Oik segera berlari menuju arah suara yang tak lain adalah suara si bungsu, Difa.

Oik terbaring tak berdaya diatas lantai, handphone-nya pun berada dilantai dalam keadaan non-aktif. Difa sangat cemas, ia memukul-mukul pelan pipi sang kaka untuk menyadarkannya.

"Dek, Kaka kenapa?" Mama panik, ia segera mengangkat kepala Oik dan ditidurkan pada pangkuannya.

"Kaka pingsan saat mengangkat telepon dari kantor papa. Ada apa dengan papa, Ma?"

"Papa....papa..." mama bingung, ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan berita buruk ini kepada anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa. Papa telah meninggal akibat kecelakaan maut yang terjadi beberapa jam yang lalu. Oik dan keluarga tidak bisa menyalahkan siapapun atas musibah ini, baik papanya ataupun pengemudi mobil pengangkut minyak. Mereka harus bisa merelakan karena sudah menjadi resiko papa Oik yang berprofesi sebagai masinis.

—o00o—

Obiet masih menjaga keseimbangannya diatas gerbong kereta api. Untunglah saat Obiet terjatuh ke bawah rel, saat itu pula kereta sedang melaju dan berhasil menangkap tubuhnya. Kereta api jurusan Yogyakarta-Bandung telah menyelamatkan nyawanya, beribu kalimat syukur terucap dari bibirnya.

Ia berpikir sejenak, sampai kapan ia berada di atas gerbong ini? Apa sampai tempat pemberhentian selanjutnya? Rasanya tidak mungkin. Apa mungkin ia harus melompat? Tapi kereta ini sedang melaju sangat kencang, rasanya tidak mungkin dan hanya akan membahayakan keselamatannya saja.

"Ah gue gak peduli!!!!!" Obiet mengambil ancang-ancang untuk meloncat dari atas gerbong kereta api.

"Gue pasrah!!! Semua sudah diatur oleh yang kuasa" kemudian Obiet meloncat.

Obiet mendaratkan tubuhnya dipinggir rel kereta api yang penuh dengan bebatuan kecil, ia mendarat secara tidak sempurna. Lutut dan sikunya berdarah karena digunakan untuk menopang tubuhnya agar tidak terluka. Celana abu-abunya pun sampai sobek pada bagian lututnya.

—o00o—

Cakka membuka kedua matanya secara perlahan, orang pertama yang berada pada pandangannya adalah Rohan. Rohan sang sahabat yang selalu menemani dikala suka dan duka. Cakka nampak sangat lelah dan tak berdaya, Rohan memberikan segelas air putih untuknya.

"Thank's" Cakka memgembalikan gelasnya kepada Rohan.

"Apa yang terjadi?" Tanya Cakka dengan nada lemas, Rohan menghela nafas pendek sambil menggelengkan kepalanya

"Ada yang aneh" Rohan angkat berbicara

"Maksud lo?"

"Ada yang aneh dari diri lo" jelas Rohan

"Gue??? Aneh???" Cakka mengerutkan dahinya, ia bingung atas opini yang disampaikan oleh sahabatnya.

"Lo sering pingsan dalam kurun waktu yang cukup lama, dan sering bersikap aneh. Teriak kesakitan, kepanasan, dan lain-lain pokoknya"

Blade Of Brother (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now