[22] Mengungkapmu

Mulai dari awal
                                    

"Gue kayak gini, gimana maksudnya, Raf? Gue emang gini," sahutnya.

Raffa menyentuh tuts-tuts piano dengan jemarinya. Raffa tahu pertahanannya akan hancur jika menatap mata perempuan itu. Raffa tahu mata itu sedang berjuang kuat menahan tangis, dan Raffa menekan dirinya kuat-kuat untuk tidak peduli. Dia tidak seharusnya peduli.

"Terserah," sahutnya sedingin mungkin. Dia menunjuk kertas di hadapannya dengan dagu. "Baca. Pahamin."

Rena tidak segera menyahut, tidak juga segera melakukan perintahnya. Melainkan menatap Raffa dalam diam. Seolah dengan begitu, tenggelam dalam keheningan lebih baik ketimbang menghadapi kenyataan.

Pertanyaan itu sudah hampir sampai di lidahnya; "Kenapa harus bohong, Raf?" Namun suaranya tidak berhasil keluar. Melainkan air mata.

Ia ingat Raffa memanggil, "Ren?" dan berkata "Ren, please."

Di benaknya Rena bertanya, Please apa? Harusnya gue yang ngomong gitu.

Rena tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Ia segera mengambil tasnya dan berderap keluar. Persetan dengan rencana mereka untuk berlatih. Ia benci harus menangis di hadapan Raffa. Ia benci bahwa laki-laki itu alasannya menangis.

Dan ia benci dengan dirinya sendiri. Ia benci tidak membiarkan seorang pun menolongnya.

Tunggu.

Pikirannya mengingatkannya akan satu nama; Gilang.

Langkah kakinya lantas terhenti. Dia membuka ponsel dan menatap nama laki-laki itu di deretan kotaknya sedikit terlalu lama, menimbang-nimbang, hingga akhirnya ia menekan tombol panggil.

Calling Gilang...

***

Sebuah panggilan menginterupsi lantunan Cheat Codes dari speaker mobilnya. Gilang sedang berada di tengah perjalanan menuju rumah Dimas ketika panggilan tersebut masuk. Panggilan yang bahkan tidak pernah Gilang harapkan. Atau lebih tepatnya, tidak berani Gilang harapkan.

Ditatapnya nama pemanggil itu dua kali. Pikirannya berkecamuk. Lampu merah sudah berganti dengan hijau, dan mobilnya tak kunjung melaju. Entah berapa menit bising klakson bersahutan menuntutnya untuk segera bergerak. Tetapi tepat ketika kakinya hendak menginjak pedal gas, salah seorang pengendara motor melesat di sampingnya sambil mengacungkan jari tengah.

Gilang tersenyum tipis.

Begitulah cara dunia memperlakukannya.

Ketika dunia bergerak maju, Gilang tertinggal di belakang.

Ketika Gilang berusaha mengejar, dunia mencemooh.

Gilang mendengus kasar. Diinjaknya pedal gas dengan segenap emosi yang berkumpul di dadanya sambil melirik ponsel sekali lagi.

Lirikan yang kemudian Gilang sadari adalah kali terakhirnya.

***

Rena menurunkan ponselnya dari telinga. Air matanya sudah tak lagi mengalir. Tetapi sesak di dadanya masih terasa. Maka ditekannya tombol panggil sekali lagi.

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."

Ia menghela napas panjang.

***

Hal terakhir yang Gilang lihat pada layar ponsel adalah,

Ibu is calling...

Sebelum suara klakson nyaring menghantam pendengarannya,

.

.

.

kemudian menghantam tubuhnya.

***

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi..."





"...Rena!!"

***

[ RUR ]

19/05/2017

Jadi, gini.

HAHAAHAHAHAHAHAHA.

Gitu.

Iya. Cuma mau numpang ketawa. Ehe. Terima kasih sudah membaca! Tell me your thoughts about this chapter, would you?

R untuk RaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang