Chapter 14

1K 37 9
                                    

Hidup terkadang lucu ya. Apa 'hidup' memang selalu lucu begini? Di saat kita ingin segala sesuatunya berjalan mulus, hidup malah menghadirkan gelombang yang mengguncang. Di saat kita mulai menikmati gelombang tersebut, hidup melenyapkannya kembali. Di titik –yang seharusnya terasa nyaman– ini, 'hidup' seakan kembali menatapmu dengan tatapan menantang, kemudian bertanya, 'bukankah pada awalnya memang ini yang kau inginkan?'

Kalau itu aku... Aku belum bisa menjawabnya. Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng.

Seperti para pegawai kantoran yang akan memenuni kereta ini beberapa jam ke depan. Kutebak diantara mereka ada yang sudah merasa lelah dengan pekerjaanya, dan mulai mendambakan masa-masa pensiun. Namun ketika hidup menghadiahinya dengan masa pensiun, tiba-tiba saja mereka merasa galau.

Aku memilih untuk diam. Sampai pertanyaan itu menemukan jawabannya sendiri, sampai aku melupakannya, atau mungkin sampai 'hidup' sendiri yang lupa menagih jawabannya kembali.

"Sesaat lagi kereta anda akan memasuki Stasiun Juanda!" Suara pengumuman yang terdengar dua kali di dalam gerbong khusus wanita ini menyedot perhatianku. Stasiun tujuanku sudah dekat. Beberapa penumpang yang mendengarnya mulai bangkit dari kursi kemudian bergerak mendekati pintu kereta. Aku tidak perlu melakukannya, karena meskipun kereta lenggang pada jam-jam ini, tapi aku lebih memilih untuk berdiri di dekat pintu. Dengan begitu aku bisa memandang ke luar melalui kaca jendela, aku suka melakukannya. Nilai lebihnya, aku jadi bisa keluar dengan mudah saat sampai stasiun tujuan.

"... Utamakan penumpang yang akan keluar terlebih dahulu. Pintu yang akan dibuka adalah pintu sebelah kiri dari arah lajunya kereta!"

"Tunggu dulu?" Telingaku baru saja menangkap satu informasi kecil yang janggal. Butuh sedikit waktu bagi otakku untuk menelaahnya. Kanan itu migi. Kiri itu hidari. Dan tempatku berdiri sekarang... migi. "Shimatta! Sial!"

Kalau begini, apanya yang jadi mudah keluar. Rupanya aku malah berdiri di sisi pintu yang berlawanan dengan pintu yang akan dibuka. Satu bulan di Jepang membuatku lupa kalau pintu kereta yang dibuka di stasiun ini adalah yang kiri.

Untung saja kereta tidak terlalu padat sekarang. Tapi tetap saja aku harus berdesakan untuk keluar, belum lagi aku juga harus menerobos kerumunan yang ingin masuk ke kereta. Padahal kalau aku berdiri di dekat pintu yang benar, pasti aku sudah berada di luar. Seperti orang-orang yang di sana itu.

"Eh?" Saat menoleh ke kerumunan orang yang baru saja berhasil keluar dari kereta, aku melihat satu orang yang tak asing. Di antara kerumunan orang yang hendak menuruni tangga, tubuh laki-laki itu terlihat menonjol karena tingginya. Postur tubuhnya yang tegap dibalut kaus hitam yang sepertinya pernah kulihat, entah di mana. Walau tidak terlalu ingat kaus yang dikenakannya, tapi aku tidak mungkin melupakan posturnya. Rambutnya juga, rambut laki-laki itu masih sama persis dengan terakhir kali kami bertemu, agak panjang dan berwarna hitam. Dia menoleh! Astaga, kaharap aku salah liat. Dalam sepersekian detik itu, aku melihat matanya. Mata yang sepekat malam itu telah berulang kali membuatku tersesat di dalamnya.

Aku mengerjapkan mata berulang kali. Oh, kurasa aku berhaslusinasi lagi. Seperti waktu itu. Kuharap setelah ini aku tidak jatuh pingsan lagi seperti saat terakhir kali aku berhalusinasi tentangnya.

Entah ini yang dinamakan beruntung atau sial. Tapi saat aku menoleh padanya, sosok imajeiner itu tidak menghilang. Ia malah balik menatapku. Padahal hanya tatepannya saja, tapi dampaknya buruk. Antara oksigen di sekelilingku yang menipis, atau paru-paruku yang lupa caranya bernapas. Dadaku kembali berdebar, namun kali ini tiap debarannya meninggalkan rasa pilu. Apa ini artinya aku belum merelakannya? Bahkan aku sampai berhalusinasi lagi. Baka!

[COMPLETE] Even after all these yearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang