Kesumat Tak Berkesudahan (b)

6.1K 1.4K 210
                                    

Meskipun Zian bukan tipe orang yang rajin ibadah, ia tahu tanda-tanda kiamat besar. Dulu guru agamanya pernah menjelaskan, jika perempuan menyerupai lelaki—begitupun sebaliknya— maka dapat dikatakan dunia sudah edan. Akhir zaman semakin dekat. Hari Pembalasan di depan mata. Dan apa yang dilihatnya sekarang bisa menjadi bukti bahwa kiamat memang sudah dekat.

"Waduh, sampai terpesona gitu lihat gue," kicau Brianda tanpa merasa berdosa.

Percaya atau tidak, penampilan cewek ini tampak menggelikan. Ia memakai celana jins belel—di mana bagian lututnya robek-robek—dan kaos merah polos. Yang membuatnya makin maskulin adalah rambutnya. Ia semakin kelihatan seperti laki-laki dengan potongan baru. Jumputan hitamnya tak lagi tebal sebab beberapa bagian dipangkas habis.

"Ngapain ke sini?" tanya Zian. "Kangen, ya?"

"Kok, tahu gue kangen, sih?" Brianda tersenyum dibuat-buat. "Bohong, deng. Gue ke sini cuma mau mastin lo masih hidup. Tadi gue ke rumah lo, tapi Nadin bilang lo di sini."

"Nah, lo udah tahu kalau gue masih hidup. Jadi sekarang lo bisa cabut."

"Idih, jahat banget ngusir-ngusir."

Zian tidak menjawab lagi. Cowok berkostum karateka ini lantas melengos. Tapi bukannya lekas pulang, Brianda justru malah membuntutinya.

"Ngapain ikut-ikut?" ketus Zian seraya menghampiri tasnya.

Brianda tak langsung menjawab. Si Tomboy ini sedang asyik menatap cermin besar di hadapan mereka. Tingkahnya aneh sekali. Sesekali ia berdiri tegak, sesekali pula ia berlagak seperti binaraga yang sedang memamerkan otot lengannya.

"Zi, postur kita sama, ya," kecap Brianda. "Kalau kita tanding, pasti seru."

"Nggak usah aneh-aneh!"

"Gimana kalau kita ulangi kejadian waktu itu?" tawar Brianda sambil berbalik ke arah cowok itu. "Itu lho, yang kita duel di hari pertama masuk sekolah. Gue pake taekwondo, lo pake karate. Inget, nggak?"

Mana mungkin Zian lupa. Itu adalah hari di mana ia menghajar Brianda tanpa ampun. Setiap ingat kejadian tersebut, Zian merasa malu. Bisa-bisanya ia menghajar perempuan. Dan bagaimana mungkin saat itu ia tak sadar kalau Brianda adalah seorang hawa?

"Asyik, tuh. Apalagi taruhannya asoy banget. Kalau gue menang, lo bayar lima ratus ribu. Tapi kalau lo menang, lo bayar lima puluh ribu." Brianda tersenyum. "Lo inget, kan?"

"Nggak."

"Kok, lupa? Baru juga satu semester."

Zian mendecakkan lidah. "Bri, mending lo pulang aja, deh!"

Brianda pura-pura tuli. Sejujurnya ia merasa tak enak mendengar pengusiran dari mulut Zian. Kesannya, lelaki itu seperti kembali menjadi sosok menyebalkan. Aih, pasti karena belakangan ini Zian lebih sering bergaul dengan kaum borju.

Sejak mengalami keretakan dengan Ail, Zian memang tampak berubah. Dia tak pernah muncul di groupchat, dikirim obrolan privasi pun balasnya singkat-singkat. Selain itu, sekarang dia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang kaya itu. Lihat saja media sosialnya. Terakhir posting, katanya mereka baru liburan dari Bangkok.

Duh, enak betul jadi borju. Brianda sering mengeluh begitu. Kapankah ia dan teman-temannya liburan bersama? Ail sibuk belajar. Andro riweuh membantu orangtuanya jualan gorengan. Davan juga asyik sambilan di warnet. Kalau Naomi, cewek itu sedang dipancung orangtuanya lantaran nilai rapornya biasa saja. Sedangkan Brianda sendiri, tampaknya cuma dia yang luntang-lantung nggak jelas.

"Zi," Brianda memanggilnya. "Lo marah sama anak-anak, ya?"

"Gue marahnya ke Elektrika doang," jawab Zian jujur dan berfakta.

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang