Pembunuh Kesenangan

11.5K 2K 108
                                    

"Makan yang banyak supaya konsentrasi kamu bagus," ungkap pria berkumis setelah meneguk kopi. "Kalau konsentrasi kamu baik, otomatis cara berpikir kamu juga baik."

"Paling enggak, jangan buat Papa kamu rugi lagi, Nom."

Naomi menelan sarapannya, juga sindiran tersebut.

"Kalau kamu leha-leha, jangan harap kamu bisa sukses kayak kakak-kakak kamu."

Naomi membisu. Ucapan ibunya ditimpa oleh kakaknya lalu ayahnya. Setelah itu, mereka melakukan hal biasa. Menyanjung dan membanggakan secara berlebihan.

"Omong-omong, jadinya kamu mau masuk klub apa?" tanya Bang Nio setelah memindahkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. "Mending kelompok ilmiah remaja. Dulu Abang ikutan KIR juga, kok. Hasilnya memuaskan, lho."

"Tuh, dengar apa kata abangmu," Mama menimpali. "Kakak sulungmu yang sekarang di Amerika juga bisa sukses gara-gara KIR."

Kelompok ilmiah remaja? Yang benar aja! pekik Naomi dalam hati. Semalam ia sudah pikirkan hal ini matang-matang. Ia ingin masuk klub jurnalistik atau basket. Bukan KIR, bukan juga klub pecinta mata pelajaran tertentu.

"Pa, Ma, Bang Nio, Naomi berangkat." Si empunya suara mengangkat tubuh. Ia mencium punggung tangan orangtuanya barulah keluar dari rumah.

Selama menyusuri jalanan komplek, Naomi menunduk dengan perasaan hampa. Dadanya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Ia kira dengan ia masuk SSHS, semuanya akan berubah. Ia akan dipuji oleh Mama Papa. Tidak disudutkan lagi. Tidak dibanding-bandingkan. Tapi ternyata nihil. Semuanya sama saja.

"Naomi!"

Gadis berambut sepundak itu berbalik. Waw, sungguh ajaib! Mendadak saja hantu di pikirannya hilang.

"Nomnom, ini dia yang namanya Davan." Brianda tersenyum sumir. "Jelek banget, ya. Hehehehe."

Sebelum Naomi menatap ke subjek yang dimaksud, terlebih dahulu ia memikirkan sesuatu yang menurutnya agak ganjil. Yakni, kenapa Brianda masih memakai rok? Bukankah taruhannya hanya kemarin?

"Oi, Dav! Jangan bengong gitu, dong! Muka lo makin kelihatan jelek, nih."

Mendengar teguran Brianda terhadap Davan, mau tak mau Naomi memalingkan muka. Lalu ia mulai menganalisa. Muka Davan biasa saja. Bodinya cungkring abis. Badannya pun nggak wangi sama sekali.

"Dia beneran kembaran kamu?"

Davan menatap gadis di depannya dengan mata disipitkan. "Nggak sopan," desisnya. "Bri, aku buru-buru, nih. Cepetan, dong!"

"Lo duluan aja." Brianda turun dari sepeda lalu membiarkan saudaranya menguasai kemudi. "Hati-hati, ya."

Naomi tak ambil pusing ketika Davan langsung menggoes, tanpa pamit. Perhatiannya telah tertuju sepenuhnya pada sosok di sebelahnya. Brian. Oh, entah kenapa suasana hatinya selalu membaik kalau ada dia di sampingnya.

"Jadi gimana? Apa lo udah punya temen belum?"

Naomi menggeleng. "Tapi aku udah punya pelindung di sini."

Brianda tak langsung menanggapi. Barusan ia menyapa beberapa kawan. Mereka adalah anggota klub drama yang mengelu-elukan aksinya di latihan tempo hari.

"Oh ya?" Kini Brianda melambai pada makhluk di sebelah gerbang alias Andro.

"Kamulah pelindungku, Bri."

"Yaelah, kenapa lo baru datang jam segini?" serobot Andro. "Buruan!"

"Nomnom, kita sambung lain kali, ya?" kata Brianda ketika tangannya digusur Andro.

Underground RascalWhere stories live. Discover now