Kesumat Tak Berkesudahan (a)

6.2K 1.3K 100
                                    

Bagi Ail, tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding hari penerimaan rapor. Memang dirinya dinyatakan sebagai peringkat satu, memang dirinya dipuji guru, memang dirinya disanjung teman. Tapi semua itu tak sepadan dengan apa yang dirindukannya.

Ayah dan Ibu. Merekalah yang membuat perasaan Ail begitu kosong di hari bahagia ini. Di saat semua murid diantar oleh orangtua atau anggota keluarga, cuma ia yang diantar ibu kos. Itupun cuma formalitas agar rapor Ail tidak ditahan wali kelas.

Dan karena cuma formalitas maka semuanya berjalan dengan cepat. Begitu nama Aila Elektrika Rivani dipanggil, wanita berdaster itu langsung duduk di hadapan guru. Mereka berbincang sebentar, kemudian selesai. Ibu kos masih punya banyak urusan sehingga terburu-buru ia meninggalkan Ail setelah memberinya ucapan selamat.

"Neng Ail, selamat ya. Semester ini ranking satu lagi. Ayah Neng Ail pasti seneng," begitu katanya. Ia tak sadar ada perubahan dari wajah Ail saat ia menyebutkan kata ayah.

Beda Ail, beda pula Davan dan Brianda. Mereka diwalikan oleh Om Tian. Sepanjang perjalanan, paman mereka itu ngomel melulu. Kios nggak ada yang jagalah, Davan dan Brianda bikin repotlah, dan sebagainya, dan seterusnya. Sama seperti ibu kos yang menjadi wali Ail, Om Tian pun dengan cepat menyingkir dari ruang kelas. Hanya bedanya, dia tidak memberi kata-kata selamat padahal prestasi Davan terhitung baik.

Di antara Underground Rascal, hanya Andro, Naomi, dan Zian yang rapornya diambil orangtua. Ayah Andro rela menunda jam buka gerobak gorengannya. Pun ibu Zian yang datang paling pagi demi anak sulungnya. Tetapi kalau Andro dan Zian hanya diantar satu orang, maka Naomi berbeda. Keluarganya hadir semua.

"Apa sih kerjaan kamu di kelas, Nom? Nilai kamu nggak ada yang naik!" ketus ibunya ketika mereka sudah duduk di dalam mobil. Hanya satu kali ia meneliti daftar nilai di hadapannya. Begitu memastikan tak ada yang memuaskan, ia langsung ngomel. Seperti biasa.

"Maafin Naomi, Ma. Tapi Naomi udah berusaha."

"Kamu kebanyakan eskul," tukas ayahnya berang. "Semester depan kamu harus udah stop sama eskul jurnalistik."

"Denger tuh, Nom. Lagian mestinya kamu fokus ke belajar. Eskul cuma pengisi waktu luang aja," Antonio ikut mengompori.

Naomi tidak berani menyahut meski di ujung lidahnya tersedia seribu pembelaan. Tadi mereka bilang nilanya nggak ada yang naik. Ah, mereka bohong. Nilai fisika dan bahasa Indonesianya naik, kok. Meski cuma naik satu poin, setidaknya lumayan.

Hhh, menyebalkan! Pembagian rapor selalu menjadi titik terlemah untuk Naomi. Anggota keluarganya selalu menyerang ramai-ramai. Sialan!

Selalu ada banyak tanggapan tentang pembagian rapor. Bagi anak-anak berprestasi, hari tersebut menjadi ajang untuk mempersembahakan perjuangan pada orangtua. Tapi tak pelak, bagi sebagian murid, hari pembagian rapor justru menjadi momok. Oke kalau nilai mereka biasa saja, tapi jika nilai mereka merah semua... wah, bisa kebakaran rumah!

Tapi dari sekian banyak tanggapan tentang hari tersebut, hari inilah hari yang paling tak mau ditemui Steve. Cowok yang baru saja dijadikan target Underground Rascal ini merasa muak. Sejak ia keluar dari kelas, beberapa orang melemparkan ledekan kejam.

"Steve, sekarang gue tahu kenapa bokapnya Maysha yang selalu ngambil rapor lo."

"Nyokap lo sakit keras, sih. Hahahahaha. HIV!"

"Turut berduka ya, Steve. Semoga Tuhan ngampunin segala dosa lo sama nyokap."

Steve hanya bisa meredam amarahnya dalam hati. Kalau ditanya apa yang paling sakit di dunia ini, maka jawabannya adalah penghinaan terhadap ibunya. Semua orang boleh mengatai, menghina, dan melecehkannya. Tapi jangan ibunya! Wanita yang paling ia cintai itu terlalu baik kalau harus dihina.

Underground RascalWhere stories live. Discover now