Lovely Bro

12.7K 2.3K 114
                                    

Davan meringis ketika kakinya menginjak ubin. Ternyata stiletto kemarin sukses membuatnya merana. Kakinya keseleo, bahkan agak bengkak. Jangankan dipakai jalan, berdiri saja susah.

Dengan terseok-seok, ia membuka gorden. Lantas terbelalaklah matanya saat itu juga. Astaga! Ini sudah malam. Sepertinya dari tadi Davan bukan tidur, melainkan pingsan. Waduh, apa jadinya kalau setiap eksekusi misi hasilnya begini? Bisa-bisa nilai Davan anjlok. Kalau anjlok, dia tidak bisa masuk perguruan tinggi incarannya. Lha kalau begitu, untuk apa dia bergabung dengan Underground Rascal?

"Assalamu'alaikum, Kesayangannya Briandaaaaa."

Suara nyaring itu membuat Davan menoleh. Ia terlonjak kaget saat melihat wajah adik perempuannya. Muka Brianda terlihat menyeramkan. Ada lebam di bawah mata dan sudut bibirnya berdarah.

"Kamu abis ngapain?" tanya Davan seraya melipat tangan di dada. Ia sengaja menutupi kekhawatirannya dengan bicara ketus. "Terus kenapa kamu pakai baju aku?"

Brianda nyengir sambil menggaruk rambut. Ia melangkah ke arah separuh jiwanya lalu menyodorkan bungkusan yang ia bawa. "Daripada bahas luka sama seragam, mending kita makan."

"Jawab aku, Brianda!"

"Please, Dav. Nggak usah sok garang," Brianda berujar tenang. "Gue pakai celana lo karena penasaran aja. Gue pengin tahu rasanya pake seragam cowok."

"Terus muka kamu kenapa?"

Brianda menelan ludah lalu nyengir. "Ini bekas latihan taekwondo."

"Udah kelas tiga tapi masih latihan taekwondo?" tanya Davan marah. "Kita udah bicarain ini, Bri. Target kita di tahun ini adalah PTN. Kalau kamu masih ikutan taekwondo, kapan kamu belajarnya? Nilai kita harus bagus, kan?"

Hh, bawel! batin Brianda sebal. Dia paling tidak suka membahas hal ini. Kesannya kayak hidup tuh struggle banget. Harus belajar, harus cari uang, harus serius. Haah, Brianda benci kekangan.

"Lo tenang aja, Dav. Gue bukan anggota klub lagi kok," Brianda menumpas. "Tapi mana bisa gue diam aja pas klub taekwondo diinjak-injak klub karate."

"Karate?"

"Iya. Klub sialan itu mendadak eksis lagi." Brianda sebal. "Gara-gara Zian Ammar."

"Zian Ammar?"

"Itu lho, karateka yang bermasalah di penyisihan PON." Meski Brianda tahu Davan tak tertarik cerita ini, dia tetap melanjutkan, "Anaknya songong banget. Dia ngajak gue duel, Dav. Satu lawan satu!"

"Oh, jadi luka-luka ini hasil berantem?" Davan menyimpulkan lalu menjewer.

"Aw! Sakit, Dav! Awww.."

"Jeweran ini nggak akan aku lepas sebelum kamu janji," ancam Davan seraya menambah tekanan di dua jarinya. "Janji sama aku kalau kamu nggak akan berantem lagi. Nggak akan tanding lagi. Nggak akan berperilaku kayak cowok. Ayo, janji!"

"Sssh... Iya... aduduh, kuping gue bisa melar, nih. Lepas.. aw! "

*
*
*

Keesokan harinya Naomi berjalan dengan kepala tertunduk. Hh ... sekolah, keluhnya. Dari dulu selalu begini. Pundaknya akan terasa berat kalau pergi sekolah.

Naomi adalah cermin realita anak kebanyakan. Dia termasuk remaja yang ogah mengail ilmu di tempat yang bernama sekolah. Baginya, sekolah adalah ketidakadilan. Guru-guru hanya suka murid yang pintar dan berprestasi, yang cepat mengerti kalau diterangkan satu kali, yang tulisannya rapi, dan yang orangtuanya selalu memberi hadiah di pembagian rapor.

Underground RascalOnde histórias criam vida. Descubra agora