Aku menyimpulkan bahwa internet tidak akan berguna dalam waktu dekat. Melihat Jale menyentuh ponselnya dan menatapnya seksama, membuatku teringat kembali dengan Ibuku.

"...Apa aku boleh meminjam ponselmu?" tanyaku.

Jale menerjap, memiringkan kepalanya sebelum menyerahkan ponselnya dengan ragu-ragu padaku, "Tidak ada jaringan sejak tiga hari yang lalu."

Tiga hari yang lalu, tepat saat insiden terjadi.

Aku menghela nafas panjang begitu melihat jaringan di ponselnya menunjukan x besar dengan SOS besar di sampingnya. "Panggilan darurat juga tidak bisa?" tanyaku cemas.

"Tidak ada yang mengangkat," balas Yyil sambil menggosok tangannya yang dibungkus sarung tangan. "Semuanya sibuk menyelamatkan diri, mungkin."

Aku merenungi langit biru, menatap awan-awan tebal yang mengumpal di sekeliling kami. Ombak terlihat liar dan beberapa kali menghantam ujung pegunungan seolah menginginkan erosi secepat mungkin, ingin menjatuhkan semua yang menghalanginya. Seolah tak rela masih ada daratan yang tersisa.

"Omong-omong kau punya sampan?" tanya Grus sambil melirik tali tambang yang keluar dari sakuku, memang tidak semuanya muat di dalam sakuku dan itu membuat tambang itu terseret-seret di atas daratan penuh salju itu.

Kakiku yang sedaritadi menginjak salju menggigil. "Uh, ya," balasku. "Ini sampan tipe A."

Baiklah, biar kujelaskan sedikit soal sampan tipe-A. Kami mengategorikan jenis kapal, sampan dengan huruf alfabeth dan A adalah tingkatan terendah (baik dari segi kualitas maupun jumlah orang yang mungkin tertampung).

Sampan yang kugunakan agar bisa sampai di pegunungan ini adalah sampan dengan kualitas paling buruk dan hanya dapat menampung maksimal empat orang. Ya, meskipun begitu, harus kuakui kalau sampan tipe-A ini sangat berguna. Ah, dasar kau tidak tahu diuntung, Skye.

"Ah, mungkin kita harus menunggu pesawat," lirih Yyil sambil meniup-niup tangannya.

"Sudah 2 hari berturut-turut kami membuat sinyal SOS dan tidak ada satupun pesawat yang lewat." Nael menjelaskan.

Kami berenam diam dalam hening. Grus yang tengah duduk di atas batu pun bangkit dari duduknya dan menuntunku untuk melangkah di tempat yang lebih tinggi.

"Tenda Jale dan Yyil yang warna merah. Setidaknya di dalam sana lumayan hangat. Kupikir kau butuh istirahat." Grus menyikap tenda dan mempersilahkanku masuk. "Kami akan membangunkanmu jika kami sudah menemukan satu titik bagus untuk mendaki."

Aku mengangguk kaku saat kulihat Nael dan yang lainnya tengah membicarakan sesuatu yang penting sambil membuka lebar kertas putih yang sedikit remuk, juga jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Yang kutahu, itu adalah salah satu alat modren untuk kegiatan petualang, ada jam, kompas, termometer, pemantik, magnet dan juga jarum. Semuanya dalam satu paket di dalam jam kecil itu.

Sedikit ragu, aku langsung masuk ke dalam tenda merah itu dan menemukan kehangatan yang sudah tiga hari ini tak kudapatkan. Memang, hampir semua tenda dilengkapi dengan pemanas yang dapat bekerja dengan bantuan baterai. Meskipun pemanas itu belum dinyalakan, aku tetap bisa merasakan perbandingan yang jelas antara suhu luar dengan suhu di dalam. Di dalam sini lebih hangat.

Aku berbaring di antara dua ransel hitam yang besar, ransel yang memang biasanya dibawa untuk berekspedisi. Senter yang menggantung di atas sana dan saat ini dalam keadaan padam, nampak bergerak ke kiri-kanan.

Aku bangkit dari tiduranku dengan perasaan tidak nyaman.

Sudah kuduga, aku memang tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu mereka melancarkan aksi tanpa membantu apa-apa.

AQUA WorldWhere stories live. Discover now