Lumpur Aktif

1.7K 167 4
                                    

Masih sama seperti tadi, usiran halus Indri tak mempan dengan ucapan pedas. Secepat itukah pemuda itu memaklumi dirinya? Sekonyong-konyong, ia tak pernah ingin berdua dengan lawan jenis, apalagi pemuda itu menatapnya dengan datar. Tatapannya dalam, seperti ingin meraih sesuatu yang sangat berharga. Ah, hipotesisinya terlalu cepat. Indri memalingkan wajahnya ke kiri. Berdoa dalam hati supaya pemuda itu cepat pergi dari sini, atau Lastya dan Ina datang kemari secepatnya. Kalau bisa dia ingin memiliki kemampuan menghilang kali ini, menghilang ke kamarnya agar pemuda itu tak lagi menatapnya seperti itu.

Betapa risihnya ia dengan suasana ini. Ia merasa, ah, apa yang dipikirkannya? Ia memukul kepalanya, apa yang terjadi dengan otaknya? Kenapa tak sejalan dengan hati?

"Jangan sentuh!" teriak Indri ketakutan, seolah pemuda itu akan memakannya.

"Jangan sentuh gue! Cukup dengan segala candaan lo yang konyol. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Astaghfirullah, gue to the point aja deh. Gue bener-bener risih sama sikap lo yang sok manis. Gue hargain lo coba buat jadi temen, tapi lo harus tau aturan dan janji lo waktu itu."

Indri merasa lega, namun ada yang aneh dirasakan oleh dadanya. Ia berbalik. Pemuda itu meletakkan parsel buah segar yang dibawanya di atas nakas, kemudian pergi dari sana dengan diam tanpa sedikitpun menatap Indri.

Pemuda itu tampak lesu setelah mendengar perkataan Indri. Ia membenarkan perkataan Indri. Ia juga tak tau, bagaimana bisa ia merasakan hal ini? Bahkan pada Hye Bi saja ia merasa jijik. Bercanda dengan batasan dan berteman dengan batasan, semuanya memiliki batasan. Ia akan memperbaiki pertemanannya dengan Indri. Ia tau Indri pasti akan menolaknya mentah-mentah. Melihat prinsip dalam hidup Indri yang begitu kuat.

Gadis yang religius, begitu tegas dalam mengambil keputusan. Walaupun ia dapat melihat seperti ada yang ditutupi dari mata gadis itu. Mata coklat muda itu, membuat hari-harinya semakin berwarna. Entahlah, kebebasan pada diri gadis itu membuatnya semakin ingin mengetahui lebih dalam. Ketertutupan dalam hal fisik tak membuat gadis itu dimatanya terlihat tersiksa. Apa yang harus dilakukannya demi pertemanan ini? Sepertinya ada rasa sakit mendengar satu kata itu, pertemanan.
***

"Tadi Yoon Gi datang jenguk gue." ucap Indri dalam satu napas.

Reaksi Lastya dan Ina hanya biasa. Mereka berpikir, paling Indri dan Yoon Gi bertengkar lagi seperti anak kecil. Terlihat dari wajah Indri yang tertekuk saat mereka sampai di uks.

"Dia ngapain disini?"

Akhirnya Lastya membuka pembicaraan.

"Cuma nganter parsel buah itu.  Dia cuma diri natap gue dalam dengan wajah datar. Udah gue usir dengan cara halus, masih aja diri natap gue. Gue kan jadi risih."

Belum ada reaksi dari keduanya, mereka membiarkan Indri untuk bicara dulu.

"Gue bilang gini, 'Cukup dengan segala candaan lo yang konyol. Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Astaghfirullah, gue to the point aja deh. Gue bener-bener risih sama sikap lo yang sok manis. Gue hargain lo coba buat jadi temen, tapi lo harus tau aturan dan janji lo waktu itu.' Gue bilang supaya dia sadar. Apa ini udah bener?" Indri tampak frustasi.

"Menurut gue sih, kalo lo udah yakin sama itu, ya, lakuin aja, asal itu menuju kebaikan." ucap Lastya.

"Gue rasa, lo emang bener Ri. Supaya Yoon Gi oppa bisa sadar. Supaya dia bisa berubah."

Indri hanya diam menatap kedua temannya. Pikirannya saat ini masih bercabang. Ia memilih untuk tidur untuk menenangkan dirinya saat ini. Menyingkirkan segala pikiran yang mengusik otaknya.
***

Cahaya matahari memasuki setiap ruangan kelas dari celah kaca. Beberapa anak sudah datang ke sekolah. Indri tengah duduk di tempatnya sambil bertopang dagu. Ia ingin sendiri dulu saat ini.

Diliriknya kursi sebelah kiri, masih sama seperti sejam yang lalu. Kosong.

"Apa dia marah dengan perkataan gue kemarin?" gumamnya.

"Ah, memang itu yang harus dikatakan padanya kalau nggak mau ribet." gumamnya lagi.

Indri menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian mengusap wajah setelahnya. Ia lalu mengeluarkan buku biologi, pelajaran pertama. Ia melihat bayangan dimejanya. Matanya membulat, ia tak yakin dengan apa yang dilihatnya. Indri langsung menolehkan kepalanya, menatap Yoon Gi seperti tak pernah melihatnya sama sekali.

Matanya masih membulat menatap Yoon Gi mengeluarkan buku biologi beserta teman-temannya. Yoon Gi merogoh tasnya lagi. Setangkai lolipop dengan ukuran sedang berada ditangannya. Indri langsung mengalihkan pandangannya ke depan sebelum pandangan mereka bertabrakan.

"Ini, gue minta maaf dengan semua perkataan gue atau sikap gue yang membuat lo gak enak. Gue, gue cuma seneng punya temen seperti lo. Punya prinsip hidup yang kuat. Gue rasa, gue harus perbaikin pertemanan kita. Gue gak mau memperburuk semuanya. Sekali lagi, gue minta maaf. Gue bakalan usaha buat nepatin janji gue waktu itu. Gue juga bakalan berusaha berubah. Tapi, gue, gue minta bantuan lo, Lastya dan Ina." jelas Yoon Gi.

Walaupun gue harus ngorbanin semua rasa ini, rasa yang absurd saat bersama lo, Indri. Ucap Yoon Gi dalam hati.

Indri masih diam, tak ada kata yang terdengar bercanda. Apa Yoon Gi seserius itu? Batin Indri. Ia menatap lolipop itu.

"Itu halal, aku membelinya di samping pendagang pakaian muslim di Itaewon." jelas Yoon Gi agar Indri tak salah paham.

Semula, Indri ragu untuk mengambil lolipop itu. Namun, setelah mendengar penuturan Yoon Gi, ia mengambilnya, masih tertunduk.

"Gue maafin lo, dan gue sama Lastya dan Ina bakal berusaha bantuin lo."

"Kalian kenapa? Baru jadian?" celetuk seorang siswa yang berjalan mendekati kursinya yang berada tepat di depan tempat duduk Yoon Gi. Kemudian meletakkan tasnya.

Mereka berdua diam, Indri masih tertunduk menatap lolipop. Sedangkan Yoon Gi malah memasang earphonenya dan menatap keluar jendela di samping kirinya. Merasa dihiraukan, pemuda itu berdecih kesal dan keluar dari kelas.
***

Assalamu'alaikum  guys,  gue lagi rajin update, wkwkwk. Semoga suka di part ini. Plis komen apa yang kalian rasa di part ini, supaya gue bisa nulis lebih baik lagi. Ok, bye,  wasalam.

Kim Indri [Complete]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu