00:06

44 10 90
                                    

Aku merindukan sesuatu yang di bilang tabu.
00:00
FRASA

(The Scientist - Coldplay Volume Up)

Sayang, bulan dan rekannya memisahkan kita lagi.

"Cukup, Frasa-" Dia melanjutkan,
"Apa yang akan kau katakan?"

Aku merindukan sendunya matahari, aku merindukan tangisan awan, aku merindukan lukisan yang dibawah genggaman, aku merindukan sesuatu yang tak kau tau, tapi bibirku tak bergerak untuk itu. "Tidak ada?" Lex bertanya.

"Tidak."

Lex membawaku menjauh dari gudang, lalu memberhentikan mobilnya di depan toko iBox , "Aku memberikanmu ini."

iPod kecil, berwarna merah muda dibelakangnya.
"Bagaimana dengan Pemutar Musikku?"

"Setelah semua ini- Frasa?"

Aku ingin mengatakan 'hei, apa yang kau bicarakan?' Tapi bibirku terlalu bodoh mengatakan hal yang sangat sangat kumengerti.
Di dalam kata-katanya; dibahasakan jika dirinya tak ingin melanjutkan petualangan Pemutar Musik Yang Hilang. Bahkan aku tak benar-benar menganggap ini sebuah petualangan.

Aku menatap mata Lex tegas. Aku tak sabar mencecarkan kata-kata sarkastis kepadanya, kata-kata seperti, Lelaki bodoh idiot! Kau pikir aku dapat menyerahkan pemutar musik dengan semudah itu? Kau pikir aku ini pelacur atau apa dapat membiarkan harga diri hancur dan semuanya dan blah blah blah!
Tapi itu semua berlebihan, satu-satunya kata sarkastis di dunia ini hanyalah diam-menatapnya-lalu meninggalkan pergi sia sia.

Aku melakukan hal ketiga; hanya saja tidak kusadari aku melakukannya.

Aku meninggalkan Lex, aku menutup pintunya. Tak berlari, tak menangis. Meninggalakn kiasan sendu.

"Sial!" Lex menampar setir mobil.
Apa yang harus kulakukan?!

Kali ini kau yang terlambat, Lex. Aku berjalan menjauh dari mobil persetan dengan iPod merah muda berkilau. Aku memasuki gang di sebelah selatan Jogja, menyenderkan kepalaku di dinding.

Terlalu banyak masalah, Frasa.
Terlalu.

Aku tak berjanji air mata itu takkan keluar dari kubangannya, penganalisaan ku salah untuk hitungan kali. Badanku sudah terduduk di dinding, seperti orang mabuk- mabuk asmara. Mereka; manusia manusia yang melewatiku menatap miris.

Ku masih menatap pemandangan bangunan Kota Jogja, tidak ada gedung pencakar langit yang membuatku sedikit tersenyum karena mereka menanam pohon bukan beton.

Lampu kota terukir manis diseberang mata, saat seseorang datang menghampiri tiba-tiba.

"Callahan."
Kata pemuda itu; laki-laki di Gudang Tua mengulurkan besi pipih perak bertuliskan Callahan yang tidak dipahat begitu bagus.
Aku menerima pemberiannya yang berbentuk seperti , koin?

Ya, koin. Aku dapat mendengar diriku sendiri berbicara. Pemuda itu menatapku dalam , melihat wajahnya sekilas membuatku merasa seperti de javu.
Seseorang yang terlintas dipiranku akhir-akhir ini.

Aku menyentuh ukiran pada koin itu dengan akhirnya dia membuka percakapan.

"Apa kau percaya reinkarnasi?"
Aku tidak menjawab, aku mengalihkan perhatian pada koin sepenuhnya. Besi perak kuno yang dapat kurasakan seperti berlian.

"Callahan, apa itu namamu?"
Ada jeda, jeda yang begitu lama untuk sebuah pertanyaan nama.

Aku menunggu pemuda yang tidak segera menjawab namanya berkedip, dan pemuda yang tidak segera menjawab namanya membuka mulutnya.

"Tidak-" Dia melanjutkan ,"namaku Sastra."

Sastra.
Saat itu juga aku menyelami matanya bak alam semesta.

Namanya indah sekali, penuh pesona.

Aku tidak salah lagi, Sastra adalah pemuda yang kulihat dalam mimpi. Pemuda misterius yang kugambar entah bagaimana bisa  tanganku dapat bergerak dengan sendiri.

Aku yakin sekali.
Sangat yakin.

Percakapan ini penuh keheningan. Keheningan yang berarti dibalik suara kediamannya. Orang ini, satu-satunya manusia di dunia yang dapat berbicara lewat mata.

Tanpa suara.

Kali ini, kediaman kami berbicara, juga tentang reinkarnasi yang dibicarakannya. Bersamanya seperti nada, berirama dan tak pernah asing bagi telinga.

"Apa yang kau lakukan disini? Sastra."

"Tidak ada."

Aku menaikkan alisku.

"Aku ingin bertanya sesuatu, Frasa."

"Silahkan."

"Apa kabarmu?"

Pertanyaannya. Lontaran kata yang keluar dari mulutnya selalu meleset dari analisaku. Kata yang dibahasakannya seolah-olah merindukanku.
Selalu terasa seperti kami pernah bertemu.

Aku mendengar hatiku menjawab 'aku tidak baik' aku telah kehilangan pemutar musikku, mendapatkan koin perak Callahan, dan merasakan seperti ada guncangan hebat di dalam hatiku.

"Aku mengerti, Frasa."
Aku kaget sekali, Sastra mengetahui semua yang tidak kukatakan. Dia mengerti.

Tak ada seorangpun mengerti sebelumnya. Lalu dia datang seperti badai di malam hari memberiku koin. Seperti memberi harapan di tengah penyeberangan.

Mataku teralihkan dengan tangannya.
Luka tonjok di dinding malam tadi masih membekas di kepalan tangan Sastra, semburat darah masih menetes di sana. Sastra menggenggam tanganku karena aku yang ingin mengembalikan koin kepadanya.

Namun Sastra menginginkanku menyimpannya.
"Simpan saja, Frasa."

Tak ada paksaan, aku hanya mengiyakan. Ia tersenyum, senyuman yang indah untuk malam penuh luka.

Malam itu, kami menulis nama di dalam debu.

Dini hari,
dimana semua kisah ini dimulai.
Hanya antara Sastra dan Frasa.


[]

Quotes from Author :
Jika satu detik adalah kematian, bagiku sedetik  kemudian adalah keabadian.

Author Note :
To my gabutches reader. :D author mau ngasih tau KALO AUTHOR GA TELAT APDET hwahahawhaha
LOP YU 🖤

jangan jadi silent reader ya :) . give vote buat authornya juga boleh banget .

Instagram : amoreshn
Ig author difeeds, boleh cek dulu yang mau liat :)
Love, AM

A Broken Gun And A RoseWhere stories live. Discover now