00:04

39 13 47
                                    

Cinta sejati itu mengalahkan dimensi dan tak bisa didefinisi.
00:00
FRASA

Siapa kau ?

Kau kah yang hadir di mimpiku ?

Menghias batu dengan mawar seakan - akan pernah bertemu dirimu di masa lalu.

Kau memang tak terdefinisi, sebagaimanapun jika aku dapat bertemu dengan manusia asing sepertimu.

Tiba - tiba Lex menepuk pundakku, "Fras?"

"Suka banget ngelamun ya?"

"Nggak." Kataku.

Dia memainkan jari-jarinya yang bertumpu pada kendali mobil. Matanya menatap lurus, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu namun tertekan oleh cepatnya nadi yang memompa seluruh kata di dalam mulutnya. Aku sedang memperhatikannya; dengan sikapnya yang seolah-olah tak ingin diperhatikan seperti ini.

"Apa yang kau lihat?" Tanyanya.

"Kau."

Sepertinya dia sama sekali tak mengharapkan jawaban seperti itu, tangannya meremas kendali mobil dan mulai gugup. Oh, percayalah padaku, matanya saja berkedip lebih dari satu kali saat menatapku.

"Sebenarnya, dimana kita akan mencari Pemutar Musik mu?"

"Di Pusat Kota Jogja."

Lex justru tertawa pelan ,"Jogja itu besar sekali, Frasa."

Aku tak menghiraukan apa yang Lex katakan maka aku terus melanjutkan perkataanku sendiri yang membuatnya mengira itu sebuah puisi, "dibalik dinding batu yang dingin,"

aku masih melanjutkannya dengan jeda, "bersembunyi dibalik kilauan malam dari keramaian orang-orang. Kau bisa mencari setiap inci apa dibalik dinding-dinding yang penuh rahasia itu saat kau membangunnya. "

Lex kembali membuka mulutnya, "Lalu kau tahu dimana tempat itu berada?"

Jantungku seperti dilalui oleh angin yang sangat kencang, membuat memori yang samar-samar memudar.

"Kau tidak tahu? Ini mustahil Frasa." Lex angkat bicara.

"Akan sedikit sulit, namun tidak mustahil."

Ya, perjalanan itu tidak ada yang mustahil. Hanya saja kerikil kerikil itu sedikit menggoyangkan kereta kuda yang kau coba lewati. Menginginkanmu jatuh dan mungkin tidak akan kembali. Apakah itu mustahil jika kerikil dapat membunuhmu?

Benar! Aku baru saja berfilosofi, jika para udara dapat mendengar suara batinku.

"Frasa,"

Lex membukakan pintu mobil, "kita sudah sampai."

Aku tidak tahu persis mengapa lengkungan terukir diwajahku, mungkin itu karena Lex membukakan pintu?

Atau justru karena manusia asing di dalam gambaranku?

Aku tidak akan memilih pilihan pertama, ataupun pilihan kedua. Kukira itu semua sama, tentang cinta yang tak kutemukan filosofinya. Tunggu - tunggu , semua ini bukan pilihan.

Hanya sebuah pertanyaan.

"Frasa--" Lex menolehkan wajahnya,"--apa kau tahu jalan ini?"

Aku mengangguk, Jalan yang kami lewati kali ini memang sepi sekali. Masih menggunakan konblok dan hanya diterangi lampu pijar yang digantung para warga.

A Broken Gun And A RoseWhere stories live. Discover now