31. Pikiran Buruk

Beginne am Anfang
                                    

"Ya mau-mau aja dong, dia tuh udah jadi saksi bisu hubungan kita."

Arga tertawa mendengar kalimatku barusan.

"Bener banget, saksi bisu. Gak nyangka."

"Gak nyangka apa?"
Aku membalas cepat kalimat Arga yang sepertinya memang tidak ingin ia selesaikan.

"Dulu ada yang ngaku-ngaku bukan fans aku di depan motor itu. Terus pake gak mau jadi pacar aku, sampe udah aku tembak dua kali masih aja gak jawab. Tapi sekarang malah keseringan muji-muji aku, terakhir kemarin dia bilang aku ganteng berapa kali gitu." Aku segera melayangkan tasku ke arah bahu Arga.

Dia hanya menjawab perlakuanku itu dengan tawa hingga kedua bahunya ikut berguncang.

"Jadi beneran udah suka sama aku, nih?"

Pertanyaan Arga benar-benar membuatku ingin menciut saat ini lalu membuka kaca mobil dan melompat ketika seekor kucing menyebrang jalan. Mengendarai kucing lebih baik sepertinya daripada harus menghabiskan waktu lebih lama dengan Arga yang sudah bisa membaca perasaanku.

"Kok gak ngomel sih? Biasanya kan kerjaan kamu ngomel mulu, udah sepanjang tol Jakarta--Bandung, kecepatannya juga hampir setara balap formula one. Diamnya cewek memang selalu iya, ya?" Arga mengacak pelan rambutku yang membuatku bergantian mengacak rambutnya.
.
.

Saat ini aku dan Arga memutuskan untuk makan siang di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumahku. Kami membicarakan banyak hal random sedari tadi. Dimulai dari adik Tio yang terus saja mengintip Arga dan mondar-mandir sambil beralasan membersihkan kamar Tio hingga ceritaku tentang hujan badai dari kedua mata Rian yang menyatakan cinta pada Dahlia namun berakhir dengan sebuah penolakan.

Ini adalah salah satu momen yang menyenangkan di mana Arga terlihat telah melepaskan seluruh bebannya.

"Aku masuk besok." Ucapan Arga membuatku membulatkan kedua mataku.

"Terus nanti kalau ada yang nanyain muka kamu bisa berwarna gitu, gimana?"

Arga tertawa setelah menyeruput es cappucino pesanannya itu karena pertanyaanku barusan.

"Arga." Tiba-tiba saja sebuah suara menghentikan tawaku.

Kak Nugi kini telah bergabung di mejaku dan Arga. Kami memang memilih tempat duduk dengan empat kursi di cafe ini. Kak Nugi duduk tepat di sebelahku.

Hebat juga radar adik-kakak mereka sampe bisa tahu Arga di sini.

"Segitunya lo niat nyari masalah?" Arga terdengar sinis saat ini.

"Gue ngikutin Nessa sampe masuk ke mobil itu."

Oh bukan kebetulan.

"Lo pulang ya, Ga." Suara Kak Nugi kembali seperti saat pertama kali aku mengenalnya. Bukan jenis suara seperti tadi ketika aku berbicara dengannya di parkiran.

"Mama gak berhenti berusaha ke rumah Tio setelah kami pulang, tapi yang mama lakukan cuma ngebuat papa marah dan ngurung mama di kamar. Hari Minggu, papa yang akhirnya milih keluar dari rumah, gue gak tau kemana papa pergi. Gue mohon banget, Ga. Mama sakit sekarang and she needs you."

Aku melemparkan tatapku pada Arga yang sedari tadi memang menatap ke arahku pula. Dia sepertinya juga menghindari tatapan Kak Nugi.

Aku menganggukkan kepalaku. Memberikan isyarat agar Arga kembali ke rumah untuk menemui mamanya.

"Gue masih gak tau sebenarnya apa yang ngebuat papa semarah itu sama lo. Tapi kalau emang lo ngebantu temen lo itu, gue gak heran papa bisa mukul lo sampe gini. Lo cuma ngerusak nama baik keluarga."
Aku bisa melihat wajah Arga yang mulai dirundung emosi saat ini.

Tuan Rasa [Completed]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt