Bab 22

258 16 0
                                    

Dinding kaca yang memenuhi salah satu dinding ruangan kerja Callisandra berembun karena Hujan deras mengguyur jalanan di bawah sana, mendung membuat senja semakin kelam. Callie menatap keluar jendela bukan untuk bersikap romantis dengan memandangi hujan. Gadis itu sudah menunggu sopir pribadinya selama setengah jam untuk menjemputnya pulang.

Jam sudah menunjukan pukul 17.30, Namun Joseph belum menampakkan batang hidungnya. Membuatnya khawatir dengan keadaan pria tua itu. Joseph sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Pria itu sudah bekerja jauh sebelum Callie dilahirkan. Pria itu selalu mengantarnya kemana pun ia pergi. Joseph sudah berusia 55 tahun. Namun ia tetap ingin bekerja, walaupun keluarga Green akan memberikan tunjangan setiap bulan ketika pria itu pensiun. Namun Joseph selalu ingin berguna bagi orang lain.

Telepon kantor berbunyi nyaring di tengah kesunyian kantor. Semua karyawan di lantai itu sudah pulang satu setengah jam yang lalu.
membuat Callie nyaris melompat dari tempatnya berdiri karena terkejut. Ia buru - buru menghampiri meja dan mengangkat telepon. Ternyata Joseph yang menelepon, mengabarkan bahwa mobil mogok dan harus di perbaiki ke bengkel. Pria itu sudah mencoba memperbaikinya sendiri tapi mesin masih belum dapat hidup kembali.

" Joseph, tinggalkan saja mobilnya di pinggir jalan. Sekarang sedang hujan. Sebaiknya kau panggil taxi dan pulang ke rumah. Biarkan pihak jasa perbaikan yang membawa mobil itu. Aku juga akan menelepon taxi __ kau tidak perlu meminta maaf, aku akan baik - baik saja. Hati - hati dan selalu jaga kesehatan anda. " Setelah mengatakan itu, Callie menutup telepon. Mengemasi dokumen yang akan ia akan bawa pulang dan bergegas meninggalkan ruangan.

Callisandra berjalan menyusuri koridor sepi dan menghampiri lift yang terletak berada di ujung lorong. Mengeluarkan handphone dari dalam tas untuk menelepon layanan taxi. Suara ping nyaring memberitahu gadis itu bahwa pintu lift sudah terbuka. Seseorang yang tidak diharapkan gadis itu berdiri seorang diri di dalam lift. Menekan tombol, agar pintu terus terbuka menunggu gadis itu masuk ke dalam.

" Apakah kau tidak akan masuk ? " Alain bertanya, raut wajahnya tidak menunjukan ekspresi apapun. Pria itu memakai pakaian kasual, sweater rajut berwarna putih dan celana denim berwarna hitam. Penampilannya terlihat segar seolah baru saja mandi, dilihat dari rambutnya yang basah. Berlawanan dengan penampilan Callie yang kusam dan tubuh lengket oleh keringat.

" Baiklah, aku akan menutup pintunya. " ucap pria itu membuat Callie terperanjat, ia tidak menyadari bahwa ia sejak tadi terbengong - bengong memandangi Alain.

" Tunggu. " Callie buru - buru menerobos masuk ke dalam lift ketika pria itu sudah menekan tombol dan pintu sudah setengah tertutup.
Alain menekan tombol ke lantai dasar. Pria itu melirik ke arah Callie, ketika gadis itu dengan sangat kentara bergeser ke sudut lift. Seolah ia adalah enemy yang harus dihindari.

Bukannya mengomentari tindakan gadis itu, Alain mencari topik lain, " Mengapa kau baru keluar dari kantor ? "

" Ada pekerjaan yang belum selesai. " Jawab Callie berbohong. Gadis itu tidak berani menatap Alain, walapun pria itu dengan sengaja membalikkan badan menghadap gadis itu dan bersandar di dinding lift berseberangan dengan dirinya. Callie tetap berdiri menyamping dan memelototi pintu lift. Seolah benda itu adalah maha karya seorang seniman.

Ia tidak berani menatap pria itu tanpa mengingat kejadian dua hari yang lalu ketika ia mengakui menyukai Alex kepada Alain. Itu memang fakta. Ia memyukai Alex tanpa dirinya sadari. Ia tidak tahu sejak kapan ia menyukai pria itu, namun ia sudah tidak dapat membohongi dan lelah melawan perasaannya sendiri.

Callisandra menyukai Alexander Raymond.

Alain sepertinya tidak suka diabaikan  dan ingin bercakap - cakap dengan Callie, karena pria itu kembali bertanya. " Apakah kau pulang sendirian ? "

" Taxi akan segera datang. "

" Batalkan saja. Aku akan mengantar mu pulang. " Alain seperti biasa dengan sifat mendominasi yang menyebalkan.

" Tidak, terima kasih. Aku akan naik taxi saja. Aku tidak mau merepotkan mu. Kau pergi saja ke tempat tujuan mu semula. " Callie buru - buru keluar dari lift ketika mereka sampai di lantai dasar dan pintu otomatis terbuka.

" Itu, tidak aman. Kau pulang denganku saja. " Alain menahan pergelangan Callie. Terkejut oleh sentuhan lembut pria itu. Alain biasanya mencengkeram tangan gadis itu hingga meninggalkan bekas merah disana.

" Aku tidak ingin menahan mu dari rencana mu. " Callie mencoba berbicara kepada Alain, walaupun pria itu terus menarik tangannya agar mengikuti pria itu menuju mobil Sub hitamnya yang sudah terparkir di luar gedung Green. Seseorang sudah menunggu di pintu loby membawa payung yang sudah terbuka dan menyerahkannya kepada Alain.

" Rencana ku malam ini memang untuk mengantar kau pulang. " jawab tak terduga pria itu sambil memayungi mereka berdua. " tidak ada rencana lain. " tambah pria itu saat membukakan pintu depan untuk Callie. Setelah Callie aman di dalam, pria itu berputar untuk duduk di kursi kemudi.

Callie langsung terdiam mendengar jawaban tak terduga pria itu. " Tapi kau juga ingin buru - buru pulang. " Callie masih mencari - cari alasan.

" Kalau aku ingin berdiam diri di rumah. Aku tidak perlu keluar dari gedung itu. " Alain menjawab. Memutar kunci dan mesin pun menyala. Callie mengerutkan kening tidak mengerti lalu seketika pemahaman menembus otaknya yang lelah seharian bekerja.

" Kau membeli penthouse papa. " Callie tercengang oleh fakta itu. Alain memang tidak mengenal batas.

" Mengapa kau membelinya ? " Callie melotot pada lampu merah yang tiba - tiba menyala. Kesal bahwa ia harus berlama - lama duduk di dalam mobil pria itu.

" Kau tahu mengapa. " jawab pria itu. Callie menoleh dan mendapati pria itu sedang menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit dijabarkan. Callie yang tidak sanggup membalas kata - kata pria itu, menatap lagi ke depan.

" Lampunya sudah kembali hijau. " Callie menunjuk ke depan. Alain menggelengkan kepala dan menuruti gadis itu dengan kembali menjalankan mobilnya.

" Jika kau berpikir bahwa aku sudah menyerah ketika kau bilang kau menyukai saudara kembar ku. Kau berarti belum mengenal ku. Aku akan mempertahankan apa yang sejak awal adalah milik ku. " Alain mengatakannya dengan suara pelan, namun seolah bergema di dalam kendaraan sempit itu. Setelah itu kesunyian menemani selama perjalanan mereka menuju apartement Callisandra.

Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di gedung apartement Callie. Gadis itu belum memberitahu dimana ia tinggal kepada Alain, namun ternyata pria itu sudah tahu dimana apartement yang ditinggali Callie sekarang.

" Kau, benar - benar tidak mengenal batas. " komentar Callie saat pria itu membukakan pintu untuknya sambil memayungi mereka berdua. Hujan sepertinya tidak mau berhenti turun.

" Aku bertanya pada ayah mu. Jika maksudmu mengapa aku bisa tahu tempat tinggal mu. " Alain mengantar sampai depan pintu masuk. Saat Callie menekan kode pintu, Alain mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak kecil berwarna biru dan diikat dengan pita berwarna senada.

Callie hendak mendorong pintu kaca ketika Alain menyodorkan benda itu; " Ini, ambillah. "

Dengan ragu - ragu, Callie meraih benda itu. " Ini apa ? " Callie bisa menebak benda apa di dalamnya. Tapi ia tetap bertanya.

" Itu adalah cincin yang aku pura - pura hilangkan sembilan tahun yang lalu. " jelas Alain. Gadis itu langsung mendongak ke arah wajah serius pria itu.

" Selama ini, aku selalu membawanya kemanapun aku pergi. " setelah mengatakan itu, Alain pergi meninggalkan Callie yang terdiam di depan pintu masuk gedung apartemennya. Pria itu sudah melajukan mobilnya kembali menembus jalanan saat akhirnya gadis itu masuk ke dalam gedung.

__________________________
25/04/2017

Please komentarnya aku tunggu, agar aku bisa memperbaiki cerita ku yang sedikit tidak jelas ini....

Seal Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang