Part 24 [Falsehood]

25.4K 1.2K 136
                                    

Kiara's POV

Aku bersiul pelan sambil mendorong keranjang belanjaanku, kulirik jam tangan mungil yang melingkari tanganku, tak terasa sudah 15 menit aku memilah-milah cemilan. Setidaknya dihari ulang tahunku ini, aku masih bisa menyantap makanan kecil seandainya tak ada satupun yang mengingatnya.

Ponselku bergetar, dengan sebelah tangan, kurogoh saku celanaku dan kudapati pesan dari kakek yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku, walau sebenarnya kakek menyebutkan nama Kinara di sana bukan Kiara, tetapi aku tetap menganggap kakek mengucapkan selamat ulang tahun untuk diriku.

Sebuah pesan kembali masuk, ternyata itu pesan dari Mevil. Seperti biasa, pesannya singkat dan jelas dengan tanda seru yang tak pernah tertinggal. Bahkan saat bertanya pun ia tetap menggunakan tanda seru diakhir kalimat.

Aku harus cepat pulang dan menanti Mevil yang sudah mengabariku bahwa ia akan pulang lebih cepat dan aku tidak boleh membuatnya menunggu.

"Semuanya seratus empat puluh lima ribu tiga ratus won, uangnya seratus empat puluh lima ribu lima ratus won, kembalian dua ratusnya mau di donasikan?" Kasir bernama Seira itu bertanya sembari tersenyum ramah kearahku.

"Iya" Jawabku seraya membalas senyum ramahnya.

Aku menenteng belanjaanku dengan bahagia dan berjalan menuju rumah dengan langkah-langkah besarku dan berharap malam ini Mevil juga akan mengingat ulang tahunku kemudian memberikan hadiah yang membuatku bahagia.

Aku berjalan dengan santai saat pagar rumah yang besar itu sudah terlihat. Senyumku semakin merekah saat kulihat mobil mewah Mevil terlihat dari kejauhan.
Aku melambaikan tanganku saat mobil itu semakin mendekat.

Dengan senyum lebar aku mendekati Mevil yang membuka kaca jendelanya. Langkahku terhenti saat kulihat wajahnya yang mengeras dan giginya beradu dengan geram. Secepat itu pula senyumku sirna. Perasaan buruk langsung menghampiriku, kenapa moodnya terlihat sangat buruk?
Apa ia baru saja mengalami kerugian?

"Dari mana kamu?" Tanyanya dengan tatapan setajam silet.

"Belanja." Jawabku singkat seraya menyunggingkan senyum tipisku dan mengangkat kantung belanjaan.

"Sekali pembohong selamanya akan jadi pembohong. Cepat masuk ke mobil."

Aku menatapnya dengan bingung, apa maksud kata-katanya?

"KAU TULI?" Suaranya mengeras dan aku terlonjak kaget.

Tanpa banyak bicara aku masuk ke dalam mobilnya, terdengar bunyi mobil yang dikunci. Bukannya masuk ke dalam pekarangan rumah, ia malah memutar balik mobil. Aku semakin kebingungan. Pagar otomatis tertutup kembali dan Mevil tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Mau ke mana?" Tanyaku hati-hati.

Ia tetap diam dan enggan menatapku. Buku-buku jarinya terlihat memutih karena mencengkram setir mobil dengan erat, giginya terus bertaut hingga terdengar bunyi berdecit yang memekakkan telinga. Ketakutan mulai merambati sekujur tubuhku.

Oh Tuhan, apa yang terjadi kepada Mevil? Kenapa ia seakan ingin membunuhku?

Lama, tak ada jawaban darinya. Akhirnya aku memilih diam dan tak berani mengajaknya bicara lagi. Hanya bunyi kendaraan yang terdengar tanpa alunan musik.
Keadaan di dalam mobil ini benar-benar membuatku tak nyaman.

Aku tak berani menoleh lagi padanya, kuputuskan untuk melihat ke luar jendela, kota masih ramai dan banyak pasangan kekasih yang berjalan bersama sambil bergandengan tangan.

Seandainya Mevil mau, aku ingin sekali berjalan bersamanya dan bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih yang saling mencintai. Tapi itu hanya mimpi indah bagiku, tiada cinta dihati Mevil untukku. Semua hanya untuk Christynya.

The Wind BlowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang