Kejadian Ketujuhbelas

11 0 0
                                    

Jalanan terlihat begitu sepi. Lenggang, tak ada penghuni. Terlihat seperti kota mati tapi saat berjalan di tengah-tengahnya, suasana damai yang menghantarnya.

Beberapa detik kemudian, lewatlah motor bebek. 2 orang jumlah penumpangnya. Suara knalpotnya terdengar jelas di depan rumah. Hingga gadis berambut hitam legam turun dari jok belakang.

"Makasi ya," sahut gadis itu sambil memberikan helm yang barusan ia pakai.

Pemuda yang menerima helm itu tersenyum sopan sambil mengangguk. Entah mengangguk karena alasan apa. "Langsung masuk rumah. Langsung mandi, langsung makan trus cap cus tidur. Jangan bego."

Vada tertawa karena kejayusan Gama. "Gue emang bego."

"Hush! Siapa yang bilang elo bego?"

Vada bungkam. Tak tau harus jawab apa. Tapi bibirnya melengkung ke atas, tanda ia senang.

"Jangan lupa sama amanat gue, Gamiber! Elo mesti cari kepastian cewek goblok itu, ya?"

Gama mengangguk. Walau ia pengen tonjok Vada karena bilang ceweknya goblok.

"Okelah, gue masuk duluan, ya?"

"Emangnya lo cowok?"

"Ha?" Vada bingung dengan ucapan Gama barusan.

Gama menggeleng pelan dan menyuruh Vada untuk cepat masuk ke rumah. Vada gak menolak, jadi ia menepuk bahu Gama tiga kali dan masuk ke rumahnya.

Ah, Gama kayak gak tau Vada saja. Anak itu 'kan gak bisa diajak bercanda.

Belum saja Gama pergi, pesan masuk datang.

Kita putus.

Gama tak tau, apakah ini adalah hari terbaiknya atau malah menjadi hari terburuk sepanjang masa.

--

"Noah, papa kamu ada di ruang tamu," ucap Bi Len saat dia masuk ke dalam kamar Noah dengan wajah ketakutan.

Noah yang sedari tadi sedang bermain Playstation pun langsung berhenti. Menoleh pada Bi Len sambil menaikkan sebelah kiri alisnya.

Bingung.

"Mau apa dia kemari?"

"Katanya mau bicara sama kamu. Sana gih, ketemu sama papa. Kalo gak ketemu bakal lebih salah paham lagi nanti."

Noah keberatan mendengar ucapan polos Bi Len.

"Bibi emangnya tau masalah kita berdua?" Pertanyaan Noah seperti menusuk uluh hati. Tapi bagi Bi Len, hal itu sudah menjadi biasa saat Lio datang ke rumah kontrakan Noah.

Melihat Bi Len terus menerus kepala batu, maka Noah langsung bangkit dari karpet halus berwarna biru tua lalu langsung menuju ruang tamu.

Saat melihat Lio, seolah wajahnya sudah diberi mandat untuk terus memasang wajah acuh tak acuh. Gayanya yang terlihat malas menandakan bahwa dia tidak ingin diganggu. Apalagi oleh ayahnya.

"Ada apa?" Tanya Noah. Matanya tak menatap balik mata Lio bak elang. Dia menganggap hal itu tidak penting.

Tidak penting untuk diingat. Tidak pantas untuk dijadikan kenangan.

"Begitu cara kamu bicara sama papa?"

"Trus harus gimana? Saya capek bicara sama Papa!"

"Noah!"

Wajah Noah tetap tak acuh. Mengingat apa yang dilakukan oleh papanya.

Hening menyambut keduanya. Diam. Sunyi.

Begitu terus hingga ia berjalan meninggalkan ayahnya sendiri. Wajahnya tegar tapi tidak ada yang tau di dalam lubuk hatinya menyimpan banyak kesakitan yang mendalam. Sampai akhirnya, rasa dendam itu berubah menjadi seribu sesal yang tak akan pernah disampaikan.

Dengan kata lain, sesal itu hanyalah gengsi yang terus menerus dimakan waktu. Tak tau kapan diutarakan.

Setelah tadi sempat mengambil jaket dan helmnya di dalam kamar, sekarang waktunya ia pergi dari rumah. Cepat keluar sebelum kembali merasakan sesal di dalam hatinya.

--

Kamis, 30 Maret 2017, 20.09 WITA

A.s

BetersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang