Kejadian Kesembilanbelas

13 0 0
                                    




"Nevada!"

Vada menggeram tidak senang dan menyikut tangan Athala. "Gue gak suka dipanggil Nevada, La."

Athala malah tertawa, "Lo macem temen gue yang namanya Leara. Selalu aja marah-marah."

Vada hanya bisa diam. Dirinya tidak tau mau dibawa Athala kemana, tapi dia terus saja mengekori perempuan itu sedari tadi.

"Pesta lo kayak pasar. Ribut."

"Beginilah anak muda, Vad." Athala mengusap punggungnya. menenangkan Vada agar dia tidak lari dari tempat ini. Sayang juga kalau lihat Vada tidak ada di sini. Bisa sambil menyombongkan diri kalau dia berteman dengan Vada.

"Vada, gue ke sana dulu, ya? Ada tamu lain soalnya." Vada mengangguk mempersilahkan Athala untuk menjauh darinya. Malas juga jika melihat Athala di sekitarnya.

Lama Vada berdiri sendiri, sedikit memaksa dirinnya untuk menyukai musik yang keras dengan lautan manusia yang melompat-lompat mengikuti irama.

Jangan di sini! Lo mau nyiksa diri sendiri?

Vada menggelengkan kepalanya. Ia jadi bengong.

Yang tadi itu apaan? Seperti suara pemuda yang tadi mengiang di pendengarannya. Lalu kemudian dirinya pusing. Berkunang-kunang.

Biarlah nyiksa diri, yang penting bareng lo.

Najis!

Setelah itu, terdengar suara tertawa. Makin membuat Vada pusing dan ingin muntah di tempat. Padahal setau Vada, dia tidak minum atau makan apapun dari tadi.

Karena tidak ingin dirinya pingsan di tengah-tengah banyaknya orang, Vada segera berjalan keluar dari situ, setelahnya dia malah sampai di lorong kosong dengan berbagai pintu di sebelah kiri dan kanannya.

Segera ia buka ponselnya dan menelpon Athala.

"Kenapa, Vad?"

"Kamar lo yang mana? Gue makin bingung liat lorong ini."

"Lo di sebelah mana? Di bagian mana?"

Vada berusaha menengadah dan melihat dengan seksama lorong rumah Athala. Lalu setelahnya berucap, "Gue ada di lantai dua. Tadi di samping tangga ada toilet."

"Lorong kiri ato kanan?"

"Kanan."

"Balik lagi di depan tangga trus ke lorong sebelah kiri. Pintu pertama sebelah kanan kamar gue. Lo kenapa?"

Menyebalkan! Anak itu tidak berhenti bertanya. Tapi sayang juga jika dia langsung matiin ponsel. Dia mau pinjam kamar Athala. Nanti kelihatan gak tau diri lagi.

"Gue pusing. Pengen bobo."

Terdengar Athala tertawa dari seberang sana. Ia mengiyakan Vada tidur sebentar di kamarnya lalu mematikan panggilan mereka.

Segera Vada pergi ke lorong yang satunya lagi dan mencari kamar Athala dengan tergesa-gesa. Tanpa ia duga, dirinya malah menabrak seseorang dari arah berlawanan.

"Vada?"

Vada langsung mencari sumber suara itu, lalu menoleh. Melihat seorang pemuda dengan kemeja hitam yang digulung sampai sikut senada dengan jeans yang dipakainya.

"Siapa, ya?"

Pemuda di depannya terbelalak. Tapi sepersekian detik kemudian menggeleng sendiri. Seperti menghilangkan rasa kaget karena tidak dikenal Vada.

"Temen lo sebenarnya, tapi tak apalah kalo lupa."

Vada benar-benar merasa bersalah, tapi dia harus segera ke kamar Athala. Kepalanya semakin berat dan terasa seperti ditusuk jarum.

"Lo kenapa?"

Tak ada waktu untuk menjawab. Vada tersenyum sejenak lalu berlalu dari pemuda itu. Mencari pintu kamar Athala lalu setelah menemukannya, segera ia buka dan masuk ke dalam.

Akhirnya ia bisa berbaring barang 10 menit di sini.

--

"Halo Vada!" Mendengar suara itu, apalagi menoleh kepada seseorang yang tadi menyapa Vada, membuat ia memutar bola matanya, bosan.

"Kenapa lo bisa di sini, ha? Gue bosen liat muka lo terus." Vada kembali sibuk dengan lukisannya. Tidak memerdulikan tatapan Noah padanya. Kelihatan sudah terlatih untuk menghadapi sikap dan kelakuan Noah.

"Cie yang udah tahan sama gue!" Noah tersenyum geli sambil mencolek dagu Vada dengan genit. Ia langsung tertawa setelah melihat Vada melototi dirinya yang terlihat gila ini. Tapi mau bagaimana juga? Dia gemes sama Vada.

"Jauh-jauh lo!"

"Awas jadi suka sama gue."

Gaje!

Vada mendengus melihat Noah lalu tak lama kemudian berhenti melukis. Tidak peduli dengan Noah ada di sini sudah 4 jam! Noah benar-benar membuat dirinya tidak nyaman melukis. Tidak konsentrasi. Apalagi dengan senyum manisnya.

Lukisan wajah Alpha malah jadi wajah Noah. Gak asik!

"Vada ayo dong! Lo 'kan kalah taruhan waktu itu! Ayo! Lo harus nepatin janji lo!"

Masih inget aja!

Vada menggerutu sebal. Kenapa juga dia harus mengikuti taruhan sialan Noah? Itu gak lucu sama sekali dan lebih parahnya lagi, harus main sepak bola dengan Noah!

ARGH!

"Ayolah Vada!"

Vada gak mau!

"Lo cemen banget! Taruhannya gak lo tepatin! Yah payah!" Vada menoleh pada Noah. Tatapannya aneh. Aneh melihat Noah seperti anak 7 tahun yang sedang mengejek temannya yang lain karena tidak bisa naik sepeda roda 2.

"Fine!"

Begitu dong, pikir Noah.

Vada misuh-misuh menerima kekalahannya. Tapi ia tidak mau jadi cemen di depan Noah. Nanti diejek lagi. Berabeh.

Mulut Noah kadang bisa jadi kayak mulut buaya. Bau!

"Gitu dong, Vad! Kalo kayak gini, gue bisa gampang juga nyari boneka teddy bear buat lo. Ya, kan?"

Vada mengangguk senang. Dirinya dapet boneka? Beneran?

"Gue seneng juga kalo gitu! Yey! Kesambet setan apa lo sampe mau beliin boneka teddy bear buat gue?"

Noah mengernyit. Ia bingung.

"Boneka teddy bear, karena pas di restoran nyokap lo, lo menang taruhan. Gue ngedip. Lo lupa?"

Vada beneran lupa tentang itu. Ah dia memang suka lupa tentang hal-hal yang tidak penting.

Tapi eh! Ini juga termasuk penting. Dijanjiin boneka beruang? Kenapa dia harus lupa tentang yang satu ini? Bodohnya Vada!

Saat Vada sedang asiknya memikirkan betapa bodohnya dia sampai bisa melupakan hadiah besar, Noah langsung menepuk pundak Vada lalu memberikan pandangan yang tidak dapat Vada mengerti.

"Kalo gitu, lebih baik gue gak usah bilang aja! Kampret! Uang gue!"

Noah memang minta ditendang kayaknya.

"Tapi tak apalah. Janji adalah hutang. Gue harus nepatin. Gimanapun juga, itu udah jadi kewajiban gue buat bayar hutang. Ya, kan?"

Vada menaikkan alis satunya dengan bingung, tapi bagaimana pun juga, demi boneka beruang super duper besar, ia pun mengangguk.

--

Sabtu, 29 April 2017, 13.35 WITA

A.s

Betersحيث تعيش القصص. اكتشف الآن