2. Ruby atau Saphira

1.8K 300 59
                                    

"Aku ke Starbuck dulu ya Ma,"

Mama menatapku tak setuju. "Kamu kenapa jadi addict sama kopi gini sih?"

"Di Starbuck kan nggak hanya ada kopi. Green tea juga ada, coklat juga ada. Mama mau beli apa?"

"Mama coklat hangat aja deh kayak kamu,"

Senyumanku hampir saja hilang saat Mama mengatakan itu. Aku kan ingin membeli kopi, bukan coklat. "Oke ma, tunggu ya. Mungkin agak lama soalnya kan biasanya rame,"

"Asal nggak dua jam aja. Pesawat kita kan mau boarding dua jam lagi,"

Aku mengangguk lalu meninggalkan Mama di ruang tunggu dekat Gate keberangkatan dan menuju Starbuck yang lokasinya cukup jauh. Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta yang sekarang ini memang bagus sekali, mungkin mendekati Bandara Changi Singapura. Hampir di setiap selang dua gate ada toko buku Periplus, dan cukup banyak Starbuck. Sebenarnya dekat gate pemberangkatan kami ada Starbuck, tapi aku memilih kedai yang lebih jauh lagi. Aku tidak mau kepergok minum kopi bukannya coklat, kalau-kalau Mama nyamperin. Eh tapi kan Mama nggak mungkin nyamperin, kan jaga koper? Ya udah lah, jaga-jaga saja.

Setelah menemukan Starbuck, aku mengantri. Tanpa bisa ditahan, mataku langsung menyusuri tangan orang-orang yang ada disana. Insting yang selalu muncul karena aku memang suka sekali membuat gelang. Kemudian aku mengeluarkan notes dari tas selempangku lalu mulai menggambar sketsa gelang."Kenapa setiap kita bertemu, kamu selalu menunduk dan sibuk dengan buku kamu?"

Terkejut, aku menoleh ke belakang dan melihat laki-laki itu, si fotografer Mogok yang mengantri di belakangku. Aku memanggilnya begitu karena kami pertama bertemu di Mogok market beberapa bulan lalu, meskipun setelah itu kami traveling ke banyak tempat.

"Ah, Mogok..."

Laki-laki itu tertawa dengan panggilan itu. Saat itu kami memang memutuskan untuk tidak memberi tahu nama kami satu sama lain. Karena menurutku lebih menyenangkan begitu. Lagipula kan memang tujuanku saat itu bersolo travel keliling Asia Tenggara, bukan ditemani seseorang. Tapi ternyata asik juga memiliki teman perjalanan. Sedikitpun aku tidak curiga kalau dia adalah orang jahat, dan terbukti dia memang teman berjalan yang menyenangkan.

Pada akhirnya aku memanggil dia Mogok, dan dia memanggilku... "Ruby. Nama panggilan kamu lebih bagus dari nama panggilanku,"protesnya, meskipun ia tertawa mengatakannya.

Aku hanya tertawa. Tidak ingin mengungkapkan kalau aku senang dengan panggilan itu. Nama yang kusukai dibanding nama yang sekarang ini kukenakan.

Kemudian Mogok menunjuk antrian di depan, dan aku baru menyadari kalau saat itu giliranku memesan. Aku memesan Asian Dolce Latte dan dua hot chocolate untuk Mama dan aku. Kemudian menunggu pesanan di salah satu kursi yang tersedia.

"Rambut kamu nggak merah lagi,"ucap Mogok, saat ia bergabung denganku menunggu pesanan. Tanganku tanpa sadar langsung memegang rambut hitamku. Rambut yang kembali ke warna aslinya setelah selesai berjalan-jalan dengannya beberapa bulan lalu. "Jadi benar ya kamu mewarnai rambut kamu biar sesuai sama batu ruby disana,"

Ucapannya itu mau tidak mau membuatku tertawa. Padahal bukan itu alasanku mewarnai rambut menjadi merah. Aku memang suka warna itu. Tapi sayangnya karena Mama, aku tidak bisa lagi berkeliaran dengan rambut merah menyala.

"Kamu mau kemana? Solo travel lagi, nyari objek foto bagus?"tanyaku tanpa membenarkan pernyataannya tadi.

"Hmm... ya. Saya mau ke Bali. Tempat yang klasik untuk liburan tapi tetap nggak membosankan untuk dipotret. Kamu sendiri, solo travel lagi?"

"Kali ini nggak solo. Tapi duo sama Mama,"ucapku terkekeh. "Aku mau ke Jogja nemenin Mama ke tempat Tante,"

"Ah Jogja... Harusnya saya kesana juga, biar kita bisa ketemu dan jalan bareng lagi,"ucapnya yang membuatku tersipu. "Tapi saya baru aja dari sana bulan lalu,"

Aku menelan kekecewaan dalam hati, dan masih tersenyum menatapnya. Padahal kalau dia juga Ke Jogja, aku mungkin akan semangat kabur dari Mama dan pergi ke tempat-tempat indah yang sekiranya dikunjungi dia. Yah tapi mungkin saat ini bukan keberuntunganku harus bersama Mama selama seminggu di Jogja.

Setelahnya kami mengobrol banyak hal sembari aku menghabiskan kopi. Tentu saja karena tidak mau ketahuan ngopi sama Mama. Kemudian setelah habis aku berpamitan dengannya.

"Apa kita masih akan memanggil dengan nama itu? Kita kan sepakat akan memberi tahu nama masing-masing kalau bertemu lagi di Indonesia. Kamu sih enak panggilannya bagus, saya kan nggak mau terus-terusan dipanggil Mogok,"

Aku kembali tertawa. "Jadi nama kamu siapa?"

"Altan. Kamu bisa mengingat nama itu saat memikirkan saya,"ucapnya dengan senyum nakal, membuatku sebal karena sifat merayunya yang tidak pernah gagal membuatku tersipu.

Kemudian saat aku akan menjawab, ponselku berdering. Aku menjawabnya yang langsung disambut omelan Mama. "Saphira!! Kamu kok lama banget?!"

"Maaf Ma, tadi ngantri. Ini aku baru mau balik,"ucapku setelah berusaha menghilangkan denging di telinga karena omelan Mama.

Aku bisa melihat wajah laki-laki itu yang tersenyum geli melihatku yang sedang berbohong pada Mama. Kemudian aku menatapnya tajam setelah mematikan ponselku. "Jangan ngeledek,"ucapku memperingatkan.

"Jadi nama kamu Saphira? As in sapphire, the blue gem?"tanyanya, kurasa ia bisa mendengarkan ucapan Mama di ponselku karena suara Mama yang keras.

Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa tidak suka saat mendengar nama itu. "Aku lebih suka kamu memanggilku Ruby,"

Dia tersenyum. "Dan aku setuju kalau nama itu lebih cocok untuk kamu,"

Ucapannya dapat membuatku merasa nyaman. Perasaan nyaman yang telah muncul sejak melakukan perjalanan bersama-sama dengannya selama seminggu di negara asing. Bersama dia, aku bisa menjadi diriku sendiri. Menjadi Ruby. Bukan Saphira.

Karena aku benci nama itu. Aku benci menjadi Saphira.

~TBC~

Kenapa benci? Saphire kan bagus! *jerit temennya author* hahaha~ nyolong nama temen sendiri

Gimana? Ada yang penasaran sama Altan dan Ruby/Saphira?

Sunrise RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang