[19] Bersama Bintang

Start from the beginning
                                    

Dunia selalu seperti itu; menyajikan dua rasa yang berbeda, di satu tempat yang sama.

"Haaaah!" Rena menghela napas keras-keras setelah bekerja totalitas, tiga jam tanpa istirahat. Yang tersisa sekarang hanya rasa lelah pada persendiannya; bolak-balik menawari menu dan mencatat pesanan tidak semudah yang terlihat. Ditambah dengan Gilang yang beberapa kali berulah.

"Lain kali, Ren, jangan suruh gua jadi pelayan. Mending nyuci piring," kata Gilang sambil mengurut pelipisnya. Sebuah apron hitam khas pekerja kafe terikat di pinggangnya. Apron yang sama juga membalut tubuh Rena, tapi entah kenapa terlihat lucu jika dipakai laki-laki itu. Rena yang baru sadar dengan penampilan Gilang kontan terkekeh.

"Apa, hah?" Gilang mendengus.

"See, the so called Gilang yang banyak alusannya di sekolah, yang bolak-balik ke BK, dan yang gak pernah bisa masukin kemeja ke celana, sekarang lagi pake apron."

Gilang mendengus lagi. Mengabaikan label yang diberikan Rena dan hanya menyahut, "Demi lo nih, bilang makasih gak?"

"Demi gue? Gue gak minta." Rena mencibir sambil mengulas senyum mengejek. Hanya tersisa beberapa pelanggan yang kerasan tinggal jadi ia memutuskan untuk mulai beres-beres. Tangannya bergerak membersihkan meja satu persatu.

Gilang hendak protes dengan jawaban Rena tapi urung ketika seorang wanita muncul dari tangga lantai atas, senyumnya semringah. "Wah, wah, Gilang ya?"

Gilang buru-buru memasang ekspresi andalannya; kalem, senyum sopan, dan tegas. "Eh, tante. Hehe, iya nih."

Rena mencibir lalu menyikut rusuk Gilang. "Gak usah sok manis."

Wanita itu, Ibu Rena, hanya membalas dengan tawa pelan sembari melangkah mendekat. "Makasih ya Lang, udah bantu-bantu di sini. Kayaknya Tante harus rekrut pegawai baru ya? Biar nggak kewalahan kayak tadi."

"Gilang siap direkerut kok, Ma."

Gilang membuat mimik wajah antara ingin melotot pada Rena tapi juga ingin menanggapi sang pemilik kafe dengan senyum termanis. "Apa-apaan dah Ren-- eh, maksudnya, kalo Tante butuh bantuan, saya siap 24/7!"

"24/7, hansip kali."

"Ren! Kaga usah ngerusak imej gua sesekali, bisa?" Laki-laki itu dalam batin menambahkan, walau belum bisa dapetin hati anaknya, 'kan kali aja bisa dapet restu jadi menantu. Lalu akal sehatnya membalas, tapi buat apa dapet restu kalo hati anaknya bukan buat gua. Dan suara imajiner Gita terdengar, udah tau bego, bukannya urusin sekolah dulu!

"...Lang?"

Sebuah senggolan di lengan kirinya membuat Gilang menghentikan percakapan bodoh dengan dirinya sendiri. Ia menatap Rena dengan alis terangkat. Ternyata ibunya sudah pergi, entah apa yang sudah ia lewatkan.

"Bengong mulu lo," dengus perempuan itu. "Ayo, beresin lantai atas."

Gilang menyesal tidak pernah pergi ke lantai atas sebelum ini. Begitu sampai di anak tangga paling atas, pandangannya langsung tertuju pada piano klasik yang berada di sudut ruangan. Hitam elegan dan berdiri gagah, namun tampak kesepian. Seolah dibiarkan membisu, tanpa pernah dimainkan.

Mengikuti insting, Gilang langsung duduk dan memposisikan jemarinya pada tuts-tuts hitam-putih.

Rena yang sedang membereskan meja langsung berhenti. "Lang."

"Hm?"

"Jangan macem-macem."

"Gak akan gue rusakin," katanya. Gilang mulai menekan asal tuts piano itu sambil menyengir ke arah Rena.

"Tampang norak. Kayak gak pernah liat piano aja."

Alis Rena berkerut, bukan karena antusias. Namun karena ada sesuatu yang mengganggunya, dan Gilang sadar akan hal itu. Banyak kenangan yang sudah disaksikan piano ini.

Gilang makin semangat menekan tuts-tuts dengan asal. Sesekali menginjak pedal tanpa mengerti apa fungsinya.

"Gilang, stop it."

"I won't."

"You will."

"No, I won't—"

"Yes, you will."

"I—"

"GILANG!"

Seruan Rena akhirnya berhasil membuat jemari Gilang membeku. Nada-nada yang semula teralun mendadak berhenti, seiring senyumnya sirna. Rena terlihat benar-benar marah.

Laki-laki itu akhirnya menghela napas panjang, mengalah. Sekon berikutnya bangkit berdiri dan bersandar pada sisi samping piano. "Kalo gitu lo yang main."

Rena mendorong meja yang sedang dipindahkannya dengan kasar. "Kita ke sini buat beres-beres. Bukan buat main piano."

"Apa salahnya main sebentar?"

"Apa salahnya lo diem aja dan nggak usah banyak omong?"

Gilang menatap Rena sedikit lebih lama dari yang diniatkannya. Pandangannya kemudian beralih pada trofi yang dipajang tak jauh dari sana; penghargaan atas partisipasi konser tahunan, piagam resital piano, murid terbaik 2013, dan beberapa sertifikat yang dibingkai apik. Semuanya milik Rena. Tanpa sadar, ia tersenyum tipis.

"Ren." Gilang berujar rendah. Yang dipanggil memang tidak merespon, tapi ia tahu Rena mendengarkan. "Lo gak bisa selamanya menghindar. Kenyataan kalo lo masih memajang penghargaan-penghargaan ini, itu jadi bukti kalo cita-cita lo jadi pianis belum pupus."

Gerakan Rena dalam mendorong meja kontan memelan.

"Mau sampai kapan berhenti main piano cuma gara-gara Raffa—"

"Jangan bawa-bawa dia," desis Rena. "Gue udah bilang ke lo, dia bukan alasan gue berhenti."

"Dan gue juga udah bilang ke lo, jangan bohong sama diri sendiri."

"Lo gak paham, Lang."

"Kalo gitu jelasin."

Jarak di antara mereka memang terentang lima meter, tapi Gilang bisa merasakan tatapan Rena yang menusuk tajam. Beberapa menit berselang dan tak ada kata-kata yang keluar dari satu sama lain. Hingga akhirnya Rena menjawab dengan suara tersendat.

"Raffa orang pertama yang ngajarin gue main piano. Dan untuk pertama kalinya, gue punya pelarian dari rasa kehilangan setelah ayah pergi. Gue jadi egois. Gue cuma mikirin kebahagiaan sendiri... gue terlalu sibuk lari dari kenyataan. Gue gak peduli sama Mama yang kerja banting tulang sendirian..." Tatapannya melembut seriring langkah kakinya tersusun menuju piano. Rahangnya mengeras karena ragu, Gilang bisa melihat tangannya bergetar begitu menyentuh tuts-tuts piano. "...gue mencuri sesuatu yang gak seharusnya gue dapatkan, Lang."

Gilang menatapnya lekat-lekat. "Apa?"

Pandangannya melayang keluar jendela. Menatap langit dimana bintang-bintang seharusnya menggantung, meski kali ini tak terlihat lantaran tertutup awan tebal. Tetapi setidaknya, Rena tahu bintang akan terus berada di sana; memperhatikannya dalam diam.

"Kebahagiaan." Rena menjawab.

Dan itu adalah jawaban terbodoh yang Gilang dengar seumur hidupnya.

"Semua orang layak untuk bahagia, bahkan bagi yang terbrengsek sekalipun."

Rena tersenyum pahit. Ia menggeleng pelan. "I told you, you don't understand. And I can't explain." Dengan cepat ia menarik kembali jemarinya dari atas tuts tanpa menyempatkan diri memainkan satu melodi pun. Lantas melangkah menuju tangga dan menatap Gilang untuk terakhir kalinya malam itu.

"Lo boleh pulang duluan. Thanks buat... hm, hari ini."

***

[ RUR ]

31/3/2017

Yiruma - Fairy Tale

Terima kasih untuk yang sudah membaca! Menerima segala kritik dan saran, karena pasti akan sangat membantu :)

R untuk RaffaWhere stories live. Discover now