13. Menyadari Sesuatu yang Hilang

698 26 1
                                    

Ibu.

Entah kapan terakhir kali laki-laki itu memanggil Ibu, Mama, Bunda, atau sebagai nya.

Entah kapan terakhir kali laki-laki itu mencicipi masakan Ibu nya.

Entah kapan terakhir kali laki-laki itu mencium punggung tangan Ibu nya sebelum dan sepulang sekolah.

Entah kapan terakhir kali laki-laki itu melihat wajah Ibu nya, mendengar tawa Ibu nya.

Entah kapan terakhir kali laki-laki itu merasakan keberadaan Ibunya.

Angga hanya anak umur lima belas tahun yang menyedihkan. Tidak tinggal bersama kedua orangtua nya sejak umur dua belas tahun.

Sebelum orangtua nya bercerai, hidup Angga juga sudah sulit. Baru rasa nya menggunakan seragam putih biru, tetapi mengapa keadaan di rumah nya sangat sulit? Seakan Angga memang sudah harus siap mendengarkan semua nya.

Entah dari mana mereka, orangtua Angga, kehilangan rasa kasih sayang satu sama lain. Yang jelas, mereka hanya berteriak satu sama lain, mencaci, memaki, dan berakhir pada Mama Angga yang meminta bercerai.

Angga yang saat itu masih kelas tujuh, pulang ke rumah pada saat yang tidak tepat. Saat-saat dimana perdebatan yang membuat telinga Angga pecah itu terjadi, membuat nya meringkuh di balik pilar. Melihat kedua manusia yang ia sayangi itu saling menyakiti, menghujani dengan makian satu sama lain.

Selama perdebatan itu terjadi, Angga jadi tahu akar permasalahan nya. Papa Angga yang selalu bermain dengan perempuan membuat Mama nya muak setengah mati, juga alasan Papa Angga yang selalu mengatakan kalau istri nya itu jarang di rumah, tidak bisa menyempatkan waktu untuk diri nya.

Pada awal, Angga hanya diam dan menyumpal telinga nya dengan earphone, mendengar musik keras seperti Blink 182 dan My Chemical Romance dengan volume maksimal.

Lama kelamaan, Angga jadi muak setengah mati. Ingin sekali memarahi kedua orang itu yang menganggu ketenangan Angga.

Dan suatu malam pada pukul sepuluh, saat Angga di pertengahan SMP, ia dapat melakukan apa yang sudah ia pendam.

Angga dengan hebat nya melempar piring kaca di antara mereka berdua yang memang berdebat di dapur. Laki-laki itu berteriak dengan lantang, mengeluarkan seluruh beban yang di tanggung di pundak kecil nya. "STOP BERANTEM KAYAK GINI! ANGGA EMANG MASIH KECIL, GA PANTES IKUT URUSAN KALIAN. TAPI INI BENER-BENER BIKIN ANGGA MUAK! ANGGA CAPEK DENGER KALIAN BERANTEM TERUS DENGAN MASALAH YANG SAMA! KALAU MEMANG UDAH GA BISA SAMA-SAMA, LEBIH BAIK CERAI! PERCUMA ANGGA PUNYA ORANGTUA LENGKAP, TAPI KERJAAN NYA KALO ADA DI RUMAH CUMA BERANTEM BIKIN ANGGA PUSING!"

Kata-kata itu keluar dari mulut kecil Angga bersama tangisan yang baru pertama kali ia tunjukan kepada orangtua nya. Memang tidak ada yang tahu, setiap kali mendengar itu, Angga menangis.

Sementara Mama Angga masih diam di tempat, tubuh nya sudah bersandar pada kulkas dua pintu yang banyak di tempel sticker hadiah ciki yang sering di beli Angga. Wanita berumur tiga puluh tujuh itu memegang dada nya yang terasa sesak, kata-kata anak nya barusan sangat menyentil hati nya dengan hebat.

Seakan menyadari apa yang terjadi, Papa Angga merengkuh anak laki-laki nya dengan erat. Ia baru sadar kalau pertengkaran dan perbuatan bejat nya bukan hanya berpengaruh kepada istri nya, tetapi juga kepada jagoan kecil nya yang harus menanggung berat kehidupan di usia tiga belas tahun.

Beberapa bulan kemudian, tidak ada lagi pertengkaran, suara barang jatuh dari rumah Angga karena orangtua nya sudah bercerai dengan hak asuh Angga yang jatuh kepada Mama nya. Sedangkan Papa nya harus meninggalkan rumah, mencari rumah baru di Bandung dan langsung menikahi simpanan nya.

Di saat itu juga, Mama Angga menumpahkan semua nya di kamar. Menyebut nama mantan suami nya berkali-kali dan mengatakan kalau ia masih menyayangi mantan suami nya itu.

Hal itu cukup membuat Angga membenci Papa nya dan memulai hidup baru dengan Mama nya yang menjadi proritas. Bila di tanya waktu itu, siapa wanita yang ia sayangi maka jawaban nya adalah Mama nya dan Athaya di urutan kedua.

Tapi, tidak sampai setahun, rasa kecewa yang dalam menghampiri Angga. Membuat nya menyusul membenci Mama nya. Persetan dengan kata-kata bahwa Ibu itu sangat menyayangi anak nya, tapi bukti nya apa? Angga sama sekali tidak merasakan nya.

Mama Angga memilih menikah lagi tanpa memberi tahu Angga, tiga hari tidak pulang baru Mama nya memberi tahu semua kejadian tentang rinci.

Tangan Angga kemudian mengepal, menonjok dinding di hadapan nya. Ia baru kelas delapan, tapi sudah harus menerima kenyataan kalau besok ia akan di tinggal oleh Ibu kandung nya yang lebih memilih Duda anak dua yang akan menjadi keluarga baru Ibu nya.

Saat itu, bila di tanya siapa perempuan yang paling ia sayangi. Tanpa ragu Angga akan menjawab nama Athaya.

"Semalem gue mimpi sama Nikita Mirzani anjir!" Teriakan itu berasal dari Geiga, laki-laki yang sedang duduk di hadapan Angga.

Reflek, tangan Afif dan Angga langsung menjitak kepala Geiga keras. "Masa gue mimpi basah dua kali si!" Tambah laki-laki itu yang di jawab oleh Afif dan Angga oleh tawa.

Demi apapun, Angga ingin mati sekarang mentertawai teman nya yang begitu bodoh. "Itu bukan mimpi basah! Itu mah lo nya yang kepengen!"

Selain Athaya, Afif dan Geiga juga ikut andil besar dalam hidup Angga.

"YEH! KEGEDEAN BEGO!"

"Goblok lo," komentar Fahri--teman sebangku Geiga.

"Angga," suara perempuan dari arah kiri mengambil seluruh alih perhatian Angga. "Apa?"

"Sini deh bentar," ujar Athaya, bermaksud agar Angga menuju tempat duduk nya lalu laki-laki itu menurut.

"Besok Mama gue aja ya, yang wakilin orangtua lo?" Athaya bertanya hati-hati, takut Angga tersinggung.

Pihak sekolah memang menyuruh semua orangtua kelas sepuluh untuk datang ke sekolah besok--walaupun tidak wajib. Bermusyawarah mengenai akan kemana Study Tour tahun ini di laksanakan.

Angga tersenyum samar, Tante Friska memang selalu mewakili Mama nya dalam kegiatan seperti ini. Saat pengambilan rapot saja, Tante Friska membawa pulang tiga rapot, yang satu Sena, yang kedua Athaya, dan yang terakhir milik Angga. Wanita itu selalu mengajukan diri nya padahal Angga juga tidak masalah bila Mba Wati yang mengambil rapot nya.

"Terserah deh, lagian ga wajib juga kan?" Jawab Angga kemudian, laki-laki itu duduk di kursi Sekar yang tidak ada pemilik nya. Sudah lewat dua hari dari kejadian kemarin, tubuh Athaya juga sudah membaik, begitu pun dengan Angga.

"Iya si, tapi gapapa lah sekalian. Pasti di suruh isi absen juga orangtua siapa aja yang dateng," balas Athaya enteng. Perempuan itu tersenyum ke arah Angga, berusaha meyakinkan kalau semua itu baik-baik saja.

"Yaudah gue anggap lo mau ya. Gue laper, mau ke kantin. Kebetulan Ka Ezra tadi ngajak ke kantin bareng, dahhhh!"

***

Media: My Chemical Romance - I'm Not Okay (I Promise)

Stolen HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang