20 • Mau Dipeluk?

262K 26.6K 7.9K
                                    

Menangis mampu membuat hati lebih tenang,
tapi tak mampu menyelesaikan masalah

- Dignitate -

🌹

Deg.

Jantung Alfi berhenti berdetak dalam beberapa detik, dan kembali berfungsi namun detaknya dua kali lebih cepat. Wajahnya memanas, amarahnya pun mulai menanjak ke puncak.

"Kalo nyokap gue nggak dateng tepat waktu, mungkin sekarang gue nggak virgin lagi." Alana mengusap air matanya lagi. "Gue nggak kebayang kalo sampe mama nggak dateng. Gue nggak bisa bayangin sesuram apa lagi hidup gue, Al."

Alfi masih diam, menyimak perkataan Alana walau sebenarnya pikiran dia sudah melayang-layang ke segala arah, dan nama Regan tak hentinya bermunculan di sana. Sekuat tenaga Alfi menahan api yang seakan membakar raganya. Tanpa ia sadari, kedua tangannya mengepal kuat hingga ototnya perlahan timbul.

"Regan udah dua kali ngelakuin itu sama gue," lanjut Alana, masih menangisi kejadian memilukan itu. "Udah dua kali dia nyoba ngambil mahkota gue, Alfi ...."

Mendengar isak tangis Alana, perasaan Alfi semakin kacau balau tak karuan. Dadanya sedikit terasa teriris ketika ia lihat dan mendengar tangisan Alana. Apalagi mata Alana yang memancarkan kepedihan yang terlihat begitu jelas.

"Gue takut ... Gue takut Regan bakal gituin gue lagi." Alana semakin histeris. "Gue nggak mau liat muka dia lagi. Gue benci banget sama dia, Al! Makanya setiap gue denger namanya, setiap gue liat mukanya, gue bakal nangis. Karna rasanya sakit setiap gue inget perilaku dia terhadap gue. Sakit, Al!"

Alana menutup mulutnya, membuang pandangannya ke arah lain, tak berani menatap Alfi lebih lama lagi.

"Alana," panggil Alfi dengan suaranya yang berat, "nggak usah tangisin dia lagi. Buat apa lo nangisin cowok berengsek kayak gitu? Buat apa lo nangisin kejadian yang udah berlalu? Buat apa? Cuma mau buang-buang air mata? Lo pikir dengan cara lo nangis, lo bisa bikin Regan masuk penjara? Bisa? Hidup itu jangan terlalu dibawa drama. Mending lo pikirin gimana caranya bikin Regan mati karna gue pengen banget dia mati, Na."

"Lo nggak ngerti gimana rasanya jadi gue, Alfi!" Alana mendorong dada Alfi, kilatan matanya menandakan dia kesal dan kecewa. "Lo nggak tau rasanya gimana saat tubuh lo hampir disentuh sama lawan jenis lo dengan cara nggak etis! Lo nggak bakal ngerti apa yang lagi gue rasain karna lo bukan gue! Lo cuma bisa marah-marah, ngomong seenak jidat lo buat nyuruh gue nggak usah nangis. Lo pikir gue nggak punya perasaan? Gue perempuan dan perasaan gue sensitif, Alfi! Rasanya sakit banget pas seorang cewek dirinya nggak dihargain dan nggak dihormatin sama cowok. Dan gue ngerasain itu, Al!"

"Gue tau dan gue ngerti perasaan lo gimana sekarang. Tapi, nggak seharusnya lo terus-terusan nangis, terus-terusan bermenye-menye nggak jelas kayak gini. Kalo lo nggak terima diperlakuin kayak gitu sama cowok, lo harusnya bertindak tegas, Alana. Nangis nggak bakal bisa nyelesaiin masalah." Alfi memadang Alana tepat ke kedua bola mata cewek itu. "Bunuh Regan, Na, bunuh!"

"Alfi, gue serius!" Alana berteriak, kesal mendengar Alfi yang berucap untuk bunuh Regan terus.

"Gue juga serius, Alana!" balas Alfi, "lo nggak liat tampang gue yang udah kayak singa laper? Seandainya ada Regan di sini, udah gue patahin itu lehernya."

Alana mengusap pipinya yang penuh air mata, kemudian menekuk kedua lututnya ke atas, lalu ia nemeluk lutut itu sambil kembali menangis. Kali ini, Alana menangis tanpa suara. Hanya terdengar tarikan napasnya yang tersendat-sendat dari hidung. Alfi sebenarnya kasihan melihat Alana, tapi ia tidak mengerti cara menghadapi perempuan yang sedang menangis.

"Jangan nangis terus, berisik!" omel Alfi.

Alana menengadah, menatap Alfi dengan nyalang dan semakin kesal. "Kenapa sih lo nggak pernah bisa ngertiin cewek? Kenapa lo selalu marah-marah padahal gue lagi sedih, Al! Kenapa lo nyebelin banget?!"

Alana bangkit dari duduknya, berlari meninggalkan Alfi secepat mungkin, namun gerakan Alfi yang terbilang cepat itu membuat langkah Alana terhenti saat Alfi menarik tangan cewek itu.

"Lepasin, gue mau balik ke hotel. Gue capek. Badan gue keringetan, rambut gue udah lepek. Gue mau cepet-cepet istirahat, Al." Alana memandang Alfi dengan wajah lelahnya, sambil menahan bibirnya yang bergetar karena air matanya masih terus mendesak untuk dikeluarkan.

"Alana, gue emang nggak ngerti bahasa tubuh cewek. Gue emang nggak paham segalanya tentang cewek. Lo tau sendiri, dunia gue itu nggak sama kayak dunia lo yang lebih berwarna, Na. Dunia gue dipenuhi salinan buku pelajaran, bukan salinan kontak cewek. History di web gue semuanya tentang pelajaran, bukan tentang cewek. Jadi, maaf kalo gue bikin lo kesel karna gue nggak bisa pahamin segalanya tentang lo. Tapi, ada satu hal yang gue tau. Perempuan kalo lagi sedih atau nangis, dia butuh pelukan." Alfi menjeda sebentar dan menarik dalam napasnya, lalu melanjutkan ucapannya.

"Emangnya lo mau dipeluk sama gue?"

"Seharusnya nggak usah ditanya, Alfi." Alana menunduk, membuat air matanya jatuh dengan mulus ke pasir.

Satu detik setelah itu, Alfi menarik tubuh Alana ke dalam dekapannya yang hangat.

Tubuh Alana jelas menegang dan membeku untuk beberapa saat. Hal itu juga memberi efek pada jantungnya yang beritma semakin cepat dan memburu. Perlahan-lahan, Alana membalas pelukan Alfi dengan kedua tangannya yang penyentuh punggung cowok itu.

Tepat saat itu, matahari dengan gerakan lambat mulai menyembunyikan wujudnya. Sunset. Satu hal yang Alana impikan akan ia saksikan bersama orang yang ia sayang.

"Gue bakal lindungin lo dari Regan," ujar Alfi, "lo nggak perlu takut lagi."

••• A/N •••

pendek ya? biarin ah yang penting update wkwkkwkw. gimana part ini? comment dong🤗🤗🤗

dan sampe part 20 ini, gimana cerita dignitate menurut kalian? dijawab yaa!😅

raden

DIGNITATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang