12 • Genta atau Alfi

266K 26.1K 2.2K
                                    

"Ternyata lo masih betah jadi sampah, ya?"

Kalimat itu Alfi lontarkan menggunakan nada sarkastik khasnya, lantas membuat cowok itu menoleh dan terkejut melihat siapa yang ada di belakangnya.

"Genta?" Regan berucap spontan menyebut nama cowok yang berdiri di sana. Ia lalu turun dari motor dan kini keduanya berdiri saling berhadapan.

"Hidup lo tuh masih aja nggak ada gunanya. Buat apa lo dateng ke sini, yang cuma bikin anak orang nangis histeris?" Alfi bersedekap, menaikan sedikit dagunya. "Abis lo apain dia?"

Regan tertawa sinis. "Ini bukan urusan lo, Bro."

"Pengecut." Alfi tak kalah sinis dari Regan. "Dari dulu lo emang kayak bangsat. Hidup lo nggak jelas. Lo itu parasit, Gan. Kenapa lo nggak coba bunuh diri aja? Nggak bakal ada yang nangisin lo juga kok."

"Gue ngomong baik-baik, tapi lo malas ngegas." Regan tersenyum miring. "Ngajak main halus atau gimana, nih?"

"Kalimat lo nggak ngaruh apapun buat gue." Alfi menggertak giginya. "Mending lo sekarang pergi, sebelom baju putih lo berubah warna jadi merah."

Regan mengusap wajahnya lalu menatap Alfi kembali. "Dengerin gue. Gue ke sini cuma buat jemput Alana. Gue nggak mau berurusan lagi sama lo karna gue capek. Jadi, gue harap lo bersikap biasa aja sama gue karna gue juga udah bersikap biasa aja ke lo."

"Lo mau gue bersikap biasa aja ke lo?" ucap Alfi. "Oke. Kalo gitu, balikin semua fasilitas yang bokap gue kasih ke lo. Hape, ATM, motor, semuanya. Sekarang."

"Nggak bisa gitu dong!" Regan menolak. "Apa yang udah dikasih, nggak boleh dibalikin lagi. Enak aja."

"Nggak tau malu banget," cetus Alfi.

"Udah sih lo mending pulang, pas udah sampe rumah langsung cuci kaki, cuci tangan, makan, belajar, terus bobo." Regan tersenyum sok manis. "Lo kan anak super rajin kesayangan bokap nyokap. Sana pulang."

Ketika Alfi ingin bicara, Regan mengentikan ucapannya. "Gue nanti mau ke rumah lo ah. Mau makan, mau tidur, mau nonton tivi, dan lain-lain."

"Lo nggak ada hak buat ke rumah gue. Lo siapa?" Alfi menatap Regan dengan tatapan merendahkan.

"Itu rumah orang tua gue," balas Regan ketus.

"Lo bilang itu rumah orang tua lo?" Alfi menatap Regan penuh kebencian. "Ngaca, lo itu siapa!"

"Selow, My Bro, gue cum--"

Ucapan Regan terhenti ketika Alfi dengan ganasnya menarik tubuh Regan dan menyeretnya sampai ke luar gerbang sekolah. "Gue nggak sudi sampe lo nginjek kaki di rumah gue! Gue bahkan nggak sudi lo ada di sekolah gue!"

"Genta--"

"Lo pikir lo siapa?" potong Alfi. "Lo bukan siapa-siapa di keluarga gue. Lo cuma orang asing yang nggak ada gunanya. Buat apa lo dateng lagi? Mau minta sedekah? Mau minta duit? Mau minta apaan lagi, hm? Lo nggak punya malu, ya? Lo nggak inget kalimat apa yang lo ucapin ke nyokap gue waktu itu?"

Regan tertawa sinis, tapi secepat kilat tawa itu terhenti oleh karena Alfi yang melanjutkan ucapannya.

"Lo bilang lo nggak mau punya ibu kayak nyokap gue. Lo bilang lo nggak mau jadi bagian dari keluarga Brawijaya lagi. Terus sekarang lo dateng ke sini, ngomong kayak tadi di depan gue." Alfi tersenyum sinis. "Punya otak gak? Di mana lo simpen ilmu-ilmu yang lo dapet selama lo kuliah?"

"Santai aja kenapa sih? Hidup itu dibawa enjoy aja ..." Regan tersenyum senang.

Akibat ucapannya, Regan harus menerima pukulan telak di wajahnya dari Alfi. Regan langsung mundur beberapa langkah ke belakang sambil memegang bagian wajahnya yang ditonjok Alfi.

"Lo itu sampah, Gan. Lo nggak berguna sama sekali. Hidup lo suram, nggak ada setitikpun cahaya yang bakal mampir." Alfi mendekati Regan, lalu meninju wajah cowok itu lagi. "Gue pikir selama ini lo nggak ada kabar karna lo udah mati."

Regan meringis kesakitan. Sudut bibirnya mengeluarkan darah segar yang mengalir sampai ke dagu. Ia memejamkan matanya. Ia ingin menghajar Alfi, tapi adiknya itu terlalu cepat bergerak untuk menghindar.

Dada Alfi naik turun, menahan amarahnya yang semakin meluap seperti gunung berapi yang siap meletus. "Kemana aja lo di waktu Papa sakit?! Lo bahkan nggak ada di deket Papa di detik-detik terakhirnya dia hidup. Lo nggak ada disaat semuanya nangisin kepergian Papa. LO ENGGAK ADA DI WAKTU PAPA MENINGGAL! LO NGGAK ADA DI DEKET MAMA WAKTU MAMA NANGISIN PAPA! LO DI MANA, HAH? LO DIMANA?!"

Sekali lagi, Alfi melepas pukulannya pada rahang Regan. Cowok itu tersungkur di tanah. Ia tak berkutik, kecuali terus-menerus meringis.

"PUKULAN GUE NGGAK AKAN BISA NGURANGIN RASA BENCI GUE KE LO!" teriak Alfi.

Alfi lalu berjongkok berniat mendekati Regan. "Gue juga mau nanya sama lo."

Regan tak bisa berbuat apa-apa. Hantaman di wajahnya berhasil membuatnya lupa akan segala hal, kecuali rasa sakit yang menjalar di muka.

"Ada hubungan apa lo sama Alana?"

Regan tak menjawab, masih mendesah kesakitan akan serangan yang ia terima dari Alfi.

"Gue nanya!" Alfi geram. "Lo abis apain dia, hah?"

Regan meringis lagi dan lagi. Ingin bicarapun rasanya sakit sekali karena kondisi bibirnya yang sudah sobek akibat tonjokan Alfi.

"Punya mulut tuh dipake! Tuhan ngasih lo mulut buat ngomong bukannya diem aja!" gertak Alfi.

Melihat Regan yang memang kesulitan bicara, Alfi pun kembali berdiri. Ia memandang Regan dengan tatapan nyalang, bak seekor singa yang ingin kembali menerkam mangsanya. Tapi, karena Alfi merasa dirinya telah menjadi bahan tontonan banyak orang dan Satpam pun telah berusaha merelai mereka, ia pun memendam amarahnya sedalam mungkin.

Mata tajam Alfi masih mengarah pada Regan. "Gue kasih lo waktu satu menit buat pergi dari sini. Kalo sampe gue balik ke sini dan lo belom pergi, bener-bener gue bakal abisin lo tanpa ampun."

Alfi beranjak dari tempat, secepat mungkin ia berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya. Mood-nya berubah sangat kacau, amarah yang belum ia luapkan seakan-akan masih mengendap di hati dan terasa mengganjal.

"Alfi, lo duluan?" Keenan bertanya saat Alfi melintas di hadapannya dan juga Alana.

Alfi yang tadinya ingin berlalu begitu saja dari hadapan Keenan, kini tiba-tiba memundurkan langkahnya dan berhenti di hadapan sahabatnya tersebut.

"Nan," panggil Alfi, "Lo jangan pulang sebelom Alana bener-bener udah ada di tangan nyokapnya, oke?"

Keenan mengangguk. "Oke, Bos."

"Alfi ..." Alana memanggil dengan pelan.

Alfi meliriknya lalu mengerutkan kening. "Apaan?"

"Makasih, ya." Alana mencoba tersenyum walau ia masih sesenggukan sehabis menangis tadi.

Alfi tidak menjawab dan tidak memberi isyarat semacam 'Ya' dan sejenisnya. Ia malah menatap Alana dalam dan mengintimidasi, kemudian melengos pergi meninggalkan tempat.

••• A/N •••

Gimana part ini? 😅😅😅
jangan lupa vomment yaaa!! thanks😍

p.s. buat yang masih agak bingung ... Genta itu Alfi. masih ingetkan nama lengkap Alfi? 😁😁😁

DIGNITATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang