09 • Kabar Baru

243K 21.8K 1.3K
                                    

Derasnya hujan mengguyur kota Jakarta sejak satu jam yang lalu. Alfi tiduran di kasur dengan laptop yang ada di hadapannya. Seperti biasa, ia sedang menggarap ilmu pengetahuan dari berbagai macam sumber. Bila ia tidak menemukan jawaban di buku, ia akan beralih ke laptop. Selalu seperti itu.

Otaknya terlalu fokus dengan MacBook, hingga suara gemuruh maupun petir tak terdengar olehnya. Alfi juga selalu mencari kesempatan. Ia tidak akan melewatkan informasi terbaru soal SNMPTN, SBMPTN, dan sebagainya. Walau masih duduk di kelas sebelas, bukan berarti Alfi tidak mengikuti news terbaru tentang dunia perkuliahan.

Sejak lama Alfi ingin menjadi seorang Psikolog. Entah mengapa, kebanyakan orang menyimpulkan anak IPS tidak sehebat IPA. Padahal, IPA dan IPS memiliki kemampuan di bidang masing-masing. Bila orang berpikir anak IPS nggak pinter Fisika, maka anak IPA nggak pinter Geografi. Semuanya punya kelemahan dan kelebihan, entah itu di dunia pendidikan maupun di luar dari hal itu.

Tapi, pilihan Alfi ada dua. Psikolog dan Sosiologi. Masalah kampus, Alfi berserah pada SNMPTN. Kalau nilai yang ia capai tinggi dan melewati batas yang sudah ditetapkan, ia bisa memilih universitas secara bebas. Tapi, kalau ia tidak lolos SNMPTN dan harus terlempar ke SBMPTN, mau tak mau ia harus terima apapun universitas yang diberikan. Intinya, Alfi akan berusaha dan berjuang keras untuk keterima di SNMPTN. Karena, biaya kuliah itu sangatlah mahal.

"Alfi?" Suara wanita terdengar dari luar kamar Alfi, disusul ketukan pintu beberapa kali.

Alfi menoleh ke sumber suara dan bergegas bangkit dari kasur. Ia membuka pintu dan bertemu dengan ibunya.

"Makanan buat kamu udah mateng. Makan dulu sana," ucap Viona, ibu Alfi.

Alfi mengangguk. "Kalo PR aku udah kelar, aku langsung ke bawah."

Viona berdecak. "Kamu tuh telat makan terus. Nanti maag, loh."

"Aku daritadi ngemil kok, Ma." Alfi tersenyum tipis. "Bentar lagi PR aku selesai, Mama tungguin aja di bawah, oke?"

"Alfi--"

"Dadah!" Alfi memotong ucapan ibunya seraya menutup kembali pintu kamar.

"Jangan lama-lama!" seru Viona dari luar kamar.

Usai itu, Alfi kembali ke kasur dengan membantingkan diri ke benda empuk itu. Saat Alfi hendak meraih pulpen dan buku tulis yang tergeletak di samping laptop, mendadak ponselnya berdering. Dering itu menandakan adanya panggilan masuk.

Keenan bagong.

Nama itu tertera di layar ponsel Alfi, segera ia terima panggilan teleponnya.

"Apaan," sahut Alfi di telepon.

"Al, gue punya kabar! Ini hot news sepanjang masa, dan gue rasa lo harus tau!!" Keenan berucap heboh, hampir menyerupai teruskan.

"Apaan?"

"Anu," jeda Keenan, "Bentar ye."

Di sana, Keenan sibuk mengutak-atik komputernya sambil menscrolling layar. Entah apa yang sedang ia cari sampai ia begitu heboh dan ingin membagi kehebohannya dengan Alfi.

Lima belas detik kemudian, Keenan kembali bicara di telepon. "Alfi!"

"Apa?!"

"Nih, dengerin gue. Gue pengen ngomong ke lo soal Alana!" Keenan terdengar excited.

"Ngapa ngomongin Alana ke gue, Anjir?" celetuk Alfi.

Keenan tidak menanggapi ucapan Alfi, ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. "Ternyata, Alana itu jomblo, Al! Asik banget kan! Cewek secakep dia jomblo. Hahahahaha!"

"Terus nih ya, Alana itu baru putus tiga bulan yang lalu," ucap Keenan lagi dengan mata yang masih tertuju ke layar komputer, "Dia terakhir pacaran sama cowok."

"Untung normal ye, pacaran sama cowok." Alfi berkata sarkastik.

"Maksud gue dia terakhir pacaran sama anak kuliahan." Keenan meralat. "Lumayan sih, tapi masih gantengan lo, Al."

"Kenapa malah dibandingin sama gue?" Alfi mulai kesal.

"Ternyata dari dulu Alana emang cantik, ya," ujar Keenan terkagum. "Kalo lo mau tau lebih soal Alana, buka aja Twitter-nya at alanacaroline."

"Nggak guna. Buang-buang kuota, buang-buang listrik, buang-buang tenaga buat ngetik dan scrolling," celetuk Alfi, "Niat amat sih lo kepoin dia?"

"Karna gue kasian liat lo ngejomblo terus," ceplos Keenan.

Alis Alfi terangkat satu, "Maksud lo?"

Di sana, Keenan menepuk sekali bibirnya. Ia menahan tawa. "Gak. Nanti gue telepon lagi ya kalo masih ada gratisan. Bye, my bro!"

Alfi menjauhkan ponsel dari telinga kirinya dan memastikan bahwa sambungan telepon sudah benar-benar terputus. Ia meletakkan kembali ponselnya ke nakas dan menghela napas berat.

"Nggak jelas," dengus Alfi.

* * *

Seharian ini Alfi duduk sendirian di kelas. Biasanya Alana ada di sampingnya sebagai pasangan tempat duduknya, tapi, kali ini cewek itu nggak ada. Alfi sempat mengira Alana pindah tempat duduk karena nggak betah duduk denganny. Tapi, ternyata Alana memang tidak masuk sekolah. Entah apa keterangannya, sakit atau izin, intinya Alfi tidak peduli.

"Gea!" Bevan memanggil Gea si sekretaris kelas. Suara Bevan membuat Alfi menoleh sekilas ke arahnya, yang kebetulan duduk tepat di depan meja Alana. "Gue baru dikabarin walas, katanya Alana sakit. Dia demam."

Mendengar nama Alana disebut, Alfi menoleh lagi ke arah Bevan, namun tidak lama karena cowok itu cepat sekali memindah-pindahkan arah pandangnya.

Gara-gara kemarin kena sial terus di sekolah, sekarang dia sakit?, pikir Alfi, Lemah amat.

"Alana sakit?!" Keenan yang duduk di depan Bevan, tiba-tiba bertanya. "Kenapa sakit?!!"

"Mana gue tau," jawab Bevan, "Padahal kemaren keliatannya baik-baik aja ya."

"Tapikan kemaren dia pingsan di lapangan," sahut Dira.

"Iya, Alana kan pingsan kemaren!" Natasha ikutN nimbrung.

"Pingsan boongan," celetuk Alfi, ketus.

"Boongan?!" Natasha memekik.

"Lo berisik amat sih!" Alfi ngamuk. "Keluar sono lo dari kelas. Pusing gue denger suara lo, nggak ada enaknya didenger, yang ada cuma bikin pengang."

"Alfi!" Rana, selaku teman Natasha, menegur Alfi.

"Apa?" Alfi berujar nyolot.

"Al, jenguk Alana yuk nanti!" Keenan mengajak dan tentunya diberi respon negatif dari Alfi.

"Gak. Lo aja," ucap Alfi.

"Gue kan nggak tau rumahnya dia. Kan lo yang suka anterin dia pulang." Keenan tersenyum jahil. Ia merasa Alfi kena skak dari kalimatnya.

"Gue kasih alamatnya aja, tapi gue nggak ikut," kata Alfi.

"Lo tau sendiri gue suka keder kalo disuruh nyari alamat ..." Keenan memelas. "Lo ikut aja, ya? Oke?"

"Nggak." Alfi melotot lagi.

"OKE!" Keenan pun bersorak girang sambil meninju udara, pura-pura tidak mendengar Alfi yang menolak ajakannya.

DIGNITATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang