13 • Papa

293K 25K 1.2K
                                    

Alfi melajukan motornya di jalan raya yang padat dengan kecepatan sedang. Ia menajamkan pandangannya pada semua benda yang ada di hadapannya. Derum motornya seakan menjadi satu hal yang membuat banyak orang memberi perhatian singkat padanya.

Sebenarnya ia masih ingin melampiaskan rasa kesalnya pada Regan. Alfi sendiri tak habis pikir, kenapa Regan kembali lagi setelah tiga tahun menghilang.

Bangsat!, Alfi membatin dengan kasar, menandakan amarahnya masih belum padam. Ia pikir, kakaknya itu tidak akan kembali lagi dan tidak akan mengundang gelap di hidupnya. Alfi pikir cowok brengsek itu sudah mati. Sebaik-baiknya Alfi, kalau seseorang sudah berlaku melewati batas terhadapnya, kebencian itu tidak akan pernah padam padanya.

Alfi membelokkan motornya ke kiri, ke jalan yang bukan menuju rumahnya. Ia rasanya ingin sekali meredamkan emosi yang masih meluap-luap. Dan hanya ada satu tempat yang bisa membuat hatinya terasa tentram. Tempat di mana ia biasanya melepas rasa rindu terhadap sosok ayah.

* * *

Alana masih tercenung setelah apa yang terjadi di depan gerbang sekolah tadi. Perkelahian antar dua cowok super galak melawan cowok bajingan yang levelnya nggak jauh beda dari sampah. Alana berdecak ringan.

"Alfi serem banget ya tadi," ucapnya pada Keenan yang masih setia menemaninya sampa ibunya Alana datang. "Gue nggak sempet kepikiran bakal ada kejadian kayak tadi."

Keenan mengangguk. "Alfi emang begitu. Serem."

"Tapi ganteng." Alana senyum-senyum sendiri. "Hehe."

Mendengar itu, Keenan tertawa. "Tadi nangis, sekarang cengar-cengir. Gak konsisten lo ah."

"Masa gue harus nangis terus?" Alana cemberut. "Lagian gue ngerasa lega pas liat Regan dibikin babak belur sama Alfi."

"Emangnya Regan siapa lo sih?" tanya Keenan yang rasa penasarannya belum terbayar.

"Dia itu--"

"OH GUE TAU!" Keenan memekik, ketika sebuah ingatan muncul di benaknya. Ia menatap Alana dengan mata penuh selidik, "Dia mantan lo, kan? Iya kan?! Pasti iya!"

Alana melotot kaget. "Apaan sih! Tau dari mana lo?"

"Ada deh." Keenan nyengir. "Bener kan mantan lo? Yang anak kuliahan itu?"

"Ish, nggak!"

"Masa mantan nggak dianggep. Parah banget," canda Keenan.

"Ngapain orang kayak gitu masih dipikirin." Alana memindahkan pandangannya ke arah lain.

"Seenggaknya, kalian pernah bahagia bareng. Pernah saling sayang, saling suka, saling cinta. Nggak boleh gitu sama mantan." Keenan terkekeh, merasa geli dengan ucapannya sendiri.

"Ish, nggak mau ngomongin dia ah!" Alana kesal, tapi kesalnya malah bikin Keenan pengin ketawa terbahak-bahak. Bagi Keenan, Alana lucu.

Alana manyun, menunggu Keenan berhenti menertawakan dirinya. Sampai akhirnya, Keenan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan berhenti tertawa.

"Lo sama Alfi temenan dari kapan, sih?" tanya Alana, kepo.

"Dari SD. Dari tampangnya Alfi masih kayak bocah idiot yang nggak ada ekspresi. Dari dia masih lugu, masih pendiem banget. Tapi pas SMP, dia mulai galak. Mulai tempramen. Terus sekarang, lo bisa liat dia gimana." Keenan mengukir sebuah senyuman. "Tapi, dia baik kok. Nggak pelit sama apa yang dia punya. Kecuali soal pelajaran, dia bakal pelit sepelit-pelitnya orang pelit. Dia nggak mau orang ngandelin jawaban dia. Dia itu semacem manusia yang pengen semua orang bisa pinter dan nggak males."

"Wow." Alana mangap. "Keren, ya?"

Keenan mengangguk.

"Dia punya pacar nggak?" tanya Alana lagi.

Kali ini Keenan menggeleng. "Boro-boro pacar. Gebetan aja nggak ada! Dia tuh terlalu males ngurusin cewek."

"Padahal dia ganteng." Alana kesemsem. Ia cengar-cengir sendiri lagi. "Gemesin, lagi. Tapi, galak setengah modar."

"Pernah ada satu cewek yang nyoba deketin Alfi, tapi, gagal." Keenan tertawa lagi dan lagi. "Lo tau Natasha, kan?"

"Natasha pernah deketin Alfi?" ucap Alana, meyakinkan.

Keenan menganggukan kepala. "Iya, pernah. Waktu kelas sepuluh. Dia naskir banget sama Alfi, sampe pernah dia minta tolong ke gue buat jadi Mak Comblangnya. Tapi, sebelom Natasha ungkapin perasaannya ke Alfi, Alfi udah nolak dia."

"Ih, Alfi jahat banget." Alana berucap serius, sedangkan Keenan terbahak keras.

"Makanya sampe sekarang Alfi bawaannya marah-marah mulu kan sama Natasha?" Keenan tersenyum setengah. "Padahal dulu, pas kenaikan kelas, Alfi kira dia bakal pisah kelas sama Natasha. Tau nya, mereka malah satu kelas. Hahahaha!"

"Kasian tau Natasha-nya ..." ucap Alana. "Alfi nggak punya perasaan banget, sih."

"Alfi mah nggak pernah mikir orang bakal sakit hati atau nggak sama omongannya. Dia terlalu ceplas-ceplos." Keenan menggeleng samar. "Tapi, gue udah kebal sama sifat dia."

"Lo nggak bosen bertahun-tahun main sama Alfi terus? Berduaan doang, lagi."

"Bosen sih enggak. Gue selama ini enjoy temenan sama dia." Keenan tersenyum segaris, muka konyolnya jadi keliatan kalem.

Tak berapa lama dari itu, mobil sedan milik ibunya Alana datang dan berhenti di depan gerbang. Alana segera bangkit dari tempat duduk dan pamit pada Keenan.

"Nan, gue pulang, ya. Makasih udah mau nemenin." Alana berucap dengan manis, dan Keenan membalasnya dengan anggukan.

Alana pun berlalu meninggalkan Keenan. Tapi, jantungnya seketika terasa berhenti bekerja saat Keenan berkata,

"By the way, mantan lo itu kakaknya Alfi."

* * *

Alfi melirik jam hitam yang melingkar di tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah lima menit yang lalu Alfi tiba di depan pemakaman. Ia meninggalkan motornya di depan pintu masuk, lalu ia berjalan sendirian ke dalam tempat pemakaman itu.

Alfi tidak merasa ngeri, tidak merinding juga. Ia jalan santai, sampai ia bertemu dengan seorang penjaga makam. Ia tersenyum tipis pada orang tua itu dan dibalas juga dengan senyuman.

Beberapa saat setelahnya, Alfi tiba di dekat sebuah makam yang sudah tertata rapi dengan rerumputan pendek yang berwarna hijau segar. Alfi berjongkok, menatap nisan yang mengukirkan nama ayahnya.

"Pa," gumam Alfi, seraya ia mengelus halus permukaan nisan tersebut. "Maaf, Alfi baru dateng sekarang."

Alfi tertunduk sedikit, merasa bersalah sebab sudah hampir tiga minggu ia tak berkunjung ke makam ayahnya oleh karena hari-harinya yang selalu dipenuhi oleh tugas, tugas, dan tugas. Alfi kembali menatap nisan itu dan tersenyum.

"Alfi kangen Papa."

Dan sekarang, yang Alfi rasakan adalah kedamaian, bukan lagi kebencian.

DIGNITATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang