18 - Berharap Pada Manusia

10.1K 65 7
                                    

Hujan tampaknya belum ingin mengguyur atap Kafe Dhuha hingga hari terakhir di bulan Oktober

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan tampaknya belum ingin mengguyur atap Kafe Dhuha hingga hari terakhir di bulan Oktober. Cuaca terasa sangat panas di luar. Frans yang melihat Camelia sedang beristirahat di kursi taman kecil di belakang lantas ikut bergabung. Ia membawa dua skop es krim dengan cone berwarna merah jambu. "Buat kamu," katanya pada gadis itu.

Dengan senang hati Camelia menerimanya. Wajah putihnya terlihat berseri.

"Makasih," ucap Camelia.

Ekor mata Frans menangkap sesuatu yang membuat gadis di hadapannya lebih berseri. Senyum semu yang ia lihat di wajah Camelia selama ini terlihat merekah, bak bunga di taman. Frans lantas duduk di bangku kayu di seberang Camelia. "Andai aku tahu apa yang bikin kamu bisa tersenyum kaya itu," sindir Frans. Camelia pasti tidak akan menceritakan perasaannya dengan jelas, jadi Frans tidak akan meminta.

Namun, Camelia kembali tersenyum. Kejadian beberapa hari yang lalu membuatnya begitu bahagia. Kejutan kecil dari Singgih, rasa damai yang ia rasakan di antara kedua orang tuanya ... serta kata-kata penutup sebelum dirinya tidur waktu itu membuat Camelia tersadar. Singgih mulai menyusup dalam hatinya.

"Aku senang bisa tinggal di Malang," ujar Camelia. Ia lantas mendongak, menatap langit yang tidak bertepi. Gumpalan awan putih menutupi matahari di atasnya sehingga ia tidak perlu memicingkan mata terlalu kuat. "Banyak hal yang aku dapat dari sini."

Frans mengangguk-angguk. "Ya, aku lihat kamu banyak berubah."

Camelia menoleh. "Perubahan itu indah."

"Ini semua karena Bang Singgih, kan?" Ragu, Camelia bergeming. Frans lantas tersenyum samar. Kekecewaan menyumbat saluran napasnya. "Aku dengar kamu ikutan dalam keributan di resepsi nikah temen Bang Singgih?" Frans mengonfirmasi.

"Iya," sahut Camelia. "Tahu dari siapa?"

Terkekeh, Frans lalu menjawab, "Niko kan temen kakakku, Mel." Camelia mengangguk-angguk pelan. Tentu saja. Lusi adalah kakak Frans, berarti dia juga tahu tentang Niko dan tingkah lakunya itu. "Niko memang pantas dihajar, sih," ujar Frans, "tapi, apa yang Niko bilang juga ada benernya."

Seketika Camelia tertegun. Waktu itu Niko membuat darah Singgih mendidih hingga memberanikan diri menghantam wajahnya. Semua yang Niko ucapkan tidak lebih dari ucapan orang tak punya pemikiran bagi Camelia. Namun, pernyataan Frans barusan membuat jiwanya meragu.

"Kakakku pun butuh kepastian," ujar Frans. "Andai Bang Singgih enggak memberikan kakakku harapan, dia pasti enggak akan sekecewa ini."

Lalu Camelia dikembalikan ke titik itu. Di mana ia bilang kepada Niko tentang harapannya yang patah lalu menyalahkan orang lain. Andai Frans mendengarnya, Camelia ragu kalau ia akan setuju. "Tapi, apa semua harapan harus terkabul?"

Frans menatap kedua kakinya. "Enggak," timpalnya, "tapi, setidaknya harapan itu enggak perlu disiram dan dipupuk sampai tumbuh tinggi kalau hanya untuk dirobohkan."

Kafe DhuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang