7 | Video Call

223 12 1
                                    

"Raeka makan dulu." Terlihat kepala ibu di ambang pintu kamar membuatku meletakkan ponsel dan berjalan mengikuti ibu ke ruang makan. Ayah sudah duduk di meja makan, sementara Revan juga baru duduk ketika aku datang. Aku duduk di kursi kosong di sebelah adikku. Kami makan dalam diam, ayah tidak suka jika ada yang bersuara saat makan. Baru setelah makan ayah biasanya akan bertanya tentang kegiatanku dan Revan.

"Gimana ranking kamu, Van?" tanya ayah setelah menghabiskan segelas air mineralnya.

"Ranking 1 dong, Yah. Beliin sepatu baru ya?"

Aku hanya mendengus mendengar permintaan Revan. Dia selalu meminta sesuatu kalau rankingnya masuk 3 besar. Coba aku dulu seperti Revan, untung banyak dari dulu. Ayah awalnya memang tidak mengiyakan, tapi ketika Revan terus merengek pasti ayah akan menurutinya.

"Iri aja sih lo. Emang lo ranking berapa?" tanya Revan yang mendengar dengusanku.

"Ranking kamu bagaimana, Ka?" tanya ayah juga.

"Belum tahu, Yah. Kan baru besok ambil raportnya."

"Kakak kan gak pernah ranking satu Yah kalau di smasa," ejek Revan dilanjutkan tawa mengejeknya. Aku yang kesal melempar tempat tisu ke arah Revan dan langsung mendapat teguran dari ayah.

"Besok rasain kalau lo masuk smasa juga," ancamku. Memangnya dia pikir mudah bersaing di sekolah favorite.

Revan menjulurkan lidahnya dan terus mengejekku. "Kemarin aja gak bisa dapet ranking satu apalagi sekarang udah main pacaran aja." Ayah yang tadi sibuk dengan kopinya, mengarahkan tatapannya padaku.

Sialan memang mulut Revan. Aku tidak suka mengungkit masalah cowok dan pacar di depan kedua orangtuaku. Meskipun ayah maupun ibu jelas tidak mengeluarkan larangan tentang pacaran, tetap saja rasanya canggung bagiku jika membahas hal itu.

"Apa'an? Pacaran sama siapa?" kilahku. Lagi pula informasi dari mana itu Revan bilang aku pacaran.

"Lah itu yang sering nganterin lo pulang siapa? Tukang ojek?"

"Iya, Eka. Pacar kamu ya itu? Anak mana?" tanya Ibu ikut-ikutan Revan.

"Ibu kok ikut-ikutan Revan sih!" rajukku.

"Ayah juga lihat kamu sering dianter sama cowok itu. Masak gak mau dikenalin sih?"

"Astaga Ayah." Aku tidak tahu lagi bagaimana wajahku sekarang, aku merasa wajahku sangat panas sekarang. Aku tidak mengira jika ayah dan ibu akan bereaksi seperti ini. Karena ayah, ibu, dan Revan tidak berhenti menggodaku akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar tanpa menghiraukan lagi suara tertawa di ruang makan.

***

Irvin : Btw, kamu ikutan funcamp gabungan?

Me : Iya

Pertanyaan Irvin membuatku ingat bahwa aku belum bilang pada ayah kalau aku akan ikut funcamp itu. Aku bukan orang yang memilih camping untuk menghabiskan sisa liburan, aku akan lebih memilih mendekam di kamar menghabiskan bacaan novel yang baru saja aku beli. Semuanya adalah ulah Winni yang mendaftarkan kami semua untuk ikut funcamp itu. Iya kami semua. Aku, Nanda, Winni, Raly, Dilah, dan Tika. Winni adalah salau satu anggota pencinta alam dan setiap anggota di pencinta alam diwajibkan mencari teman mereka yang ingin mengikuti funcamp. Mungkin Winni tidak mengerti kata 'ingin' dan langsung mendaftarkan kami semua untuk ikut.

Tadinya kami semua langsung menolak, tapi ternyata Winni sudah menyiapkan berbagai alasan agar kami menyetujuinya seperti, "Ini funcamp gabungan. Gue udah nerima list beberapa orang yang ikutan funcamp ini dari berbagai sekolah. Ada gebetan si Dilah, Raly, sama Raeka. Tempat funcamp nya deket sama kampus pacar si Nanda. Ayolah ikutan. Bantuin gue kek biar gue kelihatan aktif di pecinta alam."

Aku sih tidak peduli pada orang yang dimaksud Winni adalah gebetan karena aku sama sekali tidak merasa punya gebetan. Aku sudah sampai tahap dimana aku lelah dengan Sadam. Karena yang lain juga memaksa, akhirnya aku ikut juga.

Deringan ponsel mengalihkan dari pikiran tentang funcamp. Layar ponselku menunjukkan adanya video call dari Irvin. Ngapain dia pakek vidcall? Aku memencet tombol hijau menerimanya. Terlihat wajah Irvin dengan latar belakang meja belajar.

"Raeka," sapanya.

"Apa?" tanyaku sambil tiduran di kasur.

"Kamu beneran ikut funcamp?" tanyanya dengan nada yang sedikit heran karena aku mengikuti kegiatan itu.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Tapi kayaknya kamu gak suka hal-hal kayak gitu deh," ujar Irvin dengan dahi berkerut seolah berpikir keras. Sedangkan aku hanya mendengus mendengar ucapan Irvin yang tepat sekali.

"Terpaksa," ujarku sebal.

"Terus kenapa ikut kalau terpaksa?"

"Irvin saya masih suka sebel ya kalau ditanya masalah funcamp itu. Lagi pula kamu vidcall saya hanya untuk bertanya itu?"

"Memang kamu maunya saya nanya apa?" tanya Irvin dengan seringaian di wajahnya. "Nanti aja sayang-sayangannya kalau udah pacaran," ujar Irvin ngaco. Aku hanya mendengus dan menutup kamera dengan tanganku.

"Kok ditutup sih Ka?" protes Irvin karena kameranya aku tutupi. "Saya kan mau lihat kamu," tambah Irvin.

"Udah ya saya matiin."

"Eh tunggu dulu," sergah Irvin. "Buka dulu kameranya Raeka."

Aku mengalihkan tanganku dari kamera depan ponselku sehingga Irvin bisa melihatku lagi. "Gitu kan kelihatan cantiknya."

"Matiin nih ya?" ancamku.

"Eh jangan, jangan. Galak banget sih. Jadi kenapa kamu terpaksa ikut funcamp?"

"Dipaksa Winni," ujarku. Tidak peduli apakah dia ingat pada Winni atau tidak. "Kalau gak dipaksa yang lain juga saya gak mau ikut. Pasti capek. Lebih baik saya baca novel aja di kamar."

"Yaudah bawa aja novelnya. Kan bisa dibaca di sana. Sekali-kali baca novelnya di hutan. Lagian acaranya pasti seru, apalagi saya juga ikutan funcamp," ujar Irvin sambil tersenyum lebar.

"Gue kasi tahu, Ka. Dia baru daftar tadi waktu tahu lo juga ikutan funcamp." Terdengar suara orang lain yang tedengar. Sepertinya suara Fahmi. Irvin juga terlihat menatap tajam ke arah depannya.

"Jangan dengerin Fahmi."

"Lama-lama kalian berdua kayak homo ya. Selalu berdua," ucapku mengutarakan pikiran tentang Irvin dan Fahmi.

Irvin melotot padaku, sedangkan aku mendengar suara tersedak, mungkin itu suara Fahmi.

"Enak aja, gue normal tahu, Ka." Tiba-tiba terlihat Fahmi di layar ponselku. Tapi Irvin mendorong wajah Fahmi menjauh dari ponselnya.

"I'm straight, Raeka. Lagian saya kan suka sa ...."

Ceklek. Suara pintu kamarku yang terbuka tiba-tiba membuatku langsung mematikan sambungan vidcall dengan Irvin. Terlihat Revan yang masuk ke kamarku.

"Ngomong sama siapa lo, Kak?"

"Ngapain lo masuk kamar gue sih!" ujarku tidak suka.

"Ajarin ini," ujarnya sambil memperlihatkan buku cetaknya.

Suara dering ponsel di tangan mengalihkan perhatianku sebentar dari Revan.

Irvin : Kok dimatiin sih Ka? Kan belom bilang nice dream tadi. 😆😆 Saya juga belum selesai bilang kalau saya kan suka sama kamu 😌😌

Irvin : Yaudah deh gakpapa. Good nite. Jangan lupa mimpiin saya ya

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membaca pesan dari Irvin. Aku memegangi dadaku, jantungku rasanya mau meledak. Astaga, Irvin bisa bilang seperti itu dengan gampangnya. Kalau aku ge-er gimana?

Gak. Gak. Aku menggelengkan kepalaku. Irvin pasti hanya mengerjaiku karena aku sudah menyebutnya homo.

"Makin takut gue liat lo senyum sendiri gitu Kak. Geleng-geleng kepala lagi."

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang