Drunken Guy

3.4K 178 49
                                    

Hari ini harusnya aku sudah berada di Paris. Menikmati salju terakhir yang turun di kota itu. Namun aku disini. Di negara tropis tempatku dilahirkan, dengan suhu panas yang seakan membakar tubuhku namun terkadang kurindukan. Terkurung di rumah lamaku hanya untuk menjaga rumah ini saat pengatin baru itu menikah.

Entah apa yang Tante Nabila pikirnya dengan menikah di usia 48 tahun. Tapi melihat Om Glen yang tampak sangat menyayangi Tante Nabila, aku bisa apa? mengigit jari karena kemesraan mereka tentu saja.

Untung mereka tak mengadakan malam pertama disini. Sudah kupastikan rumah ini terbakar bahkan sebelum bunyi bedug magrib berbunyi. Enak saja meninggalkan keponakannya yang single ini hanya untuk menjaga rumah.

Tapi nyatanya menjaga rumah ini sendirian tetap terasa membosankan. Menonton film action kesukaankupun sama sekali tidak mampu membunuh kesunyian ini.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Tak terasa hari sudah berganti lagi. Matakupun mulai sayu. Ah, Aku butuh tidur.

Tok... tok... tok...

Siapa yang bertamu di malam hari seperti ini?

Tok... tok... tok...

Bunyi ketukannya makin keras membuatku beranjak dari sofa tempatku tidur menuju ke asal suara itu.

Aku mengintip dibalik jendela kaca itu. Sedikit menyingkap gorden rumah itu. Namun karena lampu depan rumah belum diperbaiki Tante Nabila, aku tidak melihat tamu itu dengan jelas.

Bisa saja dia rampok kan?

Tok... tok...  tok...

"Cassandra. "

N-namaku disebut. Tapi suara itu? ah, tidak mungkin dia kan?

"Cassandra, buka. "

Suara itu terdengar berat dan memelas. Apa harus kubuka?

Aku menarik napas panjang sebelum membuka pintu itu. Namun saat pintu itu terbuka sosok jangkung itu berdiri tepat didepanku menatapku dengan sorot mata sayunya.

"V-vino. " aku tergagap menyebut namanya.

Pria itu menatapku sekali lagi dan kemudian mulai mengambil satu langkah mendekatiku. Tidak... ini tidak benar.

"Apa yang kamu lakukan disini?" aku menarik satu pertanyaan paling melekat di otakku saat ini. Untuk apa seorang Alvino mengunjungi rumahku di jam 2 dini hari?

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatapku lagi. Lebih dalam dari tatapannya sebelumnya. Entah mengapa aku melihat ia terluka saat ini.

"Apa kamu bahagia?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya.

Tapi... apa harus ku jawab?

Apa aku bahagia saat ini?

Aku punya uang yang cukup membiayai hidupku, kini aku bisa bepergian kemanapun dengan uangku sendiri dan tanpa seorangpun melarangku, aku bebas melakukan apapun yang kumau.

Tapi apa itu syarat untuk masuk kategori bahagia?

"Aku bahagia." aku menggigit bibirku setelah menjawab pertanyaannya.

Dia terkekeh, aku pikir pria itu sudah gila.

"Vino, keluar dari rumahku. Tidak enak dilihat tetangga. " aku terus berceloteh sementara pria itu seakan tidak menghiraukanku.

"Apa hanya aku yang hidup tak bahagia selama ini?" racau pria itu menghentikan celotehanku.

Pria itu tertawa renyah. Seakan topik yang ia bahas sangat lucu untuk dijadikan guyonan.

"Vino!" aku meneriaki namanya saat ia dengan tidak sopannya muali berjalan semakin masuk ke dalam rumahku.

Ia berjalan menuju dapur dan menatap tempelan kertas di dinding kulkas. "Kamu masih sangat pelupa ternyata."

Ucapannya membuatku menaikkan alisku. Aku tak tahu seorang Alvino yang terkenal masa bodoh bisa mengingat kebiasaan kecilku menulis catatan di dinding kulkas.

Terlalu lama berkutat dengan pikiranku membuatku lupa bahwa pria itu kini sudah mengacak-acak isi kulkasku. "Aku lapar, mengapa isi kulkas ini hanya sayur dan air?" gerutu pria itu.

"Kalau kau lapar pulanglah ke rumahmu! jangan disini. Kamu tidak diundang disini!" aku mulai menarik tubuh pria itu keluar dari rumah ini.

Pria itu tidak melawan tapi tetap saja susah menarik tubuh besar pria itu menjauh dari dapur dan tentunya rumahku.

"Ini rumahku. Dimanapun ada kamu, disitu rumahku. Kamu--"

Aku menyentak tubuh pria itu yang sedari tadi ku tarik. Aku muak mendengar ia berkata seperti ini. Aku benar-benar muak mendengar semua omong kosongnya.

"Berhenti berbicara soal omong kosong, Vino!" teriakku.

Vino terlihat terkejut. Selanjutnya pria itu malah berjalan semakin mendekat ke arahku.

Menarik daguku dan mencium bibirku dengan kasarnya. Aku terus berusaha melepaskan diri darinya namun pria itu lebih kuat dariku. Ia terus menciumku hingga aku bahkan bisa mencium bau alkohol yang menguar dari napasnya.

"Dia ini mabuk," bisikku dalam hati. Dan alarm bahaya mulai berdenging di telingaku.

Aku mendorong dadanya agar ia menjauh dariku tapi pria itu malah mendorong tubuhku hingga kami terjatuh di sofa yang terletak di belakangku.

Ia menciumku lagi. Leherku pun kini menjadi bagian dari permainannya. Sial! Aku yakin besok itu akan berbekas.

Pria itu berhenti. Hingga aku hanya bisa pasrah dan menutup mataku membiarkan pria itu beraksi. Nyatanya aku juga merindukan sentuhan pria itu.

Tapi selang beberapa menit aku mendengar suara dengkuran halus yang membuat mataku secara otomatis terbuka.

Pria itu tertidur.

Dan lihatlah tangannya memeluk erat tubuhku. Kakinya pun juga ia kaitkan ditubuhku seakan aku adalah gulingnya. Melihat wajahnya yang damai membuatku lupa bahwa pria ini tadi menerobos masuk ke rumahku dan menciumku dengan paksa.

Sial, aku tidak bisa bergerak.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 01, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CassandraWhere stories live. Discover now