18. Terulang.

398K 25.1K 3.5K
                                    

"Aku tak apa jika kehilanganmu, asalkan kamu jangan kehilangan dia. Biar aku saja yang sakit, kamu jangan."

Pagi dengan kicauan burung camar menyambut penduduk bumi untuk memulai aktifitasnya hari ini. Bela keluar dari kamar dengan setelan baju sekolah yang sudah lengkap. Dibawah seperti biasa Momma dan Papanya sudah menunggu dengan sarapan yang tertata rapi di atas meja makan. Tadi perut Bela sempat berbunyi karena kelaparan. Kemarin ia tidak makan malam karena kehilangan mood. Terakhir ia memakan roti yang dibayarkan Dalvin untuknya, tapi hanya sedikit, itupun karena Laskar memaksa Bela untuk memakan roti tersebut.

Berbicara mengenai Laskar, ternyata tabiat cowok itu tidak jauh berbeda dengan Dalvin. Wajar saja, yang dua itu kan saudara sepupu. Mereka sama-sama menyebalkan di awal dan baik pada akhirnya. Perbedaannya, Dalvin lebih sedikit menjaga image sedangkan Laskar tidak. Cowok itu lebih parah dari Dalvin, tepatnya bisa dikatakan 'tak punya malu'. Kemarin saja Laskar ikut menghabiskan roti bagian Dalvin. Ia ikut makan di hadapan Bela tanpa rasa sungkan. "Ini adek gue yang bayar kan? Gapapa kalo gue yang abisin." Begitu katanya lalu melahap roti keju itu dengan cepat.

Bela mengerjapkan mata, menghapus fikirannya tentang Dalvin dan Laskar. Baru satu detik Bela melepaskan bokong di atas kursi, suara klakson motor di depan rumah mencuri perhatiannya.

"Siapa sih pagi-pagi?" Gerutu Bela memandang penuh tanya Mommanya yang kini hanya mengangkat bahu.

"Mungkin tetangga." Papa menyahut. Bela mengangguk-ngangguk kemudian mengangkat gelas susu dan meminumnya.

Suara klakson motor tadi hanya hilang sejenak dan kembali terdengar brutal. "Kayaknya di depan rumah deh Pah." Bela berkata pada Papanya, "soalnya suaranya keras."

"Coba kamu cek dulu sana, mungkin aja temen kamu sayang." Momma menimpali. Tapi benar juga, siapa tahu Dalvin datang menjemput Bela? Hanya menebak saja, tidak berharap lebih.

Bela mendorong kursi kebelakang lalu berdiri dan melangkah keluar rumah. Cewek itu menyembulkan kepala dibalik pintu melihat keadaan di luar. Halaman rumahnya sepi, diluar terdapat seseorang dengan motor besar yang membunyikan klakson terus menerus. Alis Bela menyatu, ia akhirnya keluar seutuhnya dari rumah dan berjalan pelan menuju gerbang karena penasaran.

Sesekali Bela memicing disaat seseorang dengan motor besar itu menatap kearahnya. Sialnya wajah orang itu tertutup helm. Bela berhenti melangkah. Baju yang digunakan orang bermotor besar tersebut sama seperti seragam sekolahnya. Orang itu mengangkat helm yang ada di kepalanya. Rambut panjangnya terurai. Mata Bela melotot tak percaya.

"Woi Bela! Tuli lo ya? Gue klakson dari tadi nggak keluar keluar. Gerbang kekonci onta."

Entah Bela harus marah atau menangis. Ia ingin memeluk sekaligus menyumpal bibir Nanda sekarang juga. Kakinya yang belum memakai sepatu langsung berlari menuju gerbang, membukanya dengan kunci yang ia miliki. Setelah terdengar suara dari gembok yang terbuka Bela segera menarik gerbang tersebut dan keluar. Tanpa aba-aba Bela dengan cepat memeluk Nanda erat.

"Lo kemana aja?" Tanya Bela haru masih memeluk Nanda erat sedangkan Nanda berusaha melonggarkan pelukan Bela di lehernya.

"L-o Ma-u Bu-nuh Gu-e?" Sahut Nanda terbata-bata. Bela segera melepas pelukannya kemudian menyunggingkan senyum tanpa dosa. Sudut mata Bela berair.

"Mewek lo?" Nanda terkekeh.

"Iyalah, lo ninggalin lama banget. Kemana aja?"

Nanda turun dari motornya yang sudah sejak tadi terpasang standard. "Gue pergi bertapa kerumah nenek gue. Mengusir ingatan-ingatan kelam tentang jos gandos."

Dear Heart, Why Him?[Completed]Where stories live. Discover now