Chapter 6 Part 3

1K 102 8
                                    

"Aku tidak! Papa, percayalah!" tukas Ryu cepat.

Sinar mentari menembus kaca jendela ruang Direktur Kepala Sekolah. Langit cerah, tapi kegusaran belum pindah. Ryu marah. Marah sekali. Tapi ia tak bisa melakukan apa-apa selain membela diri.

"Ini pasti akal-akalan Haruka."

Ayah Ryu, sekaligus Direktur Kepala Sekolah di sini, mengeraskan rahangnya sambil berucap kesal, "ada satu hal yang tak pernah kau tahu tentang Yakuza," katanya.

Ryu mengangkat wajah dan melihat raut marah campur kecewa itu, tanpa berucap.

"Mereka adalah pembohong hebat. Itu."

Leher Ryu meringsut, "tapi aku... Haruka seharusnya tidak begitu, dia hanya ingin balas dendam padaku, aku tahu itu," jelas Ryu dengan nada memohon. Kejelekan Yakuza memang sudah tersebar luas dikalangan keluarga Ryu. Tapi kejelekan Haruka? Apa dia juga harus mengakui kalau ia mencintai gadis jahat seperti itu?

"Kau... anak bodoh," sahut pria itu.

Ryu menunduk, terlalu berat untuk menghadapi masalah yang semakin bertumpuk-tumpuk ini.

"Kalau aku tahu sedari awal dia adalah putri Yakuza, aku... tidak akan berani menerima ciumannya."

Pria di sebrang meja sana mendelik dan melempar tatapan tanya, "apa? Ciuman?"

Mata Ryu menatap lelah ke meja di depannya sambil pikirannya bergerak mundur, "ya, dia yang menyatakan duluan padaku, lalu aku... dengan mudahnya terpikat."

Mulut ayah Ryu menganga, "dia..." ia menghempaskan punggung ke kursi besarnya sambil menghembuskan napas.

Sementara hening mulai mengguyur, dan Ryu terlalu sibuk merenungi semuanya, ayah Ryu berdecak, "kau tahu, cinta memang buta, tapi Yakuza? Dia selalu melihat. Kalau Haruka memang ingin balas dendam, maka berhati-hatilah, keluarga Otosaka, akan berada dalam ancamannya."

Ryu mengangkat wajah, "tidak. Tidak mungkin Haruka setega itu. Dia mencintaiku, dan aku..." jeda sejenak yang membuat tenggorokan Ryu sakit, "juga mencintainya."

Dada Ryu beringsut. Napas kacau singgah dalam hatinya, dan ia tak bisa merasakan tubuhnya. Ia membeku. Ia membeku dengan semua pernyataan yang simpang siur di dalam hatinya ketika luka darah mulai mengalir tak terlihat di dalam tubuhnya.

Haruka tak mungkin melakukan itu. Tak mungkin.

***

Di ruangan besar bercahaya redup itu, Haruka baru saja mengatakan hal yang sejujurnya pada pria bertangan besar di depannya.

"Ryu Otosaka, ya?" suara beratnya menguar seram ke seluruh ruangan. Ada cerutu besar terselip di antara bibirnya dengan asap mengepul di udara.

"Ayahnya adalah Direktur Kepala Sekolah," tambah Haruka.

Pria itu mengangguk lagi sambil menghisap cerutunya, lalu menghembuskan gumpalan asap biru dari mulutnya, "Otosaka. Ah, teman sekolahku, dulu."

Mata Haruka mengerling, "baguslah. Kalian saling kenal, dengan begitu aku tak perlu susah-susah membantumu mencari keberadaannya, kan?"

Ayah Haruka berjalan perlahan mendekati putrinya, "kekayaannya tak terbatas, kau tahu?"

Haruka mengangkat alis, "ya, Ryu memang sangat kaya dan juga pintar, tapi dia... tidak mau mencintaiku selamanya dan itu... menyakitkan," suaranya yang meninggi lama-kelamaan berubah parau.

"Haruka sayang, tenang saja, ayah tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi."

"Tapi... ayah..." Haruka mendekat dan sedikit berbisik, ia hampir tercekat, "jangan bunuh dia..." suaranya berubah parau.

Sial. Kenapa aku?

Alis tebal ayah Haruka menaik, "kau bilang kau ingin balas dendam, dan ini permainan ayah. Semua ayah yang mengatur, tahu?" ketusnya singkat sambil menghisap cerutunya lagi.

Tubuh Haruka menengang, ia menarik tangan besar itu, kali ini ada cekatan dengan rasa penyesalan yang muncul.

"Ayah, kumohon."

Pria itu tak berkata beberapa detik tapi ia mengulas senyum tipis di bawah kumis tipisnya.

"Sangat mudah untuk berkata seperti itu, tapi aku, tidak ingin melihat kau diperlakukan seperti itu lagi. Jadi," ia menoleh ke arahnya, "lihat saja nanti."

***

Langit Tokyo cerah. Malam berhias bintang, sekaligus bertabur lampu dari tiap gedung-gedung yang menjulang meramaikan kota malam ini.

Pukul sebelas. Jalanan sudah lengang, sesekali para pedagang toko mulai merapikan dagangan mereka, pinggiran trotoar hanya sesekali orang yang melintas. Entah di sudut mana, samar-samar terdengar sirine ambulans menyala, disusul suara klakson mobil yang rendah.

Ryu berdiri, menatap Haruka dari jarak setengah meter di depannya. Supermarket di sampingnya sudah tutup, hanya lampu jalanan dan lampu mobil yang sesekali menerangi sudut ini.

"Kau... apa yang kau lakukan?" suaranya nyaris menyerupai bisikan, walau begitu sebetulnya Ryu berusaha menahan cekatan parau yang tersalur entah bagaimana dari hatinya.

Haruka menatap kakinya dengan ragu, ia melipat bibir berkali-kali tapi tidak mengatakan apapun.

Suara lintasan aspal bertemu roda ban kendaraan bergemuruh, memenuhi keheningan yang lama kelamaan meluap.

"Haruka," panggil Ryu.

Gadis itu mengangkat kepala perlahan-lahan.

"Bagaimana rasanya?" katanya sambil senyum tertahan.

Ryu mengenyah, "rasanya?" mata gadis itu terpaku diatas miliknya.

"Kau mengkhianatiku, Haruka."

Angin melintas cepat, mengubah raut wajah gadis itu seketika. Ia mengendurkan senyum lalu menarik napas panjang.

"Baiklah, kita sudah selesai. Aku harus pulang, selamat malam."

Haruka berbalik, tapi langkahnya tertahan, "kau pikir kau melakukan apa? Kenapa kau melakukan itu? Kenapa kau... tega?"

Gadis itu tak menjawab, hanya menoleh lalu buru-buru melanjutkan langkah, setengah berlari keujung blok lalu... menghilang.

Kenapa harus aku yang merasakan kejahatannya?

***

Terimakasih buat yg masih baca dan mengikuti ini. Ayoo saya ga mau banyak omong, gulir lagi aja ya😉

Tokyo KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang