14 - Dengar dan Pahami

1K 66 3
                                    

Yang Takkan Lekang Oleh Waktu 14

Dengar dan Pahami

Warning: Bully!Chelsea, tidak suka silahkan tinggalkan.


"FREAK!" bentak seorang gadis berambut hitam kecoklatan sambil menabrak gadis lainnya yang berambut hitam panjang dan berkacamata. Gadis yang membentak itu namanya adalah Alessandra Chelsea, atau lebih terkenal dengan panggilan Chelsea, ketua geng paling populer di sekolah itu. Yang ia bentak adalah Shaquilla Kirana atau Sasha, gadis pendiam yang dijauhi banyak orang di sekolahnya. Chelsea bersama dua temannya yang lain, sesama gadis populer.

"Mana? Mana temen lo? Yang kata lo suka mojok di kelas itu? Yang kata lo bisa terbang itu? Mana hah? Manaaaaa???"

Sasha menunduk ketakutan. Tangannya memeluk buku-bukunya, gemetar.

"Chelsea berhenti!" teriak Rafi dari kejauhan, lalu berlari mendekati Sasha.

"Bisa nggak sih sehari aja lo nggak ngebully anak lain?" tanya Rafi galak. Chelsea menatapnya jijik lalu pergi bersama 'dayang-dayangnya'.

"Sha, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Rafi. Dari kejauhan, Kafin, sahabat sekaligus tetangga Rafi, menyusul mereka.

"Dibully lagi?" tanya Kafin.

"Apaan sih lo Fin, nyosor ae lo kayak bajaj!"

"Eh gue bukan bajaj, gue pesawat!"

"Pesawat telepon?!" tanya Rafi sarkastik. Mau tak mau Sasha ikut tertawa. Kafin dan Rafi pun tertawa bersama.

Tanpa tahu kalau Ify dan Mario bersin-bersin jauh di sana.


Sivia menguap selama perkuliahan.

Ia bosan. Bosan dengan kuliahnya. Dan ia memilih mengusir kantuk dengan cara mencorat-coret sketsa busana buatannya. Ya, impian Sivia adalah menjadi desainer. Namun orangtuanya melarang dan ia dipaksa memilih jurusan lain. Sivia lalu iseng memilih jurusan Kriminologi, mana tahu kalau itu akan membuatnya kelabakan selama empat tahun.

Itu juga kalau dia tidak telat lulusnya.

Sivia jadi mempertanyakan, untuk apa dia kuliah? Untuk apa? Selama ini kuliahnya hanya membebaninya dan keluarganya. Dia hanya menyusahkan, mungkin itu yang ada di pikirannya.

"Salah jurusan atau tidak, kuliah itu sesungguhnya adalah nikmat yang harus selalu disyukuri.[1]" tiba-tiba, seperti membaca pikirannya, Dayat berkata saat melewati bangkunya. Lalu pemuda pendiam itu keluar kelas, di mana banyak mahasiswa lain yang juga keluar, karena kelas telah berakhir.

Sivia memikirkan kalimat yang barusan Dayat lontarkan.


"Hey, nona manis!" Mario menyapa Ify yang tengah melamun di ruang belajar bersama 1. Kampus besar ini memiliki beberapa ruang belajar yang nyaman, dengan sofa ataupun kursi lengkap dengan mejanya, snack bar, dan akses internet yang bagus. Terutama di ruang belajar nomor 1.

"Apa sih," gerutu Ify.

"Fyvian, aku tahu lho kamu punya masalah, dari muka tuh kelihatan. Daripada kau memikirkannya sampai berlarut-larut, bagaimana kalau membaginya padaku? Sedikit saja, biar bebanmu berkurang."

Mario mengangsurkan sebuah toples mungil yang ia bawa. Isinya permen kenyal.

"Yupi. Suka kan?"

Ify tersenyum tipis dan mengambilnya satu. Sambil mengunyahnya, ia memikirkan ucapan Alvin tempo hari. Mungkin ia tak perlu psikolog. Ia hanya butuh teman berbagi cerita. Ify selama ini tak suka berbagi cerita kepada rekan sekelasnya, karena mayoritas teman sekelasnya adalah tukang gibah tak bermutu.

"Lo yakin mau dengar?"

"Kenapa enggaaak?" goda Mario. Ia tersenyum nakal. Ify tersenyum kecil, lalu ia menceritakan masalahnya dan membongkar rahasianya. Soal kakaknya, keluarganya, dan hidupnya. Mario mendengarkan, dan tanpa ragu menggenggam hangat tangan Ify.

"Fy," kata Mario setelah ia mendengarkan semuanya, "kamu tahu kenapa kamu trauma?"

Ify menggeleng.

"Menurutku, kamu itu masih belum ikhlas nerima kenyataan kalau kakak kamu memilih jalannya sendiri. Tapi Fy, kamu harus tahu kenyataannya, kalau setiap yang punya nyawa itu pasti bakalan mati Fy. Entah bagaimana caranya, tapi kamu harus belajar ikhlas. Mungkin ini jalan takdir kakak kamu, dan kamu jelas nggak bisa ubah takdir itu. Dan kamu harus ingat, di dunia ini, di antara milyaran manusia yang hidup di dunia ini, masih banyak yang sayang sama kamu! Kamu punya ayah, ibu, adik, teman, saudara ... dan masih banyak yang belum kamu kenal! Jangan sedih! Kakak kamu di sana pasti enggak suka kamu sedih-sedihan kayak gini!"

Ify tersenyum kecil. Perlahan ia menghapus titik air mata di sudut matanya.

"Mario ... makasih ... "

Mario tertawa. "Any time lah, santai aja. Oh iya, dosen kamu itu mana?"

Ify cemberut. "Itu masalah gue yang lain Yo. Waktu itu gue enggak sengaja marahin dia. Janette juga marah-marah ke gue karena gue marahin Kak Raha."

Mario tergelak.

"Makanya, kalau ngomong itu kepalanya harus dingin!!"

"Dingin, dikira dari kulkas?" gerutu Ify.

"Fyvian!!!" terdengar suara super ceria dari arah pintu masuk. Rupanya Janette yang berlari-lari kecil ke arahnya dan langsung duduk di sebelah Ify.

"Cieeee pacaran~ga nyangka ya Ify yang pendiem bisa dapet pacaaar! Eh eh Kak Raha sini!" Janette melambai-lambai dari pintu masuk. Mr. Demir menenteng laptop dan menggendong ranselnya, lalu duduk di sofa kecil dekat Janette.

"PDKT Fy?" tanya Mr. Demir. Ify dengan cepat menggeleng.

"Gebetan? Pacaran? HTS? Tunangan? Mau nikah???" cerocos Janette sebelum Mr. Demir memukulnya dengan gulungan kertas. Janette memelototi pacarnya itu.

"Oh iya, Janette, Kak Raha, aku mau minta maaf soal yang kemarin-kemarin. Aku bentak-bentak kalian gitu. Mood aku lagi kacau saat itu. Maaf ya?"

Janette dan Mr. Demir berpandangan, lalu tertawa.

"Fyvian, harusnya aku juga minta maaf. Aku juga kan marah-marah sama kamu! Dan ... Kak Raha tahu kok kamu lagi kesel gitu! Makanya, lain kali kalau punya masalah itu cerita! Kan kamu punya ID Line aku? Chat aja kalau butuh, oke?"

"Sekalian aja, kalau butuh nasehat soal cinta, curhat sama Janette. Dia pakarnya," sambar Mr. Demir dan mereka semua tergelak.


"Gas, gimana kerja lo hari ini?" tanya Sivia saat berada di apartemen dengan Bagas. Bagas menelan dulu suapan makan malamnya, lalu tersenyum.

"Lumayan, Sivia-nee. Aku mungkin bakal betah. Enak juga buku-bukunya lengkap, hehehe..."

Sivia tersenyum tipis dan mengusap puncak kepala adiknya itu.

"Kalau kuliah nee-san gimana?" tanya Bagas. Sivia terdiam dan menghela napas.

"Bosen Gas. Kuliah aku tuh ga menarik."

"Kok gitu sih, Sivia-nee? Harusnya kamu itu bersyukur lho bisa enak kuliah kayak gini. Di luar sana banyak orang yang susah mau kuliah juga. Harus kerja keras, kesulitan uang, kesulitan di kelas, dan banyak lagi. Tapi kuliah itu enak, nambah wawasan. Nee-san beruntung bisa kuliah, nah aku?"

Sivia tercengang mendengar kata-kata Bagas. Bagas benar, ia harusnya bersyukur karena ia bisa kuliah. Ia pun tidak perlu memikirkan biaya, tinggal pusing dengan kuliah saja. Berbeda dengan Bagas yang tidak lolos seleksi, memilih kerja di Jepang, dan menghadapi banyak kesulitan lainnya.

"Makasih ya. Aku nggak nyesel nampung kamu yang kabur ini."

Bagas tertawa.

"Kalau Okaa-san atau Otou-san nanyain soal aku, gimana?"

"Aku bakal minta sama mereka buat ngizinin kamu kuliah di sini. Sekalian bantu urus berkas kayak visa dan yang lain. Visa kamu cuman visa kerja sih."

Bagas dan Sivia tertawa.


[1] gatau quotes dari siapa, tapi saya dapetnya di grup kelas hehehehe

Yang Takkan Lekang Oleh WaktuWhere stories live. Discover now