"Telat woy, gua udah jatoh!" Cowok itu menyisir rambut basahnya ke belakang dengan jari.

Suara tawa cowok-cowok itu terdengar lebih keras dari sebelumnya. Memerhatikan itu, tanpa sadar Shilla jadi ikutan senyum-senyum sendiri. Bukannya merasa bahagia di atas penderitaan Cakka, tetapi malah senang karena melihat cowok itu tertawa. Lihat saja bagaimana bagusnya cara dia tertawa.

Lucunya, sebaik apa pun dia tertawa, tersenyum seperti di koridor tadi pagi adalah hal yang paling jarang Cakka lakukan. Mungkin itu yang menjadikannya salah satu cowok populer di sekolah. Lucunya, dia mantan Shilla. Cowok paling bersinar yang pernah ia sadari−Cakka Nuraga.

Semenjak mereka benar-benar putus,inilah yang selalu Shilla lakukan setiap hari, memandanginya. Sekalipun ingin, Shilla enggak punya nyali untuk melakukan lebih. Sejak memutuskan berhenti berjuang, Cakka seperti enggak terjangkau lagi. Dia terasa jauh sekali. Sebenarnya itu bukan salah Cakka sepenuhnya, karena Shilla yang enggak pernah memberikan tatapan ramah dengan sengaja ke Cakka.

***

Sudah tiga puluh menit berlalu sejak anak-anak cowok berhenti main bola karena hujan semakin lebat. Salah satu cowok dari gerombolan memilih tempat berteduh yang berdekatan dengan Shilla, di selasar depan koperasi. Mereka hanya berjarak tiga pot bunga, sebelum cowok itu akhirnya bergeser mendekat.

"Shilla .... " Cakka menegur sekali dari samping, tapi enggak begitu jelas terdengar akibat suara hujan. Sebab itu Shilla enggak sedikitpun menoleh. Cakka yang menegur tadi sudah dua puluh menit memerhatikan cewek yang terus mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai dengan gestur gelisah, sambil sesekali menutup telinga saat gemuruh menggoda nyali.

Cakka mendesah, lalu merogoh ransel hitam yang tersampir di bahu kanannya. Dia menyodorkan payung biru tua yang barusan diambilnya ke depan Shilla. Cewek itu tertegun saat tangannya terulur. Untuk beberapa saat, mata cewek itu hanya terpaku pada payung biru tua yang dipegang Cakka, lalu menoleh pada wajah cowok itu.

"Cakka?" nadanya terkejut. Hampir enggak percaya kalau cowok yang barusan menegur dan menawarkan payung untuknya adalah Cakka. Cowok itu menggerakkan payungnya lagi. Memberi isyarat agar segera disambut.

"Makasih." Shilla menolak halus dengan senyum kikuk. Enggan menerima payung itu. Alasannya sederhana, karena mereka sudah enggak akrab sama sekali.

"Gue pinjamin paying buat ke parkiran," kata Cakka. "Kenapa enggak diambil?"

Cakka memiringkan kepala, heran dengan respons cewek di sampingnya. Shilla yang ditanya malah diam. Lagi-lagi mengetukkan sepatu ke lantai, lalu mengalihkan pandangan lurus ke depan. Pikiran Shilla malah balapan liar. Berusaha mencari fokus di hal-hal lain yang mungkin saja terlintas di benak. Namun sayangnya, di tengah hujan deras begini, semua jadi terlihat samar-samar.

Bahkan, warung gorengan di luar pagar pun terlihat buram. Beberapa murid yang tadi turut menunggu di selasar sudah pulang semua. Ada yang akhirnya dijemput, atau memilih taksi online untuk pulang karena sudah terlalu lama menunggu hujan reda.
Kalau saja Shilla enggak bawa motor hari ini, mungkin ia juga akan memilih taksi online ketimbang harus menunggu lama. Inilah alasan paling kuat Shilla enggak terlalu menyukai hujan, merepotkan. Ia terpaksa harus merelakan waktu berharga untuk menjalankan segala macam rutinitas harian yang telah terjadwal rapi itu terlanggar dengan mudah.

"Itu kan payung lo, pakai aja."

Shilla enggak tahan mengabaikan tatapan Cakka yang masih menuntut jawaban jelas atas penolakannya. Namun, bukannya menyahut, cowok itu justru menyandarkan tubuhnya ke dinding.
Menengadah ke arah langit yang hitam pekat dengan tatapan teduh. Berdiri sejajar dengan Shilla, membuat cewek itu otomatis juga memandang ke depan lurus-lurus. Ia melirik jam tangan untuk kesekian kalinya. Sudah hampir jam empat sore. Pantas saja suasana semakin gelap. Hawa dingin pun mulai menggerogoti tulang.
Sialnya, ia malah terjebak di sini bersama Cakka dan hening yang enggak jelas kapan berakhirnya.

"Lo tahu kenapa menunggu hujan reda itu terasa begitu amat lama?" Cakka bertanya dengan penekanan di kalimat akhir, namun tanpa melirik Shilla sedikitpun.
Sebab enggak mendapat jawaban, dia melanjutkan perkataannya.

"Padahal kita enggak pernah bisa melambatkan atau mempercepat waktu. Waktu itu bergerak konstan."

Shilla mengerti ke mana arah pembahasan mengalir. "Sebab gue enggak terlalu suka hujan." Ia menjawab pertanyaan Cakka sebelumnya.

"Kenapa?"

"Banyak." Shilla menghela napas. "Gue belum menemukan alasan tepat untuk satu pertanyaan kenapa." Ia melirik Cakka yang kini balik menatap. Shilla bisa melihat wajah memesona Cakka dari jarak sedekat ini, dan sepertinya itu berpotensi merusak jantung yang sebelumnya sehat-sehat saja.

"Hujan enggak pernah datang dengan maksud yang jahat, Shill." Cakka terkekeh. "Cuma terkadang ... keadaan dan waktu yang enggak tepat bikin kita membenci kedatangannya. Jadi, jangan salahkan hujan."

Shilla ingin menjawab langsung. "Gue enggak menyalahkan hujan, kok." Namun kalimat yang meluncur justru kontradiksi. "Hm ...."

Kali ini Shilla hanya mengangguk dan sedikit bergumam sebagai jawaban. Berat baginya untuk terfokus pada kata-kata Cakka. Sulit untuk mendengarkan cowok itu, karena parasnya mendistraksi lagi dan lagi.

Kemudian hening menyergap. Anehnya, kali ini Shilla enggak merasa risi ataupun canggung. Malahan kali ini, hening yang menemani terasa bersahabat. Shilla justru menikmati hening yang tercipta dengan iringan hujan. Ini pertemuan yang entah keberapa kali antara dirinya dan Cakka setelah menjelma asing, namun baru kali ini mereka dapat kesempatan mengobrol panjang. Lebih tepatnya, baru kali ini Shilla membiarkan Cakka menunjukkan esksistensinya.

"Lo parkir di mana?"

"Dekat gerbang."

"Kok jauh banget parkirnya?"

"Tadi agak telat."

"Oh begitu."

"Iya."

Enggak lama setelahnya, hujan berangsur-angsur reda. Cakka menawarkan diri untuk menemani sampai parkiran, dan dengan mengejutkannya Shilla setuju. Mereka berjalan bersebelahan tapi enggak saling bicara lagi. Padahal dulu, mereka saling enggak rela menutup telepon. Setelah menemani sampai tempat parkir, Cakka pamit duluan.

Menyisakan wangi rindu yang pekat mewarnai udara. Tanpa mau bertanggung jawab, dia meninggalkan Shilla yang termabuk sendirian.

Di Antara Hujan [Terbit]Where stories live. Discover now