Sudah delapan hari semenjak Nanda pergi, namun tidak pernah sekalipun Nanda telepon atau memberi pesan kepada Alya. Ini jelas membuat Alya sedih. Setiap hari Alya tidak pernah lepas dari hpnya. Ketika bangun, dia buru-buru mengecek hpnya. Ketika mandi, hpnya diletakkan di dekat wastafel, nanti jika tiba-tiba Nanda menghubungi. Saat makan, hpnya diletakkan di samping piringnya. Kemudian Alya makan sambil terus melirik hp yang ada disamping. Ketika tidur, dia memberikan waktu lima belas menit, menatap hpnya. Setelah itu dia akan mengantuk sendiri dan akan bisa lebih cepat tidur. Tapi selama itu pula, tidak ada satu pun pesan dan panggilan yang masuk.
Alya juga sudah berusaha untuk menghubungi Nanda, tapi tidak ada jawaban. Beberapa kali teleponnya tidak aktif, diluar jangkuan, dan tidak dijawab. Pesannya juga tidak di balas. Alya sampai sudah putus asa. Menunggu itu sangat melelahkan.
Sekarang pukul tujuh malam. Alya tidak dirumah. Dia memutuskan untuk jalan-jalan di taman. Udara malam yang sejuk membuat Alya bisa kembali menjernihkan pikirannya. Akhir-akhir ini pikiran-pikiran aneh mulai merasuki pikirannya. Bagaimana kalau di sana Nanda kenapa-kenapa? Bagaimana kalau Nanda tiba-tiba melupakannya? Bagaimana kalau Nanda bertemu orang lain di sana? Dan yang lebih parah jangan-jangan selama ini Alya hanya berkhayal? Untuk yang terkahir, Alya menyadari itu adalah pikirannya yang paling bodoh. Semua yang terjadi selama ini benar-benar tampak nyata. Tidak mungkin dia hanya berkhayal.
Alya duduk di ayunan yang ada di taman. Sendirian. Alya menatap ke langit. Bintang kecil bertebaran di sana. Menghias langit malam yang gelap. Mendampingi sang bulang sabit yang menggantung indah di atas sana. Alya tersenyum. Tapi tanpa sadar, dia menangis.
Kenapa? Kenapa aku nangis?
Alya mengusap air matanya. Tapi semakin lama air matanya semakin deras.
"Kenapa?"
Angin berhembus kencang, menerbangkan daun-daun layu yang berguguran. Semak-semak yang saling bergesekan membuat suara gemerisik. Seolah alam sedang menyanyikan sebuah lagu.
Si bulan sabit yang berwarna orange
bagaikan berpura-pura di pojok langit itu
apakah telepon saja tidak bisa?
padahal aku merindukanmu
dan terus menunggu kamu
Tentang hari ini kau sibuk dengan kerjaan
bahwa sebenarnya aku mengerti tetapi
berjalan sendiri di jalanan aspal
suara kakiku terasa sepi
rasanya ku ingin menendang kaleng kosong
Ku ingin bertemu denganmu sampai hampir menangis
rasanya ku ingin terbang ke langit sekarang juga
mengapa aku bisa jadi suka s'perti ini
di awalnya aku tidak ingin serius, perbuatan angin malam
Bulan sabit tanpa adanya awan
terus terdiam dan terus menunggu di tempat itu
berapapun banyaknya bintang di sana
tak bisa jika itu bukan kau
satu-satunya bintangku
Duduk di atas ayunan yang di taman
berkali-kali menatap daftar tel'pon yang masuk
hanya aku yang merasa berat cinta
amat berat hingga berat sebelah
Hei, setidaknya kamu tinggalkan pesan
Ku ingin bertemu denganmu sampai hampir menangis
ku ingin kamu memanggilku ke tempatmu berada
sekarang ku merasa ingin mampir ke suatu tempat
tak ingin pulang ke kamar yang sepi sendiri,
perbuatan angin malam
Harus tunggu berapa lama sampai bisa bertemu
apakah ku di sini saja sendiri sampai pagi
kenapa aku bisa jadi serius s'perti ini
padahal besok kan bisa bertemu lagi
tapi tak ingin pulang
Alya terisak. Kenapa Nanda sama sekali tidak pernah menghubunginya? Baginya ini tidak masuk akal. Ini sudah delapan hari dan Nanda sendiri bilang akan menghubunginya. Sampai sekarang, kenapa Nanda tidak menghubunginya? Nanda tidak merindukannya juga? Ini urusan cinta yang berat.
Alya menatap ponselnya. Tetap tidak ada pesan dan panggilan yang masuk. Alya menghela nafas panjang. Ini untuk yang terkahir kalinya, dia akan mencobanya. Kalau setelah ini Nanda tidak mengangkat teleponnya lagi, Alya menyerah.
Suara nada tunggu berhenti. Alya kaget. Nanda menjawabnya.
"Halo, Nanda!" seru Alya senang.
Hening di sana.
"Halo?" tanya Alya lagi.
"Halo,"
Senyuman di wajah Alya langsung pudar ketika mendengar balasan suara seorang perempuan dari sana.
"Nandanya mana?"
"Nanda lagi tidur. Dari kemarin kamu meneleponnya terus. Dia banyak kerjaan. "
Alya diam. Suara ini, dia merasa pernah mengenalnya.
"Ini siapa?"
"Siapa? Perkenalkan aku Cyntya, sekretaris Nanda."
Ingatan Alya kembali ke delapan hari yang lalu. Juga hari di mana dia dan Nanda berada di restoran. Seorang perempuan yang datang kepada Nanda itu sekretaris Nanda. Jantung Alya berdetak kencang.
"Di mana Nanda?" tanya Alya panik.
"Sudah kubilang dia tidur," jawab Cyntya santai.
"Kalian...."
"...satu kamar? Tentu saja. Kami satu ranjang bahkan."
Alya langsung mematikan sambungan teleponnya. Bahkan hanya saat Alya mendengar Cyntya mengatakan 'satu kamar' itu sudah menohok hatinya. Dan kemudian satu ranjang?! Delapan hari Nanda tidak meneleponnya dan kali ini dia mendengar kenyataan seperti itu. Itu pun bukan dari Nandanya langsung.
Bahu Alya bergetar. Dadanya sesak. Ini lebih menyakitkan dari sekedar menunggu. Alya merasa seharusnya dia tidak mendengar kabar itu. Agar nanti kalau Nanda pulang, seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi hari ini dia sudah mendengar kenyataan itu, Alya tidak bisa berpura-pura untuk tidak tahu. Alya menangis.
Hp Alya berbunyi. Alya kaget. Dia menatap layar telepon dan mengangkatnya.
"Halo, Alya."
Alya sesenggukan.
"Hei, Alya, kamu oke?"
"Aldo..."
____
Maaf ya kalo part ini pendek, jangan lupa vote dan komennya :)
YOU ARE READING
[2/2] Kembali
Teen Fiction[Sequel of Alasan] Alya tidak pernah ingin serius dengan perasaannya. Tapi semakin hari, semakin jauh, dan semakin lama, perasannya semakin serius. Bukannya perasaan itu menghilang, malah menjadi semakin kuat. Sama seperi kalung gemboknya. Yang masi...