Brianda mengajak Zian dan Naomi berdiri. Ia berdehem lalu berkata, "Kami berjanji..."

Malas-malasan Zian mengikuti kata-kata Brianda.

"Satu, akan menjunjung tinggi Pancasila selama menjadi anggota Underground Rascal. Dua, menuruti semua syarat yang sudah disepakati. Tiga, nggak akan sengak-sengak. Empat, nggak akan mengkhianati janji. Lima, mentraktir anggota lama untuk makan siang hari ini. Sepuasnya."

Sumpah seadanya itu berhasil diucapkan Zian dan Naomi. Lalu, dengan lagaknya yang konyol, Brianda tepuk tangan dan memaksa ketiga rekannya ikut meramaikan suasana.

“Bravo! Bravo!” sahutnya heboh sendiri. "Sekarang, sebutin motivasi kalian kenapa ngebet banget gabung sama kita?"

Sebelum menjawab, terlebih dahulu Zian duduk di kursi. "Kalian sendiri gimana? Apa motivasi kalian ngebentuk klub ini?" Ia mendecakkan lidah. "Udah namanya norak banget. Underground Rascal. Apaan, tuh? Nggak berfaedah!"

Setuju!!! Brianda menyahut dalam batin. Sejak dulu ia memang kurang sreg dengan nama tersebut.

"Berfaedah, dong!" tukas Andro. Dia memang yang mencetuskana nama. Menurutnya, nama Underground Rascal keren banget! Macho-macho menakutkan, plus misterius. Sesuai dengan tujuan utama mereka membentuk klub ini.

"Bajingan bawah tanah," decih Zian. "Atau... Berandalan bawah tanah? Gembel maksudnya?"

"Udahlah, nggak usah protes!" kata Brianda menengahi. Selama ini ia tak pernah tahu artinya. Bodo amat disebut bego Bahasa Inggris. Yang penting sombong. Dan begitu dengar kata-kata Zian barusan, dia berpikir 'wih, keren juga!'

"Jadi apa?" tanya Davan. "Apa alasan kalian mau gabung?"

"Sebelum itu, gue punya pertanyaan lain." Lagi-lagi Zian mengajukan kalimat bersoal. "Kayak gimana sistem kerja kalian? Mulai dari pembagian tugas sampai pembayarannya."

"Kita kerja berdasar keahlian," Ail membuka suara. "Web, mata-mata, eksekusi, rekam, dan upload."

“Sistem pembayarannya transfer dana,” sambung Andro.

"Berarti kalian punya rekening, dong?" tanya Zian.

"Ya, kita punya," Davan yang kali ini menjawab. "Atas nama Ail karena cuma dia yang punya tabungan di bank."

Mantan borju, sih, batin Zian. Sayang, bapaknya koruptor!

"Terus, apa klien kalian nggak tahu tentang itu?"

"Mereka tahu," jawab Andro. "Tapi sebelum eksekusi, kita ngadain perjanjian dulu sama klien. Jangan sampai kita dan mereka ngebuka identitas masing-masing."

"Dan nggak ada yang berkhianat?"

"Sejauh ini nggak ada," kecap Davan. "Lagian kita selalu mastiin dulu kliennya siapa. Kalau semisal dari kasta borju dan tipe-tipe musuh sejuta umat, kita tolak."

"Lagian kalau mereka buka identitas kita, mereka kena getahnya juga," kata Andro. “Orang-orang bakal tahu mereka adalah pelapor. Sehingga bagi target, hal itu bisa dijadiin alasan untuk baku hantam.”

“Kalau boleh tahu, berapa tarif setiap misi?” Zian kembali bertanya. Lagaknya sudah seperti human resources departement kantor yang mewawancarai calon pegawai.

“Tergantung pelapor,” jawab Brianda semangat. “Sejauh ini minimal tujuh digit.”

Mata Zian melebar. “Itu yang bayar siswa SSHS?”

“Betul sekali, Anak Muda,” ujar Brianda lagi. “Buat Kasta Kalem, duit segitu nggak ada apa-apanya asalkan sakit hati terbalaskan. Dan kalaupun yang lapor adalah kasta merana,
kami udah nyediain fitur donasi patungan. Jadi bayarannya bisa dibantu sama user lain, yang
punya dendam sama target.”

"Satu pertanyaan lagi." Zian membetullan posisi duduk. "Apa motivasi kalian bikin klub ini?"

"Demi sesuap nasi," kata Brianda asal saja, tapi memang berfakta.

"Untuk uang kuliah," sambung Davan.

"Gue sama kayak Davan," Andro ikut bersuara. "Gue butuh masa depan yang cerah. Adik gue banyak dan orangtua gue miskin. Nggak kayak kalian! Holang-holang kaya. Yang bisanya cuma minta dan ngamburin duit orangtua."

"Idem," jawab Ail singkat, padat, dan jelas.

"Sekarang giliran kalian!" Brianda mengingatkan. "Ayo, mau Non Naomi dulu apa Kanjeng Zian?"

Zian melirik Naomi namun cewek itu masih saja menunduk. Molorkah dia?

"Gue..."

Oh, Naomi tidak tidur. Ia hanya menyimak sambil menunduk. Mungkin masih merasa tidak enak.

"Gue juga butuh uang. Buat kuliah." Sebelum kawan-kawannya bereaksi, Naomi menambahkan, "Bokap-Nyokap gue memang orang berada, tapi gue mau ngambil jalan sendiri. Mereka bilang, gue mesti ngambil Teknik Elektro di UI. Tapi gue sadar sama kemampuan gue. Jadi, gue berniat kuliah sesuai jurusan yang gue mau. Kalau memang mereka nggak setuju, paling nggak, gue bisa bayar pake uang sendiri."

Hening, tidak ada suara. Selama mengecapkan kalimat-kalimatnya, kepala Naomi terus menunduk. Sekitar lima detik waktu beranjak, mulut Naomi tak lagi mengeluarkan kata-kata. Ia sudah selesai bicara.

"Kalau gue..." Zian angkat suara. Gue kepengin hidup mandiri. Abis lulus, gue mau keluar dari rumah. Pergi sejauh-jauhnya dari keluarga, terutama Mami. Gue udah nggak tahan hidup kayak gini. Nanti Mami nggak usah marah-marah lagi. Dia juga bakal seneng karena anak yang dibencinya pergi dari rumah.

"Apa, Zian? Apa tujuan lo?"

Zian meneguk ludah. Ia sadar kalau kata-kata tadi hanya diucapkan di dalan hati. "Gue... gue bosen jadi holang kaya." Kalimat itu dikatannya dengan nada sombong. "Udah itu doang alasan gue. Lo semua nggak usah takut gue berkhianat. Gue ini cowok sejati ——nggak kayak si Brianda, yang kagak ketahuan spesiesnya apa—— jadi kalian bisa pegang ucapan gue."

Setelah Zian berenti bicara, bel berbunyi. Waktu masuk sudah tiba.

"Berhubung jam istirahat udah kelar, kita lanjutin lagi nanti." Davan bangkit dari kursi. "Buat Naomi dan Zian, kita pegang sumpah kalian."

Andro ikut beringsut. Sebelum keluar ia menepuk pundak Zian dan Naomi lalu berkata, "Semoga kalian memang bukan pengkhianat."    

-bersambung

Underground RascalWhere stories live. Discover now