1.Prilly membuatkannya sarapan.

2.Membawakannya hingga kampus.

3.Dan hendak mengajaknya makan bersama.

Bagi Ali, semuanya itu seperti tidak Logis, Prilly yang segalak macan bisa menjadi sejinak itu.

Nalar, nggak sih?

*****

"Makan dikit aja yuk, Pril."

"Biar Lo nggak sakit."

"Gue suapin nih, yuk makan."

Bujuk dan rayu sudah lepas dari bibir mungil Aulia. Berulangkali pula hingga membuat Aulia sendiri merasa kewalahan dengan sikap sahabatnya. Namun tetap saja, tidak membuahkan hasil. Prilly menolak dengan gelengan kuat yang mengisyaratkn bahwa Ia tidak mau makan.

"Ayolah, dikit aja ya. Biar perut Lo nggak kosong." Lagi dan lagi, Aulia kembali mencoba. Kekhawatiran Aulia yang membuncah, membuat gadis itu seperti tidak kenal lelah untuk membujuk Prilly makan. Aulia hanya tidak ingin bila penyakit maag Prilly, akan kembali bersarang pada tubuh sahabatnya itu.

"Emang ya, Lo tuh selalu aja nyusahin orang. Lo gakasian apa sama Aulia malem malem gini harus ngebujukin Lo buat makan?"

Tanpa disadari oleh keduanya, baik Prilly maupun Aulia. Tiba tiba saja Ali datang. Sontak, raut terkejut tidak lepas dari wajah Prilly yang dengan refleknya langsung mengangkat wajah ayunya dari balik bantal.

Ali tidak peduli. Pemuda itu, terus saja berjalan santai mendekat kearah Aulia. Ia merebut paksa piring yang saat itu Aulia genggam dan mengisyaratkan pada Aulia untuk sedikit bergeser agar tempat yang semula Aulia duduki bisa untuk Ali duduki.

Untuk beberapa saat, Prilly masih tidak percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Tanpa peduli dengan kondisi wajahnya yang begitu sembab, Prilly terus menatap Ali guna meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah nyata. Ali berada didepannya.

"Apasih susahnya buka mulut, aaaa.." Kalimat Ali benar-benar terdengar seperti mantra sihir yang mampu membuat Prilly langsung membuka mulutnya untuk menerima suapan. Tanpa pikir panjang, Ali langsung mengayunkan sendok yang sudah berisikan nasi beserta laukpauk untuk segera masuk kemulut Prilly.

"Makan itu penting. Jadi sekarang, buka mulut lagi. Aaa.." Prilly diam, tidak berkata apapun selain menuruti perintah Ali yang mengintruksinya untuk membuka mulut.

Begitu seterusnya, Ali terus berceloteh betapa pentingnya makanan bagi tubuh sambil terus menyuapi Prilly. Tanpa sadar, piring yang semula penuh dengan nasi dan lauk pauk kini hanya tinggal menyisakan satu sendok saja.

"Ini terakhir, buka mulutnya lebar oke? Pesawat lepas landas, aaaa.."

Gurauan sederhana dari Ali, ternyata mampu membuat Prilly sedikit terkekeh hingga menyebabkan dirinya tersedak. Buru buru, Ali segera mengambil segelas air putih yang sudah Aulia siapkan tadi dan memberikannya pada Prilly. "Lain kali jangan ketawa makanya kalo makanannya belum ditelen bener-bener, bahaya."

"Mana belepotan lagi, tuh. Lo bener bener, ya." Tanpa ada rasa jijik sekalipun, Ali mengulurkan tangan kanannya untuk membersihkan sudut bibir Prilly yang kotor. Dengan telaten, Ali mengelapnya perlahan hingga noda itu hilang dari wajah ayu Prilly.

"Makasih, ya." Lirih Prilly dengan suara parau selepas menangis hebatnya tadi. Ali mengangguk diselasela senyuman khasnya, meskipun suara Prilly terdengar serak, namun terasa mampu menghangatkan hati Ali.

Bukan apa apa, hanya saja bagi Ali, ini adalah suara terlembut Prilly. Dimana gadis itu bisa berbicara pada Ali tanpa ada nada sinis dan rasa benci, justru Ia membubuhi dengan senyuman. Terlihat manis.

"Lo kenapa sih, hm? "

"Lo ada masalah?"

"Lo bisa cerita apapun ke Gue, bisa nangis dibahu Gue juga kalo Lo mau. Asal, Lo jangan mogok makan, Gue nggak suka."

"Gue bakal selalu ada buat Lo, janji. Asal Lo jangan kaya gini lagi."

Ali terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang membuat Prilly semakin menatapnya dalam. Dalam diam, sebenarnya Prilly ingin berteriak, "Gue sakit ngeliat Lo sama cewek yang bukan Gue. Gue tahu nggak seharusnya Gue kaya gini, tapi.."

"Ini semua terjadi gitu aja, Li. Gue nggak bisa ngelak kalo kenyataannya, mungkin Gue suka sama Lo."

Sayangnya, Ia tak bisa melakukan tindakan bodoh itu. Tidak mungkin Ia memberitahu Ali tentang apa yang sebenarnya Ia rasakan. Kekhawatirannya bahwa Ia menyukai Ali.

Satu hal yang saat ini bisa Prilly lakukan, yaitu:

Gadis itu menjatuhkan tubuhnya pada Ali. Memeluk tubuh kekar pemuda itu sekuat yang Ia bisa, menyalurkan segala yang Ia rasakan melalui sentuhan. Dan berharap Ali akan sadar. "Gue pegang janji Lo buat selalu ada buat Gue. Gue butuh Lo, Li" Lirih Prilly disela pelukannya terhadap Ali yang semakin lama semakin erat. Meskipun Prilly tak melihatnya, namun Prilly cukup mampu merasakan bahwa Ali merespon kalimatnya tersebut dengan anggukan pasti seraya membalas pelukan Prilly dengan sama eratnya.

PERFECT SCANDALWhere stories live. Discover now