(28) Pementasan

235 20 2
                                    

Tepat jam 7 para pemain dan kru sudah datang. Penjagaan diperketat, semua tas di cek, seakan Rei akan bersembunyi di sana. Anak buah Guru Yo ditambah jumlahnya. Tuan Will tidak bisa hadir, beliau meminta maaf karena harus menghadiri rapat di Tokyo. Begitu pula Nyonya Arum, beliau harus berangkat ke Medan untuk bertemu dengan dewan direksi. Hanya ada Bagus, Jono, dan Andrew yang memimpin penjagaan.

Aku sendiri belum pernah melihat kemampuan Andrew, aku sangat penasaran. Kami belum sempat mengobrol banyak hal tentang pribadi kami masing-masing, tentang kemampuan kami dan lain-lain. Dia berjaga di wilayah Auditorium bagian dalam, Jono bagian luar, dan Bagus sisanya.

Chycil sempat bicara, "Setidaknya, klonku menghitung, ada 50 dari pasukan Guru Yo dan 50 dari pasukan Tuan Will yang dipimpin Bagus. Belum lagi dari kepolisian, 50 orang juga. Sekolah ini sekarang serasa penjara."

Jam 8 kami mulai make up, lalu sedikit pemanasan, beberapa sudah siap di posisi masing-masing, mencoba musik, lampu dan sebagainya.

Penonton sudah mulai datang pukul 9.30 karena pementasan dimulai pukul 10.30.

Beberapa dari seniorku datang. Kami sempat berbincang sebentar saat bertemu di depan gedung. Pukul 10, aku segera memimpin doa, sekali lagi kali membuat lingkaran. Pemusik, penata cahaya dan segala kru, naik ke atas panggung, berpegangan tangan, menunduk dan berdoa.

"Hari ini adalah pesta kita. Beberapa menit lagi kita akan bermain, 'bermain' yang artinya tidak ada lagi beban. Lepaskan semuanya. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting. Pikiran bagaimana kalian bermain dengan baik, bagus, dan indah. Semangat, semangat, semangat!"

"HOIIII"

Layar terbuka, cahaya gelap, bangku penonton mulai terisi. Pemain sudah bersiap di kiri kanan panggung. Musik stand by, Lampu stand by, Gong dipukul tanda pementasan akan segera dimulai.

Lampu penonton padam, cahaya kini hanya ada satu di atas panggung, menerangi seseorang. Lalu tepuk tangan penonton begitu ramai, bersorak. Pementasan pun di mulai.

Pemeran utama tepat di tengah-tengah panggung, mulai di kelilingi oleh sosok-sosok berpakaian serba hitam. Menyerukan kata dalam gerak. Musik mengiringi dengan tempo yang cukup cepat, cahaya redup berwarna-warni. Penonton begitu tenang, menikmati pertunjukan. Mereka tertawa bersama, bersedih bersama, bahagia bersama.

Pementasan ditutup dengan padamnya cahaya. Seketika penonton bertepuk tangan dengan begitu meriah, mereka berdiri dan bersorak-sorai. Terlihat senyum takjub mereka. Tak sabar ingin bertemu dengan para pemain dan kru.

Lampu panggung kembali nyala, para pemain satu per satu tampil memberikan penghormatan, disusul oleh kru dan para penata dan diakhiri oleh kehadiranku. Kami semua memberikan penghormatan kepada para penonton yang sudah mengapresiasi karya kami.

Para penonton akhirnya mulai menaiki panggung untuk memberikan selamat kepada pemain. Beberapa pemain sudah lebih dulu memeluk dan menjabat tanganku. Terlihat tidak sedikit dari mereka yang meneteskan air mata karena bahagia dengan pencapaian kami. Semua saling berpelukan, mengucapkan selamat dan terimakasih.

Beberapa orang tua dari pemain ikut hadir, menonton serta memberikan selamat. Tentunya mereka pasti ikut bangga dan bahagia dengan keberhasilan anaknya. Begitu juga dengan orang tuaku. Aku langsung turun dari panggung menghampiri mereka yang berdiri di bangku penonton. Memberikan salam hormatku kepada mereka, yang telah melahirkan dan mendidikku menjadi seperti sekarang.

Orang tua Chycil juga datang. Tentu bersama dengan orang tuaku. Moniq terlihat lega dan bahagia. Dia mengajak aku, Fibi dan kedua orang tuaku untuk berfoto. Akhirnya seluruh pemain, kru serta orang tua kami semua berfoto di atas panggung.

***

Aku berbincang kembali dengan beberapa seniorku sementara yang lain masih asik berfoto ria. Ada beberapa masukan dari Bang Echo, Kak Salman, Kak Lia dan yang lainnya, tentang konsep yang aku tawarkan. Ada yang suka bagian tertentu, ada juga yang tidak.

Tak kusadari, di ujung pandangan mataku, Chycil yang sedang berbincang dengan beberapa teman tarinya juga memandangku. Kami berpandangan. Seketika suasana saat itu begitu sepi, sunyi. Aku membayangkan berjalan menuju tempat di mana dia berdiri, berlutut dan mencium tangannya.

Bodoh.

Khayalan bodoh.

Kuberanikan diri untuk mencoba berbicara dengannya. "Chyl, mereka teman-temanmu?"

"Iya kak, mereka suka sekali dengan pementasannya. Mereka menanyakan tentang kakak juga."

"Nanti... mau kan? Kita pergi berdua."

"Aku mau ... tapi aku tidak yakin akan diizinkan Bagus atau Moniq. Mereka pasti akan melarang kita."

"Zo. Jangan bengong. Waaah, jangan-jangan omongan kita tidak ada yang kau dengarkan ya?" Ucap Kak Salman kesal sambil memukul pundakku.

BRUAKKKK!!!

"APA ITU?" Teriak kak salman kaget.

Sesuatu terjatuh dari atas panggung, lampu? Tidak mungkin.

"LAMPU? BUKAN LAMPU KAN?" teriak Prio dari kejauhan sambil berlari. "ADA YANG KENA?"

"Aku cepat-cepat naik ke atas panggung yang masih ramai oleh para pemain. Mereka kini mengerumuni satu titik di mana benda itu jatuh. Dan di sana, Fibi terluka tertimpa lampu panggung.

"Ka...kak...."

###

Terimakasih atas kesabarannya
Mohon vote dan komentar nya
Setelah ini,
InshaAllah seminggu akan publish 2x

Silahkan cek karya saya yang lain juga "Feyrine"
Terimakasih

ZoeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang