(5) Lusa

512 40 1
                                    

Hari ini adalah harinya. Dia akan datang ke rumahku, jika dia memang menepati janjinya.

Sejak hari itu, aku selalu memikirkan, siapa dia? Memang aku sudah tahu namanya, tapi hanya sekedar nama. Asal-usulnya masih belum jelas.

Untuk apa dia mengikutiku waktu itu? Apa tujuan dia bertemu denganku? Dari mana dia dapat nomor teleponku?

Terlalu banyak pertanyaan di dalam kepalaku. 

Kemarin menjadi hari terpanjang dalam hidupku.

Menunggu adalah hal yang sangat menyebalkan.

Tak banyak yang bisa kulakukan kemarin selain berpikir. Kamal datang setelah aku menelponnya. Aku ceritakan semuanya kepadanya, serinci mungkin. Dia bingung, sama sepertiku.

Kamal berkata bahwa selama dia mengenalku, tak pernah ada satu pun yang pernah melakukan hal seperti itu. Mengikuti dan memperhatikanku seperti itu. Kamal sudah mengenalku sejak kami duduk di bangku SMA, sudah sekitar 7 tahun.

Kami berdua mencarinya di media sosial dan kami tidak mendapati apapun. Dia bersih. Seakan tak pernah ada di dunia ini. Kesimpulan kami, dia menggunakan nama palsu saat berkenalan kemarin. Atau, dia menggunakan nama lain dalam akun medsos-nya.

Sepertinya yang kedua.

Aku pun bertanya ke ibuku tentang sekolahku dulu. Memang benar yang dikatakan olehnya, ada sebuah rumah besar di sana dan hanya satu-satunya. Rumah berwarna kuning dengan banyak pohon hijau. Kuning dan hijau, kombinasi yang unik. seperti dalam film saja.

Kami berdua terus berpikir di kamarku. Kamar seluas 6 x 6 meter,  dengan kasur lipat di bawah. Buku-buku bertebaran di mana-mana. Bukannya aku malas membereskannya, tapi aku terlalu sering berpergian, dan tak seorangpun boleh membereskan kamarku. Aku suka dengan keberagaman. Semakin berantakan, akan semakin beragam. Aneh? Itulah aku.

Teori yang kami buat...
Akh, pemikiran barangkali,

Dia adalah penggemar rahasia.

Kamal tertawa dengan pemikiran ini. Lucunya, kami mengatakannya bersamaan. Flip-flop.

Monique...
Eza...

Siapapun namanya

Apakah mungkin bisa menyukaiku?

Aku bukanlah tipe laki-laki yang keren. Tidak pintar. Tidak populer.

Aku hanya laki-laki biasa.

"Kau aneh. Jauh lebih aneh dariku." Sahut Kamal sambil tertawa bahagia.

Ini pertama kalinya ada seorang perempuan tak kukenal datang ke rumahku. Biasanya, paling tidak ya beramai-ramai, entah itu mengerjakan tugas, diskusi, atau saat makan-makan, syukuran.

Aku tak tahu harus menyiapkan apa.

" Buatkan teh dengan tanganmu sendiri. Jangan kau suruh aku membuatnya." Adikku memberi nasehat.

Tidak buruk.

Aku mengecek gula dan teh. Benar saja, gula kami hampir habis, dan aku harus segera membelinya.

Aku berjalan ke toko tak jauh dari rumahku. HP-ku berdering saat aku sedang berjalan ke luar. Kupikir itu darinya. Ternyata dari Kamal. Ia menanyakan perkembangannya.

Ini baru jam 7 pagi. Mana mungkin dia sudah sampai di rumahku. Bodohnya aku tidak menanyakan jam berapa dia akan datang.

"Kau chat duluan lah. Gengsi amat." Kamal berkata dalam chatnya.

Aku kembali secepatnya setelah membeli gula, dan kulihat dari kejauhan, ada mobil jeep hitam. Itu dia
Pasti Dia

Aku berlari, bergegas ke rumahku. Sepatu nya ada di luar, tak tertata.  Aku mencarinya ke sana-ke mari dan tak mendapatinya.

"Di kamarmu." Adikku berbisik dari kejauhan.

"Kenapa bisa masuk?" Kubalas berbisik.

"Kau tidak pernah menguncinya. Bodoh."

Aku memang tidak pernah mengunci pintu kamarku. Aku tidak suka membawa-bawa kunci di kantongku.

Sebenarnya tak apa-apa dia masuk ke kamarku. Namun, aku malu jika dia melihat bagaimana aku tak pandai mengurusnya, kamarku sendiri. Dia pasti tak akan begitu saja percaya jika nanti kujelaskan.

Aku masuk perlahan-lahan, berusaha tidak menimbulkan bunyi sedikitpun.

"Aku tetap menyadari kehadiranmu." ucapnya.

Aku makin yakin kalau dia ninja... Aku mungkin sudah gila.

"Dari baumu. aku masih ingat baumu kemarin. Walau bercampur dengan keringat, bau parfummu begitu berbeda." Lanjutnya.

"Maaf, kamarku berantakan. Sangat memalukan." Jawabku sambil mencoba membereskan beberapa barang.

"Bodoh. Inilah yang dinamakan artistik. Aku yakin kau hendak merapikan nya. Namun kau tidak memiliki banyak waktu."

Dia... mengerti diriku???
DIA?

"Kau ingin kita berbincang di kamarku atau kita pindah ke ruang tamu?" Ucapku sambil melihat apa yang dia cari.

"Aku mencari foto masa kecilmu. Tidak satupun yang kau pajang di tembokmu."

Dia seakan bisa membaca pikiranku.

"Dimana orang tuamu?" Dia masih memerhatikan dinding kamarku.

"Ayahku sudah pergi bersepeda bersama kawan-kawan nya. Ibuku... sebentar lagi mungkin bangun. Ada apa memangnya?" Aku mulai curiga.

"Kalau begitu, di sini saja, jika kau tidak keberatan. Boleh?" ucapnya sambil tersenyum kepadaku.

"Silahkan duduk dimana pun kau mau."

###

675

Satu lagi kawan
Sabar ya
Terima kasih

ZoeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang